Khalifah Umar Bin Khatthab (13-23 H/634-644 M)



Periode pemerintahan Khulafaur Rasyidin adalah masa kepemimpinan terbaik setelah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Apa-apa yang dilakukan oleh Khalifah Abu Bakar Ashshidiq, Khalifah Umar bin Khattab, Khalifah Utsman bin Affan dan Khalifah Ali bin Abi Thalib telah menyempurnakan Manhaj Al Islam sebagai satu-satunya Manhaj (methode) meraih Mardhatillah.

 Dari Al-‘Irbadh bin Sariyah, dia berkata:
 وَعَظَنَا مَوْعِظَةً بَلِيغَةً ذَرَفَتْ مِنْهَا الْعُيُونُ وَوَجِلَتْ مِنْهَا الْقُلُوبُ فَقَالَ قَائِلٌ يَا رَسُولَ اللهِ كَأَنَّ هَذِهِ مَوْعِظَةُ مُوَدِّعٍ فَمَاذَا تَعْهَدُ إِلَيْنَا فَقَالَ أُوصِيكُمْ بِتَقْوَى الهُِ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ عَبْدًا حَبَشِيًّا فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِي فَسَيَرَى اخْتِلاَفًا كَثِيرًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّينَ الرَّاشِدِينَ تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ اْلأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ 
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menasehati kami dengan nasehat yang menyentuh, meneteslah air mata dan bergetarlah hati-hati. Maka ada seseorang yang berkata: “Wahai Rasulullah, seakan-akan ini adalah nasehat perpisahan. Maka apa yang akan engkau wasiatkan pada kami?” Beliau bersabda: “Aku wasiatkan pada kalian untuk bertakwa kepada Allah serta mendengarkan dan mentaati (pemerintah Islam), meskipun yang memerintah kalian seorang budak Habsyi. Dan sesungguhnya orang yang hidup sesudahku di antara kalian akan melihat banyak perselisihan. Wajib kalian berpegang dengan sunnahku dan sunnah Khulafaur Rasyidin Mahdiyyin (para pemimpin yang menggantikan Rasulullah, yang berada di atas jalan yang lurus, dan mendapatkan petunjuk). Berpegang teguhlah kalian padanya dan gigitlah ia dengan geraham-geraham kalian. Serta jauhilah perkara-perkara yang baru. Karena setiap perkara yang baru adalah bid’ah. Dan setiap bid’ah adalah sesat.“ (HR Abu Daud)

Pada bagian ini kita akan mempelajari periode kepemimpinan dan pemerintahan Umar bin Khattab . (Muhamad Iqbal, Fiqih SiyasahlKontekstualisasi Doktrin Politik Islam, 2001:55-67)

Setelah dilantik menjadi khalifah, 'Umar berpidato di hadapan umat Islam untuk menjelaskan visi politik dan arah kebijakan yang akan dilak-sanakannya dalam memimpin kaum muslimin. 
"Aku telah dipilih menjadi Khalifah. Kerendahhatian Abu Bakr se-jalan dengan jiwanya yang terbaik di antara kalian dan lebih kuat terhadap kalian serta juga lebih mampu memikul urusan-urusan kamu yang penting. Aku diangkat untuk menjadi Khalifah tidak sama dengan beliau. Seandainya aku tahuada orang yang lebih kuat untuk memikul jabatan ini dari padaku, maka aku lebih suka memilih memberikan leherku untuk dipenggal dari pada memikul jabatan ini."
 
