Khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq (13/632-634 M)



Periode pemerintahan Khulafaur Rasyidin adalah masa kepemimpinan terbaik setelah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Apa-apa yang dilakukan oleh Khalifah Abu Bakar Ashshidiq, Khalifah Umar bin Khattab, Khalifah Utsman bin Affan dan Khalifah Ali bin Abi Thalib telah menyempurnakan Manhaj Al Islam sebagai satu-satunya Manhaj (methode) meraih Mardhatillah.

 Dari Al-‘Irbadh bin Sariyah, dia berkata:
 وَعَظَنَا مَوْعِظَةً بَلِيغَةً ذَرَفَتْ مِنْهَا الْعُيُونُ وَوَجِلَتْ مِنْهَا الْقُلُوبُ فَقَالَ قَائِلٌ يَا رَسُولَ اللهِ كَأَنَّ هَذِهِ مَوْعِظَةُ مُوَدِّعٍ فَمَاذَا تَعْهَدُ إِلَيْنَا فَقَالَ أُوصِيكُمْ بِتَقْوَى الهُِ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ عَبْدًا حَبَشِيًّا فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِي فَسَيَرَى اخْتِلاَفًا كَثِيرًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّينَ الرَّاشِدِينَ تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ اْلأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ 
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menasehati kami dengan nasehat yang menyentuh, meneteslah air mata dan bergetarlah hati-hati. Maka ada seseorang yang berkata: “Wahai Rasulullah, seakan-akan ini adalah nasehat perpisahan. Maka apa yang akan engkau wasiatkan pada kami?” Beliau bersabda: “Aku wasiatkan pada kalian untuk bertakwa kepada Allah serta mendengarkan dan mentaati (pemerintah Islam), meskipun yang memerintah kalian seorang budak Habsyi. Dan sesungguhnya orang yang hidup sesudahku di antara kalian akan melihat banyak perselisihan. Wajib kalian berpegang dengan sunnahku dan sunnah Khulafaur Rasyidin Mahdiyyin (para pemimpin yang menggantikan Rasulullah, yang berada di atas jalan yang lurus, dan mendapatkan petunjuk). Berpegang teguhlah kalian padanya dan gigitlah ia dengan geraham-geraham kalian. Serta jauhilah perkara-perkara yang baru. Karena setiap perkara yang baru adalah bid’ah. Dan setiap bid’ah adalah sesat.“ (HR Abu Daud)

Abu Bakr As-Siddiq Abdullah bin Abi Quhafa al-Taimi al-Qurashi (50 H - 13 H / 573 CE - 634 M ) adalah khalifah pertama dalam periode Khulafaur Rasyidin. Pada bagian ini kita akan mempelajari periode kepemimpinan dan pemerintahan Abu Bakar Ashshidiq. (Muhamad Iqbal, Fiqih SiyasahlKontekstualisasi Doktrin Politik Islam, 2001:44-54)

Persoalan pertama yang muncul setelah Nabi Muhammad wafat pada 632 M/10 H adalah suksesi. Semasa hidupnya, Rasulullah memang tidak pernah menunjuk siapa yang akan menggantikan kepemimpinannya1 kelak. Beliau juga tidak memberi petunjuk tentang tata cara pengangkatan penggantinya (khalifah). Ketiadaan petunjuk ini menimbulkan permasa-lahan di kalangan umat Islam setelah Rasulullah wafat, sehingga hampir membawa perpecahan antara kaum muhajirin dan ansar. Bahkan jenazah beliau sendiri "terlantar" oleh pembicaraan seputar khilafah ini.

Sehari setelah rasul wafat, kaum ansar memprakarsai musyawarah besar di Saqifah Bani Sa'idah. Mereka sibuk membicarakan siapa yang akan diangkat menjadi khalifah pengganti kekuasaan politik Nabi. Dalam pertemuan itu, suku Khazraj menunjuk Sa'ad ibn 'Ubadah sebagai khalifah. 