Setelah dilantik menjadi kepala negara, 'Umar segera melaksanakan tugas-tugas kenegaraan. Secara prinsip, 'Umar melanjutkan garis kebijaksanaan yang telah ditempuh Abu Bakr. Namun karena permasalahan yang dihadapi 'Umar semakin berkembang seiring dengan perluasan daerah Islam, 'Umar melakukan berbagai kebijaksanaan yang antisipatif terhadap perkembangan dan tantangan yang dihadapinya. Kebijaksanaan yang dilakukan 'Umar sebagai kepala negara meliputi pengembangan daerah kekuasaan Islam, pembenahan birokrasi pemerintahan, peningkatan kesejahteraan rakyat, pembentukan tentara negara reguler yang digaji oleh negara, pengembangan demokrasi dan kebijaksanaan-kebijaksanaan lainnya. Tulisanberikutmencoba mengelaborasi kebijaksanaan-kebijaksanaan tersebut, sehingga dapat dilihat bagaimana sistem ketatanegaraan yang dilaksanakan oleh Khalifah 'Umar.

Perluasan Daerah
Selama sepuluh tahun pemerintahan 'Umar (734-644 M), kekuasaan Islam telah melebarkan sayapnya melampaui jazirah Arabia. Penaklukan demi penaklukan dilakukan pada masa 'Umar. Bahkan dua adidciya ketika itu, Persia dan Bizantium, berhasil jatuh ke tangan umat Islam.

Pada tahun 635 M, tentara Islam di bawah pimpinan Khalid ibn Walid berhasil menaklukkan Damaskus. Setahun kemudian, setelah tentara Bizantium mengalami kekalahan pada perang Yarmuk, praktis seluruh wilayah Syria berhasil dikuasai Islam. Pada tahun 637, dipimpin oleh panglima perang Sa'd ibn Abi Waqqash, Irak berhasil pula dikuasai setelah berkecamuknya perang di Qadisiyah. Seluruh Irak praktis berada dalam kekuasaan Islam menjelang Khalifah Umar wafat. 

Kemudian pada tahun 639 M, di bawah komando Amr ibn al-'Ash, Mesir berhasil pula dikuasai. Setahun kemudian, tentara Islam berhasil pula menghancurkan imperium Persia. Pada tahun berikutnya, 641 M, Palestina yang dikuasai Bizantium jatuh ke tangan Islam. Kota Yerussalem yang di dalamnya teiletak Baitul Maqdis merupakan yang terakhir jatuh ke tangan Islam secara damai. Adalah 'Umar sendiri yang datang ke sana untuk menan-datangani perjanjian damai tersebut. 

Sistem Pemerintahan
Luasnya daerah kekuasaan Islam ini membuat 'Umar merasa perlu membenahi dan menyempurnakan sisem pemerintahan yang telah dijalankan Khalifah Abu Bakr sebelumnya. 'Umar mengadakan pembaruan signifikan dalam bidang administrasi negara. Dengan tetap menjadikan kota Madinah sebagai pusat pemerintahan Islam, 'Umar meminta kepada tokoh-tokoh sahabat senior (assabiqun al-awwalun) untuk tidak meninggalkan kota Madinah. 

'Umar membutuhkan tenaga mereka untuk memberi masukan-masukan dalam pelaksanaan tugas-tugasnya. Para sahabat senior inilah yang menjadi anggota "majelis syura" sebagai teman bermusyawarah atau penasihat untuk menentukan kebijaksanaan-kebijaksanaan politik. 'Umar juga menempatkan 'Usman ibn 'Affan sebagai sekretaris negara. Anggota lembaga ini, selain mereka yang menjabat dalam masa pemerintahan sebelumnya, juga ditambah denga beberapa sahabat lainnya.

Selain majelis syura, 'Umar juga melakukan musyawarah secara umum dengan kaum muslimin, untuk mendengar dan mengetahui aspi-rasi mereka. Hasil musyawarah ini kemudian dibawa ke forum majelis syura, sehingga keputusan yang akan diambil sesuai dengan kemaslahatan umat.

'Umar juga memanfaatkan musim haji sebagai forum untuk mengadakan evaluasi atas pemerintahannya. Pada saat itu, 'Umar mengumpulkan para pejabat negara dan gubernur-gubernur di daerah. Mereka memberi laporan terhadap perkembangan pemerintahan di daerah masing-masing dan keluhan-keluhan rakyatnya. Pada masa pemerintahannya, daerah-daerah dibagi menjadi delapan propinsi, yaitu Madinah, Mekah, Syria, Jazirah, Kufah, Bashrah, Mesir dan Palestina.