Namun suku Aws belum bersedia menerima pencalonan Sa’ad tersebut, karena mereka juga mempertimbangkan kemungkinan golonpan muhajirin menentukan calonnya sendiri Menghadapi keberatan suku Aws, sebagian anggota suku Khazraj bersikukuh pada pendirian mereka, meskipun kaum muhajirin juga akan mempertahankan pemimpin dari kalangan mereka. 

Sekelompok suku Aws ketika itu berkata, "Kalau demikian (kemungkinannya), kita akan katakan kepada mereka (muhajirin) bahwa dari seorang amir dan dari mereka pun seorang amir. Selain itu, kita tidak akan setuju. Menanggapi pendapat demikian, Sa'ad ibn 'Ubadah menyatakan bahwa ini adalah awal kelemahan yang akan mem-bawa kepada perpecahan umat Islam sendiri. 

Sementara orang-orang ansar masih berkumpul di Saqifah Bani Sa'idah, 'Umar, Abu 'Ubaidah ibn Jarrah dan beberapa kaum muslimin lainnya sibuk pula membicarakan wafatnya Rasul. Sedangkan Abu Bakr, 'Ali serta keluarga Rasul sibuk mengurus persiapan pemakaman jenazah beliau. Ketika itulah 'Umar mulai berpikir tentang umat Islam setelah Rasulullah wafat. 'Umar langsung meminta Abu 'Ubaidah mengulurkan tangannya untuk dibai'ah. 'Umar melihat bahwa Abu 'Ubaidah adalah figur yang paling cocok menjadi khalifah, karena dia kepercayaan umat. Namun Abu 'Ubaidah keberatan dengan alasan bahwa Abu Bakr-lah figur yang lebih tepat untuk menggantikan Nabi.

Sewaktu dialog tersebut, berita pertemuan ansar di Saqifah Bani Sa'idah pun sampai ke telinga 'Umar dan Abu 'Ubaidah. 'Umar segera mengutus seseorang kepada Abu Bakr untuk datang segera menemuinya. Namun Abu Bakr tidak bersedia karena sibuk mengurus jenazah Nabi. 'Umar pun menyuruh utusan tersebut datang kembali kepada Abu Bakr dengan membawa pesan bahwa ada sesuatu yang penting telah terjadi dan memerlukan kehadirannya untuk dibicarakan bersama. Akhirnya Abu Bakr datang kepada 'Umar diliputi rasa heran. 'Umar pun menceritakan peristiwa Saqifah tersebut. Setelah mendengar cerita 'Umar, segera saja mereka bertiga —yakni Abu Bakr, 'Umar dan Abu 'Ubaidah— berangkat menuju balai pertemuan kaum ansar tadi.

Ketika mereka tiba, kaum ansar masih terlibat diskusi yang alot. Mereka belum mencapai kata sepakat tentang pencalonan Sa'ad ibn 'Ubadah. Melihat kedatangan ketiga orang ini, semua hadinn berhenti bicara. Sebenarnya 'Umar ingin bicara lebih dahulu kepada kaum ansar, namun Abu Bakr mencegahnya. Ia khawatir, kalau-kalau sikap 'Umar yang keras menimbulkan gejolak di kalangan ansar dan perpecahan di tubuh umat Islam. Apalagi situasainya saat itu sangat panas dan alot 

Akhirnya Abu Bakr angkat bicara lebih dahulu. Pembicaraan Abu Bakr ternyata juga menimbulkan reaksi di kalangan ansar. Mereka menolak kepemimpinan (khilafah) berada di tangan muhajirin, sebagaimana perkataan Abu Bakr nahnu al-umara', wa antum al-wizara' (Icami yang menjadi pemimpin, dan Anda menjadi wazirnya). 

Akhirnya, dalam suasana tegang dan tarik ulur ini, Abu Bakr terpilih menjadi khalifah. 'Umarlah orang yang pertama melakukan bai'ah terhadap Abu Bakr, diikuti oleh Abu 'Ubaidah dan kaum muslimin lainnya. Sementara Sa'd ibn 'Ubadah sampai akhir kepemimpinan Abu Bakr tidak pernah memberikan bai'ah kepada Abu Bakr. 

Kehadiran Abu Bakr, 'Umar dan Abu 'Ubaidah di pertemuan Saqifah ini tepat sekali. Seandainya bukan sosok ketiga tokoh muhajirin tersebut yang hadir, sulit dibayangkan perpecahan yang akan terjadi di tubuh masyarakat Islam yang baru seumur jagung itu. Sosok Abu Bakr sudah teruji keimanan dan kesetiaannya kepada Rasulullah. Sehingga ke-beradaannya dapat diterima oleh golongan muhajirin dan ansar. 

Peristiwa Saqifah ini juga merupakan batu ujian pertama bagi umat Islam dalam mengimplementasi nilai-nilai syura yang digariskan Al-Quran. Dalam pertemuan ini, masing-masing pihak mengeluarkan pendapatnya dengan berbagai argumentasinya. Meskipun diwarnai suasana yang panas dan menegangkan, baik muhajirin dan ansar masih tetap berpegang pada koridor semangat ukhuwah dan kebersamaan. Akhirnya, setelah beradu argumentasi, mereka menerima keputusan musyawarah tersebut. Uniknya, pribadi-pibadi yang menolak hasil keputusan tersebut pun dihargai, sebagaimana terjadi pada kasus Sa'ad. Ini menunjukkan bahwa umat Islam berhasil melewati saat-saat genting dengan tercapainya suatu kesepakatan atas kepemimpinan Abu Bakr.

Kebijakan Politik Abu Bakr
Setelah terpilih menjadi khalifah menggantikan Rasulullah, Abu Bakr menyampaikan "pidato kenegaraan" di Mesjid Nabawi. “Wahai manusia, sesungguhnya aku telah kalian percayakan untuk memangku jabatan khalifah, padahal aku bukanlah orang yang paling baik di antara kalian. Kalau aku menjalankan tugasku dengan baik, bantulah aku. Sebaliknya, kalau aku salah, luruskanlah langka-hku. Kebenaran adalah kepercayaan dan dusta adalah pengkhianatan. Orang yang lemah di- kalangan kamu adalah kuat dalam pandanganku, sesudah hak-haknya aku berikan kepadanya. Sebalikya, orang yang kuat di antara kalian aku anggap lemah setelah haknya saya ambil. Bila ada yang meninggalkan perjuangan dijalan Allah, rnaka Allah akan menghinakannya. Bila kejahatan itu sudah meluas pada suatu golongan, maka Allah akan menyebarkan ben-cana kepada mereka. Taatilah aku selama aku taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Tapi selama saya tidak taat pada Allah dan Rasul-Nya, gugurlah kesetiaan kalian kepadaku. Laksanakanlah shalat, Allah akan memberikanmu rahmat?”

Pidato pelantikan ini memperlihatkan garis kebijakan yang akan ditempuh oleh Abu Bakr sebagai nakhoda baru bahtera Negara Madinah. Garis kebijakan ini begitu modern dan "terlalu maju" untuk kondisi dunia pada masanya. Hal-hal penting yang dapat dicatat dari pidato tersebut adalah; pertama, pelantikan Abu Bakr dapat dikatakan sebagai wujud dari kontrak sosial antara pemimpin dan rakyatnya. Karenanya, Abu Bakr hanya menuntut kepatuhan dan kesetiaan umat Islam kepadanya, selama ia berjalan pada jalan yang benar. 

Kedua, karena itu, Abu Bakr meminta kepada segenap rakyatnya untuk berpartisipasi aktif melakukan kontrol sosial terhadap dirinya. Dalam hal ini Abu Bakr memberikan dan men-jamin kebebasan berpendapat kepada rakyatnya. Ketiga, tekad Abu Bakr untuk menegakkan keadilan dan HAM dengan melindungi orang-orang yang lemah dari kesewenang-wenangan orang yang kuat. Keempat, seruan untuk membela negara (jihad) pada saat yang dibutuhkan. Kelima, perintah untuk tetap menjalankan shalat sebagai salah satu syarat untuk memperoleh keberkahan dalam masyarakat.