Pada masa 'Umar, lembaga-lembaga penting (semacam departemen) untuk pertama kali mulai dibentuk. 'Umar membentuk lembaga kepolisian (Diwan al-Ahdats) untuk menjaga keamanan dan ketertiban dalam masyarakat  dan lembaga pekerjaan umum (Nazharat al-Nafi'ah) yang menangani masalah-masalah pembangunan fasilitas umum dan fasilitas sosial, seperti gedung-gedung pemerintahan, irigasi dan rumah sakit. Lembaga peradilan (al-qadha') juga mulai berdiri sendiri dan terpisah dari kekuasaan eksekutif. 

'Umar juga membentuk departemen perpajakan (al-Kharaj) untuk mengelola perpajakan daerah-daerah yang dikuasai. Untuk mempertahankan diri dari kemungkinan serangan luar, 'Umar merasa bahwa tentara harus dikelola secara profesional. Untuk itu, 'Umar pun membentuk departemen "pertahanan dan keamanan" (Diwan al-Jund) yang mengurus dan mengorganisasi masalah-masalah ketentaraan. 

Tentara tidak lagi dari anggota masyarakat yang dibutuhkan tenaganya ketika akan berperang, tetapi disiapkan secara khusus dan profesional. Mereka mendapat gaji dari negara. Pembentukan tentara profesional ini merupakan konsekuensi logis dari penaklukan-penaklukan Islam terhadap daerah-daerah sekitarnya. 'Umar memandang bahwa tentara yang kuat merupakan syarat mutlak untuk menjaga keamanan dalam negeri dan mengendalikan wilayah-wilayah yang telah dikuasai.

Di samping itu, 'Umar juga mendirikan Kantor Perbendaharaan dan Keuangan Negara (bait al-mal) yang permanen, menempa mata uang dan menetapkan tahun hijrah sebagai penanggalan Islam. Para ahli berbeda pendapat tentang kapan 'Umar mulai membentuk lembaga-lembaga terse-but. Menurut al-Thabari, 'Umar membentuk lembaga-lembaga negara pada tahun 15 H. atau tahun ketiga pemerintahannya. Sedangkan Ibn Sa'd menyatakan bahwa pembentukan itu dimulai pada bulan Muharram tahun 20 H. Pendapat kedua ini lebih kuat menurut pandangan Haykal, karena pada tahun tersebutlah penaklukan besar-besaran dilakukan oleh 'Umar, termasuk negara adi daya Bizantium dan Persia. 'Umar sendiri membentuk lembaga-lembaga tersebut diilhami oleh sistem pemerintahan yang dijalankan oleh kedua negara tersebut. 

Untuk pemerintahan di daerah, 'Umar mengangkat gubernur yang mempunyai otonomi yang luas. Mereka menjalankan tugas dan fungsi sebagai pembantu Khalifah. Sebagaimana halnya peradilan di pusat yang terpisah dari kekuasaan eksekutif, di beberapa daerah juga diangkat be-berapa hakim yangbebas dari pengaruh-pengaruh gubernur dan Khalifah. Mereka melaksanakan peradilan yang bebas dan mandiri.

Dalam rekrutmen pejabat, 'Umar terkenal sangat mementingkan profesionalisme dan kemampuan dalam bidang tugasnya.  Di samping itu, aspirasi masyarakat setempat yang berkembang juga cukup didengar oleh 'Umar. Dengan demikian, 'Umar menjauhkan diri dari kebijaksanaan nepotisme dan main drop-dropan dari atas untuk menentukan pejabat. Dalam sebuah kasus, 'Umar pernah memecat Ammar ibn Yasir sebagai gubernur Kufah karena "arus bawah" tidak merasa puas atas kepemimpinannya. Menurut masyarakat Kufah, Ammar tidak mengetahui seluk beluk politik pemerintahan, sehingga tidak pantas memegang jabatan tersebut.  