Prinsip-prinsip tersebut di atas sebenarnya merupakan penegasan kembali terhadap garis kebijakan politik Nabi sebelumnya. Jadi Abu Bakr tinggal melaksanakannya dan menyesuaikannya dengan tuntutan situasi dan masyarakat yang berkembang.

Setelah Abu Bakr dilantik sebagai khalifah, timbul permasalahan-permasalahan yang sangat mengganggu dan membutuhkan penanganan yang tepat, baik yang berasal dari luar maupun dari dalam negeri sendiri. Karenanya, pada masa pemerintahannya, Abu Bakr lebih banyak melakukan konsolidasi ke dalam dengan memperkuat posisi Negara Madinah dari ancaman-ancaman yang berasal dari luar dan dalam negeri.

Dari luar negeri, Abu Bakr mempunyai "utang" melepas tentara Islam yang dipimpin Usamah ibn Zaid untuk menghadapi tentara Romawi di Mu'tah. Selama masa Nabi, Romawi menjadi musuh Islam karena mereka menghasut orang-orang Yahudi yang pindah ke Palestina sebab diusir paksa oleh Nabi dari Madinah. 

Pada masa Nabi juga telah terjadi kontak-kontak senjata dengan Romawi di Mu'tah dan Tabuk. Dalam pertempuran di Tabuk, Zaid ibn Haritsah, ayah Usamah yang menjadi panglima perangnya gugur. Nabi ingin memerangi kembali orang-orang Romawi di Mu'tah itu dengan mempersiapkan Usamah sebagai parglima perangnya. Namun rencana itu tertunda, karena tidak lama kemudian beliau wafat. Karenanya, peristiwa-peristiwa kontak senjata dengan Romawi pada masa Nabi ini menjadi motivasi bagi Abu Bakr untuk meningkatkan kewaspadaan melindungi perbatasan Arab-Romawi. 

Sebenarnya di kalangan sahabat sendiri terdapat perbedaan terhadap pengiriman pasukan Islam ke Mu'tah. Di dalam negeri juga terjadi permasalahan yang cukup pelik. Beberapa suku di kalangan Arab pedala-man mulai membangkang dengan menolak membayar zakat. Bahkan ada pula yang keluar dari Islam. 

Sebagian sahabat memberi pertimbangan kepada Abu Bakr agar berkonsentrasi pada penyelesaian masalah dalam negeri saja dulu. Namun Abu Bakr tetap bersikukuh dengan pendiriannya dan mengatakan, "Demi jiwa Abu Bakr, sekiranya srigala akan menerkamku, aku akan tetap meneruskan pengiriman pasukan Usamah seperti yang diperintahkan Nabi. Meskipun di kota ini sudah tidak ada lagi orang, aku akan tetap melaksanakannya. 

Sementara di kalangan Anshar merasa kurang "sreg" dipimpin oleh Usamah, panglima perang yang masih sangat muda. Usianya belum lagi dua puluh tahun. Mereka minta agar Usamah diganti dengan pemimpin perang yang lebih senior. Namun karena segan, mereka tidak berani secara langsung menyampaikannya kepada Abu Bakr, tetapi meminta 'Umar sebagai "juru bicara" mereka. 

Mendengar permintaan yang disampaikan 'Umar ini, Abu Bakr marah kepada 'Umar. "Celaka kau 'Umar, Rasulullah yang menempatkannya sebagai panglima, apakah aku akan mencabutnya?" Peperangan akhirnya dimenangkan oleh umat Islam. Usamah dan pasukannya pun kembali ke Madinah dengan membawa rampasan perang yang banyak.