Selain itu, 'Umar juga mewajibkan calon pejabat untuk mendaftarkan terlebih dahulu kekayaannya sebelum memangku suatu jabatan. Ini dimaksudkan untuk mengetahui bagaimana ia memperoleh harta dalam masa jabatannya. Kalau ternyata ada yang berasal dari hasil tidak sah, maka 'Umar menyitanya sebagai milik negara. 'Umar pun pernah membebaskan Sa'd ibn Abi Waqqas dari jabatannya sebagai gubernur Kufah karena kasus tersebut di atas dan hartanya disita menjadi milik negara. Harta tersebut kemudian dibagikan kepada rakyat yang membu-tuhkan. Demikian juga Abu Hurairah yang dibebaskan dari jabatannya sebagai kepala daerah di Bahrain karena kasus yang sama.  'Umar pun mewajibkan hidup sederhana kepada para pejabatnya.

Dalam pelaksanaan tugas-tugas gubernur di daerah, 'Umar pun mengangkat Muhammad ibn Maslamah sebagai pengawas. Tugasnya adalah mengadakan inspeksi ke berbagai daerah untuk menyelidiki penyelewengan-penyelewengan dan menerima laporan-laporan dari rakyat setempat tentang para pejabat. Ia kemudian membuat laporan kepada Khalifah untuk diproses secara hukum.

'Umar terkenal sangat tegas terhadap pejabat-pejabatnya namun lembut dan kasih sayang terhadap rakyatnya. Kepada rakyat yang dijum-painya di Madinah atau ketika musim haji, 'Umar selalu mengatakan bahwa ia mengirimkan pejabat kepada mereka bukan untuk berlaku zalim atau memukul mereka, melainkan untuk mengajarkan agama dan membagi rampasan perang buat mereka. Karenanya, ia tidak dapat menerima perlakuan pejabatnya yang menzalimi rakyatnya. 

Dalam sebuah kasus pernah 'Umar menghukum gubernur Mesir Amr ibn al-'Ash, karena menyakiti warga Mesir. Kisahnya berawal ketika Muhammad anak 'Amr kalah dalam sebuah pacuan kuda dengan orang Mesir tersebut. Karena malu, anak 'Amr mengasari orang Mesir dan memukulnya dengan cemeti. 'Amr yang tahu kejadian ini tidak berbuat apa-apa, bahkan ia memen-jarakan orang Mesir agar tidak memberitahukannya kepada 'Umar. Akhirnya, setelah berhasil lolos dari penjara, orang Mesir tersebut pergi ke Madinah menemui Khalifah dan menceritakan kasusnya. 'Umar memanggil gubernur beserta anaknya dan menyuruh warga Mesir tersebut "nginap" dulu di Madinah sampai perkaranya diproses. Ketika kedua anak beranak tersebut sampai di Madinah, 'Umar mempersilahkan orang Mesir tersebut untuk mengqishash Muhammad ibn 'Amr. Setelah itu, 'Umar juga memerintahkannya untuk mengqishash 'Amr, karena selaku gubernur, ia membiarkan anaknya berbuat zalim terhadap orang Mesir tersebut dan memenjarakannya. Namun 'Amr keberatan dengan hukuman tersebut,
 
karena dengan demikian ia merasa "dilecehkan" kedudukannya sebagai pejabat negara. Umar pun marah kepada Amr dan mengatakan, "Hai 'Amr, sejak kapan kamu memperbudak manusia, padahal ia dilahirkan ibunya dalam keadaan merdeka?"

STRUKTUR PEMERINTAHAN KHALIFAH UMAR
Dari gambaran di atas terlihat bahwa 'Umar telah membagi kekuasaan secara terpisah. Untuk pertama kalinya dalam sejarah Islam, 'Umar mulai memisahkan kekuasaan legislatif (majeslis syura), yudikatif (qadha')dan eksekutif (khalifah), meskipun tentu saja pemisahan ini tidak bisa diperbandingkan dengan sistem pemerintahan modern trias politica seperti sekarang ini. Kebijakan ini menunjukkan bahwa 'Umar memang seorang negarawan dan administrator yang bijak. 'Umar tidak mencam-pur-adukkan tiga kekuasaan tersebut, sehingga pemerintahan dapat berjalan dengan baik dan membawa kepada kemaslahatan umat Islam.
 
Peningkatan Kesejahteraan Rakyat
Masa pemerintahan 'Umar dapat dianggap sebagai masa peningkatan kesejahteraan rakyat. Perluasan daerah membawa dampak banyaknya devisa negara yang masuk, baik dari rampasan perang maupun pajak yang dibayarkan oleh daerah-daerah yang telah ditundukkan.

Karenanya, 'Umar berusaha memanfaatkan keuangan negara tersebut untuk kesejahteraan rakyatnya. Untuk itu, 'Umar memberi tunjangan kepada kaum muslimin. Pemberian ini diatur berdasarkan nasab kepada Nabi, senioritas dalam masuk Islam, jasa dan perjuangan mereka dalam me-negakkan Islam. Rincian tunjangan tersebut adalah:
1. Keluarga Nabi:
a. ' Abbas ibn 'Abd al-Muththalib 25.000 dirham; 
b. 'Aisyah 12.000 dirham;
c. Istri-istri Nabi lainnya 10.000 dirham;
d. Shafiyah 6.000 dirham;
e. Juwairiyah 6.000 dirham;
2. Veteran Perang Badr
a. ' Umar ibn al-Khathtab 5.000 dirham;
b. 'Ali ibn Abi Thalib 5.000 dirham;
c. ' Usman ibn 'Aaffan 5.000 dirham;
d. Hasan ibn 'Ali 5.000 dirham;
e. Husein ibn 'Ali.5.000 dirham; 
3. Anshar
a. Abu Dzar al-Ghiffari 4.000 dirham;
b. Muhammad ibn Maslamah 4.000 dirham;
4. Tokoh-tokoh Badr hingga Hudaibiyah 4.000 dirham;
5. Orang yang hijrah ke Habsyi 4.000 dirham;
6. Orang yang hijrah sebelum Path Mekkah 3.000 dirham;
7. Orang yang ikut dalam perjanjian Hudaibiyah hingga penumpasan gerakan murtad 3.000 dirham;
8. Orang yang hidup pada masa Path Makkah hingga Perang Qadisiyah 2.000 dirham;
 9. Orang yang hidup pada Perang Qadisiyah hingga Yarmuk 1.000 dirham;
10. Panglima Perang 7.000 s.d. 8.000 dirham;
11. 'Abdullah ibn 'Umar 3.000 dirham;
12. Usamah ibn Zaid 4.000 dirham;
13. Penduduk Yaman, Syam dan Irak 1.000 s.d. 2.000 dirham;
14. Istri-istri kaum muhajirin dan anshar 600 dirham;
14. Penduduk Mekah 800 dirham;
15. Ibu yang menyusui 200 dirham; 
16. Bayi yang baru dilahirkan 100 dirham.

Selain yang tercatat di atas, 'Umar juga menyediakan dana kesejahteraan kepada setiap anak pungut atau terlantar sebesar 100 dirham yang diambilkan dari Bait al-mal dan disimpankan oleh walinya. Makin besar anak itu, pemberian untuknya pun semakin besar pula.

Pendek kata, 'Umar memberi tunjangan sosial kepada setiap jiwa yang berhak. Untuk itu, pertama kali dalam sejarah Islam, 'Umar mengadakan "sensus penduduk" untuk mengetahui cacah jiwa yang berhak mendapat bantuan. Untuk daerah Madinah, 'Umar sendiri yang menye-rahkan pemberian tersebut kepada rakyatnya. Demikian juga untuk kabilah-kabilah yang tidak jauh dari Madinah. Sedangkan untuk pemberian di daerah dilakuan oleh kepala-kepala daerah setempat dengan dasar sistem yang telah digariskan 'Umar.