Setelah berhasil menyelesaikan rencana Nabi yang tertunda di atas, Abu Bakr segera menghadapi para pembangkang yang terdiri dari suku-suku Arab yang enggan membayar zakat, nabi-nabi palsu dan orang-orang murtad. Ada yang menarik dari penyelesaian menghadapi kaum pembangkang tersebut. Berbeda dengan ekspedisi Mu'tah yang dipimpin Usamah di atas di mana Abu Bakr memutuskannya sendiri, dalam menghadapi kaum murtad dan pembangkang yang menolak membayar zakat .

Abu Bakr mengadakan musyawarah dengan para sahabat lamnya. Abu Bakr perlu meminta masukan dari sahabat senior untuk menentukan sikap terhadap mereka. Dalam musyawarah ini sebagian besar sahabat setuju memerangi orang murtad, tapi menolak memerangi orang-orang yang enggan membayar zakat. 'Umar termasuk orang yang berpendapat demikian. Di sini kembali sikap tegas Abu Bakr muncul. Ia bersumpah bahwa ia akan memerangi orang yang keberatan membayar zakat kepadanya. 

Abu Bakr berpendirian bahwa zakat adalah kewajiban dalam Islam yang tidak bisa ditawar dan dibeda-bedakan dengan kewajiban yang lain. Pembayaran zakat kepada pemerintah pusat (Madinah) juga merupakan simbol integrasi dan pengakuan suku-suku Arab terhadap kekuasaan politik Islam.  Karena itu, menurut pertimbangan Abu Bakr, orang yang enggan membayar zakat berarti keluar dari Islam atau menolak kekuasaan politik Islam. Konsekuensinya, mereka harus berhadapan dengan kekuasaan Islam.

Akhirnya Abu Bakr mengirim pasukan untuk memerangi para pem-bangkang. Pasukan tersebut dibagi menjadi sebelas brigade dan masing-masing brigade dipimpin oleh seorang komandan perang. Kesebe-las itu adalah:
1. Khalid ibn Walid memimpin pasukan memerangi nabi palsu Thulai-hah ibn Khuwailid dari Banu Asad dan Malik ibn Nuwairah (pemimpin pemberontak) dari Banu Tamim di Buthah. Kedua kabi-lah ini tinggal paling dekat dengan kota Madinah. Karenanya Abu Bakr menugaskan Khalid ibn Walid, panglima perang yang paling ditakuti dan disegani, untuk memukul mereka. Tujuannya tidak lain untuk memberi "pelajaran" bagi kabilah-kabilah lain yang tidak mau menyerah;
2. Ikrimah ibn Abi Jahl memimpin tentara memadamkan pemberontakan nabi palsu Musailamah al-Kadzdzab dari Banu Hanifah di Yamamah. Pasukan Ikrimah juga mendapat bantuan tambahan dari pasukan Syurahbil dan Amr ibn al-'Ash;
3. Syurahbil ibn Hasanah memimpin tentara ke Qudha'ah dan membantu pasukan Ikrimah;
4. Al-Muhajir ibn Abi Umayah memimpin pasukan memerangi Al-Aswad al-Ansi, seorang nabi palsu di Yaman. Selesai melaksanakan tugasnya, pasukan al-Muhajir juga berangkat ke Kindah dan Had-ramaut untuk memadamkan pemberontakan Asy'as ibn Qais;
5. Huzaifah ibn Mihsan memadamkan pemberontakan suku di Oman yang dipimpinoleh Zut-Taj Laqit ibn Malik al-Azdi;
6. Arfajah ibn Hursimah, memimpin tentara ke Mahrah;
7. Suwaid ibn Muqarrin memerangi suku di Tihamah, Yaman;
8. Ala' ibn al-Hadrami, memimpin pasukan menyerbu Hutam ibn Dabi'ah yang murtad di Bahrain.

Semua pasukan ini bertugas memadamkan pemberontakan di bagian selatan Arabia. Karena daerah ini sangat gigih dalam memberontak dan cukup kuat untuk bertahan dari gempuran tentara Islam. Untuk bagian utara, Abu Bakr cukup mengerahkan tiga brigade saja yang ma-sing-masing dipimpin oleh Amr ibn al-'Ash untuk menghadapi Qida'ah, Mi'an ibn Hajiz untuk memadamkan perlawanan suku Banu Sulaim di Hawazin dan Khalid ibn Sa'id untuk membebaskan Syam.