Untuk peningkatan kesejahteraan sosial, 'Umar juga sering mengadakan patroli pada malam hari. Terkadang ia berjalan sendiri, terkadang juga ditemani oleh pengawalnya. Dalam "perjalanan dinas" ini, 'Umar dapat merasakan dan menyaksikan langsung denyut nadi masyarakat yang dipimpinnya dan mengetahui keadaan sesungguhnya di lapangan. Banyak hal yang ditemukan 'Umar dalam mengadakan patroli ini. Di antara kisah yang terkenal adalah tentang seorang ibu yang memasak batu untuk menenangkan dan menghibur anaknya yang menangis akibat kelaparan, sedangkan makanan yang akan dimakan tidak ada. Melihat keadaan demikian, 'Umar langsung menuju gudang makanan dan memikul sendiri sekarung gandum untuk diberikan kepada ibu tersebut. Ketika pengawalnya menawarkan jasa untuk memikulnya, Umar malah menjawab," Apakah kamu sanggup memikul dosaku kepada Allah karena menelantarkan rakyatku"?

Lembaga Peradilan
Seperti disinggung di atas, 'Umar melakukan perubahan mendasar dalam kekuasaan peradilan dengan memisahkannya dari eksekutif. 'Umar mengangkat Abu al-Darda' sebagai hakim di Madinah. Sedangkan untuk hakim-hakim daerah, 'Umar mengangkat Syarih untuk Bashrah, Abu Musa al-Asy'ari untuk Kufah, dan 'Usman ibn Qais ibn Abi al-'Ash untuk Mesir.  Mereka diberi kewenangan yang luas dan bebas dari intervensi kekuasaan eksekutif. Namun yang perlu digarisbawahi adalah bahwa hakim-hakim, baik di pusat maupun daerah diberikan wewenang yang luas untuk menangani masalah-masalah yang berkaitan dengan sengketa harta atau hukum perdata. Sedangkan untuk masalah-masalah tindak pidana seperti qishash atau hudud, 'Umar sendirilah yang menangani-nya. 

Meskipun demikian, untuk hakim-hakim tersebut, 'Umar tetap memberikan pesan supaya dapat menjalankan tugas mereka dengan baik dan benar. Di antaranya 'Umar menulis surat kepada Abu Musa yang berbunyi: 
“Sesungguhnya lembaga peradilan adalah kewajiban yang harus ditegakkan dan sunnah yang mesti diikuti.... Samakanlah per-lakuanmu terhadap manusia dalam majelismu. Sehingga orang yang kuat tidak bisa melakukan kolusi denganmu agar kamu menyimpang dari keadilan dan orang yang lemah tidak putus asa dalam mencari keadilan. Bukti-bukti harus diajukan oleh penggugat, sedangkan sumpah diucapkan oleh tergugat. Kamu boleh mengadakan perdamaian antara manusia, kecuali perdamaian menghalalkan yang haram dan mengharamkan yanghalal. Kamu boleh meninjau kembali keputusanmu sebelumnya, jika temyata di kemudian hari kamu merasa keputusan tersebut keliru. Kebenaran itu sesungguhnya abadi, tidak ada sesuatu pun yang dapat membatalkannya. Karenanya, kembali kepada kebenaran lebih baik dari pada terus-menerus berada dalam kebatilan. Semua umat Islam dapat diterima kesaksiannya atas yang lain, kecuali orang yang pernah melakukan kesaksian palsu, orang yang pernah dihukum hudud, atau orang yang mempunyai hubungan nasab dengan pihak yang berperkara ... Jauhkanlah dirimu dari memutuskanperkara ketika sedang marah/pikiran kacau dan /emu. Jangan pula engkau memutuskannya dengan menyakitihati orang lain.”

Pesan ini merupakan dasar-dasar bagi hukum acara dan etika hakim dalam menjalankan tugasnya. Selain surat di atas, 'Umar juga mengirim surat kepada Mu'awiyah ibn Abi Sufyan, gubernur merangkap hakim untuk wilayah Syam.
“Biasakanlah melakukan lima hal pasti agama akan selamat dan engkau akan memperoleh keuntungan. Pertama, kalau dua orang yang berperkara datang kepadamu, putuskanlah perkara mereka berdasarkan saksi dan bukti yang adil serta sumpah yang benar. Kedua, jangan menjaga jarak dengan rakyat jelata, sehingga hati mereka beranidan lidah mereka lancar berbicara kepadamu. Ketiga, bantu dan kasihanilah orang yang sedang merantau. Keempat, peli-haralah kerukunan wargamu, jangan sampai mereka bersengketa. Kelima, damaikanlah mereka, kalau mereka bersengketa. “

Selain bidang-bidang yang diuraikan di atas, 'Umar juga melakukan ijtihad dalam berbagai masalah umat. Ada beberapa ijtihad 'Umar yang kontroversial dan menimbulkan polemik di kalangan sahabat, karena sebelumnya tidak pernah dilakukan oleh Nabi Saw. maupun Abu Bakr. 'Umar pernah tidak memotong tangan pencuri karena alasan terpaksa. 

'Umar juga tidak membagi-bagi harta rampasan perang berupa tanah Sawad di Irak dan di Syria kepada tentara yang berperang, tetapi membiarkannya tetap digarap oleh pemiliknya. Selain itu, 'Umar juga tidak memberi bagian zakat kepada mu'allaf. Banyak sahabat yang mengeritik kebijakan 'Umar terhadap masalah-masalah tersebut.  Namun yang patut digarisbawahi adalah tradisi musyawarah yang tidak pernah ditinggalkan 'Umar di dalam memecahkan masalah-masalah tersebut. Dalam kasus rampasan perang misalnya, 'Umar membuka forum diskusi yang bebas dengan sahabat, baik dari golongan muhajirin maupun anshar. 'Umar mendengar dan mempertimbangkan pendapat mereka. 

Dalam forum ini, para sahabat tidak segan-segan mendebat dan membantah pendapat kepala negara. Sebaliknya 'Umar pun tidak melayani mereka dengan emosional, tetapi dengan rasional dan jawaban yang argumentatif. Akhirnya 'Umar pun dapat meyakinkan sahabat lainnya yang membantahnya, sehingga pendapatnya dapat diterima. 

Sistem Suksesi
Dalam masalah suksesi, 'Umar menempuh cara yang berbeda dengan Abu Bakr sebelumnya. Setelah mengalami luka parah akibat tikaman seorang budak Persia bernama Abu LuTuah, para sahabat merasa khawatir kalau-kalau 'Umar meninggal dunia dan tidak sempat meninggalkan pe-san tentang penggantinya. Ini bisa membahayakan umat Islam, mengingat trauma Saqifah Bani Sa'idah masih belum hilang dari umat Islam. Mulanya 'Umar menolak memenuhi permintaan sahabat-sahabat tersebut. Menurutnya, orang yang pantas untuk menduduki jabatan puncak menggantikannya sudah lebih dahulu meninggal. Di antara sahabat kemudian mengusulkan agar 'Umar menunjuk putranya 'Abdullah menjadi penggantinya. Mendengar permintaan ini 'Umar pun marah dan menegaskan bahwa cukup hanya seorang 'Umar dari keluarganya yang mendapat kehormatan menjadi pemimpin umat Islam. Akhirnya sahabat pun pulang dari rumah 'Umar dengan perasaan kecewa.

Namun, mengingat bahaya perpecahan semakin kelihatan bila 'Umar tidak meninggalkan wasiat tentang penggantinya, para sahabat kemudian mengunjungi 'Umar lagi dan mendesaknya agar menunjuk pengganti. 'Umar pun tidak bisa mengelak dari permintaan tersebut. Hanya saja, 'Umar tidak langsung menunjuk seseorang sebagai penggantinya, seperti dilakukan Abu Bakr terhadap dirinya. 'Umar memilih enam sahabat senior yang terdiri dari 'Usman, 'Ali, 'Abd al-Rahman ibn 'Awf, Thalhah ibn 'Ubaidillah, Zubeir ibn 'Awwam, Sa'd ibn Abi Waqqash dan putranya sendiri, 'Abdullah. 