Sebelum menggempur kaum pembangkang, terlebih dahulu Abu Bakr memberi peringatan agar kembali ke Islam. Namun seruan ini tidak diterima mereka. Akhirnya Abu Bakr menghadapi mereka dengan kekuatan senjata. Semua pemberontakan dapat dipadamkan. Ada yang kembali ke Islam. Bagi yang kembali, mereka dimaafkan oleh Abu Bakr. Di antara pemimpin suku Arab yang dimaafkan adalah Qurrah ibn Hubairah, Amr ibn Ma'd dan Karib Asy'as ibn Qais.

Sedangkan yang tetap membangkang, terus digempur hingga pemimpin-pemimpin pemberontaknya terbunuh, seperti Musailamah, nabi palsu. Selama enam bulan, terhitung Agustus 632 hingga Pebruari 633 M, Abu Bakr berjuang memadamkan pemberontakan suku-suku Arab dan nabi-nabi palsu tersebut.41

Namun menghadapi Musailamah di Yamamah, banyak tentara Islam yang gugur. Sebagian besar mereka adalah para penghafal Al-Quran. Hal ini membuat 'Umar khawatir kalau-kalau Al-Quran akan hilang dari umat Islam. Sebab ketika itu penulisan Al-Quran masih terserak-serak di pelepah-pelepah kurma, tulang ataupun daun dan belum tersusun dalam sebuah naskah khusus. 'Umar menyarankan kepada Abu Bakr agar Al-Quran segera dikumpulkan. Pada mulanya Abu Bakr keberatan dengan usul 'Umar, karena tidak ada anjuran sebelumnya dari Nabi. 

Bagaimana ia akan melakukan sesuatu yang tidak dilakukan oleh Nabi? Namun 'Umar tidak menyerah dan terus meyakinkan Abu Bakr tentang pentingnya pengumpulan Al-Quran. Setelah setuju, Abu Bakr memanggil Zaid ibn Tsabit, penulis wahyu pada zaman Nabi, untuk menjadi "ketua tim" pengumpulan Al-Quran. Zaid pun mulanya keberatan dengan rencana ini. Tapi karena kemaslahatannya lebih besar kalau Al-Quran dikumpulkan, maka, setelah memohon petunjuk dari Allah, Zaid akhirnya menerima tugas berat tersebut.

Setelah berhasil menenangkan situasi dalam negeri dan mem-perkuat pertahanan terhadap serangan luar, khususnya Persia dan Romawi, Abu Bakr segera menghadapkan perhatiannya pada pembenah-an negara. Abu Bakr menyusun sistem pemerintahan yang menekankan pada prinsip pembagian kekuasaan dan penempatan orang sesuai dengan kemampuannya. Struktur pemerintahan Abu Bakr dapat dikatakan modern untuk zamannya.

Untuk pelaksanaan tugas-tugas eksekutif, Abu Bakr melakukan pembagian kekuasaan di kalangan sahabat senior. Abu Bakr mengangkat tiga orang sahabat, yaitu' Ali, 'Usman dan Zaid ibn Tsabit sebagai sekretaris negara (katib)yang berkedudukan di Madinah. Untuk memegang keuangan negara, Abu Bakr menunjuk Abu 'Ubaidah sebagai bendahara. Sedangkan untuk jabatan hakim agung diserahkan kepada 'Umar ibn al-Khaththab.