Mereka inilah "tim formatur" yang akan menunjuk siapa di antara mereka yang akan menjadi khalifah. Namun 'Umar menggarisbawahi putranya tidak boleh dipilih. Di samping itu, diUmar juga menjelaskan "aturan main" pemilihan Khalifah. 'Umar berpe-san bahwa bila lima atau empat orang sepakat memilih seorang untuk menjadi Khalifah dan satu atau dua orang membangkang, maka yang membangkang tersebut harus dipenggal lehernya. Kalau suara berimbang 3:3, maka keputusan akan diserahkan kepada 'Abdullah ibn 'Umar. Tapi kalau keputusan ibn 'Umar juga tidak disepakati, maka yang menjadi khalifah adalah calon yang dipilih oleh kelompok 'Abd al-Rahman ibn 'Awf. Kalau ini tidak disetujui juga, penggal saja leher yang membangkang tersebut.

Setelah 'Umar wafat dan dimakamkan, mulailah tim formatur ~ Thalhah tidak ikut karena tidak berada di Madinah— mengadakan musyawarah. Sejak semula, jalannya musyawarah ini benar-benar alot dan ketat. Masing-masing ingin menduduki jabatan Khalifah. 'Abd al-Rahman ibn 'Awf menawarkan agar ada di antara anggota musyawarah yang mengundurkan diri. Namun tak ada seorang pun yang bersedia. Akhirnya 'Abd al-Rahman sendiri yang memulainya. Setelah itu, 'Abd al-Rahman "melobi" anggota lainnya. Ia menanyakan kepada 'Usman tentang siapa yang pantas menjadi Khalifah, seandainya ia tidak terpilih. 'Usman menjawab: 'Ali. Lalu pertanyaan yang sama ditanyakannya kepada Zubeir dan Sa'd secara terpisah. Keduanya menjawab "Usman." Ketika 'Ali disodorkan pertanyaan yang sama, jawaban yang diberikannya juga adalah "Utsman". 

Dari sistem pemilihan yang digariskan di atas, agaknya 'Umar sudah merasa kekuatan politik Islam sudah semakin kuat. 'Umar tidak khawatir akan perpecahan dalam tubuh umat Islam, seperti halnya Abu Baxr, karena ia telah meletakkan sendi-sendi demokrasi dan memperkokoh daulah Islamiyah. Oleh sebab itu, 'Umar memberikan kesempatan kepada sahabat sepeninggalnya untuk melaksanakan sistem musyawarah yang digariskannya dalam memilih penggantinya.

Dari jawaban-jawaban tersebut dapat ditarik polarisasi kekuatan, yaitu 'Ali dan 'Usman. Polarisasi ini juga mengkristal dalam masyarakat Madinah. Selanjutnya 'Abd al-Rahman memanggil 'Ali dan menanyakan, seandainya ia terpilih menjadi khalifah, sanggupkah ia melaksanakan tugasnya berdasarkan Al-Quran dan Sunnah Rasulullah serta kebijaksanaan Abu Bakr dan 'Umar sebelumnya. 'Ali, karena kepolosan dan rasa tawadhu'nya, hanya menjawab bahwa ia berharap dapat menjalankannya sesuai dengan pengetahuan dan kemampuannya. Setelah itu, 'Abd al-Rahman memanggil 'Usman dan menyodorkan pertanyaan serupa. 'Usman pun menjawab: "Ya, sanggup." Akhirnya 'Usman pun dibaiat menjadi Khalifah ketiga dalam usia 70 tahun. Di pihak lain, 'Ali sangat kecewa dan merasa dirugikan dengan sistem pemilihan yang dimotori 'Abd al-Rahman. Meskipun akhirnya 'Ali juga ikut membaiat Usman. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.