Uniknya, selama 'Umar menjadi hakim, tidak pernah seorangpun yang datang mengajukan perkara kepadanya. Ini setidaknya mengisyaratkan dua kemungkinan. Pertama, ketika itu kesadaran hukum umat Islam sangat tinggi sehingga tidak terdapat permasalahan hukum yang berarti yang mesti ditangani 'Umar. Kedua, boleh jadi karena ketegasan 'Umar, orang enggan mengajukan perkara kepadanya, sehingga mereka dapat menyelesaikannya sendiri tanpa harus sam->ai kepada 'Umar

Sementara dalam membantu Khalifah memutuskan urusan-urusan kenegaraan, Abu Bakr juga membentuk Majelis Syura yang terdiri dari 'Umar, 'Usman, 'Ali, 'Abd al-Rahman ibn 'Awf, Mu'adz ibn Jabal, Ubay ibn Ka'b dan Zaid ibn Tsabit. 

Untuk membantu tugas-tugas di daerah, Abu Bakr meneruskan pola Nabi mengangkat para gubernur sebagai kepala pemerintahan. Mereka adalah:
1. 'Utab ibn Asid untuk Mekah, 'Usman ibn Abi al-'Ash untuk Tha'if;
2. Muhajir ibn Umaiyah untuk Shan'a, Z.iad ibn Labid untuk Had-ramaut;
3. Ya'la ibn Umaiyah untuk Khaulan, 'Ila ibn Tsur al-Hadrami untuk Zabid dan Rima';
4. Mu'adz ibn Jabal untuk Janad dan 'Abdullah ibn Tsur untuk Jarsy.

Mereka bertanggung jawab kepada Khalifah, namun diberikan keleluasaan untuk mengangkat para stafnya. Para kepala daerah memiliki otoritas dan otonomi terbatas. Sebagai kepala daerah, kekuasaan mereka menyatu antara yang bersifat duniawi dengan yang bernuansa agama. Artinya, kepala daerah tersebut memegang peranan sebagai pemimpin agama dan pelaksana pemerintahan Abu Bakr juga memegang komando tertinggi Angkatan Bersenjata. Untuk operasi-operasi militer, Abu Bakr mengangkat beberapa komandan perang yang handal dan tangguh sebagaimana dijelaskan di atas.


STRUKTUR PEMERINTAHAN KHALIFAH ABU BAKR
Sementara dalam masalah ekonomi, hal penting yang dilakukan Abu Bakr, sebagaimana penjelasan di atas, adalah mengembalikan suku-suku Arab kepada kewajiban membayar zakat. Abu Bakr memandang bahwa zakat, di samping sebagai kewajiban agama, juga merupakan sarana efektif dalam rangka pemerataan pendapatan. Orang yang ingkar membayar zakat merupakan "pemberontak" yang mengganggu stabilitas ekonomi. Karenanya, sebelum gerakan mereka menimbulkan goncangan yang lebih hebat bagi stabilitas politik, Abu Bakr segera memerangi mereka. 

Selain zakat, infak dan sedekah, perekonomian negara juga ditunjang dari hasil rampasan perang (ghanimah) dan pajak (jizyah) dari ah! al-dzimmi. Inilah yang dikelola Abu 'Ubaidah sebagai bendaharawan negara untuk meningkatkan kesejahteraan warganya. Dari sini pula negara membayar gaji "pegawai negeri", tentara dan orang-orang yang berhak menerima bantuan negara menurut agama.

Dapat dikatakan, pemerintahan Abu Bakr merupakan "batu ujian" pertama bagi umat Islam untuk mengaktualisasikan nilai-nilai ajaran Islam setelah Nabi wafat. Abu Bakr dapat melaksanakan ujian tersebut dan berhasil membangun sebuah sistem pemerintahan yang bersih, etis serta mengikutsertakan partisipasi segenap warganya. 

Memang kalau diperhatikan, sistem pemerintahan periode Abu Bakr masih belum memisahkan antara kekuasaan eksekutif, legislatif dan yudikatif. Semua kekuasaan pada akhirnya bermuara juga kepada Abu Bakr. Di samping itu, ada beberapa sahabat yang menduduki dua jabatan sekaligus. Namun, adanya asas persamaan antara seluruh rakyat dan kontrol dari segenap anggota masyarakat, kekuasaan Abu Bakr sangat egaliter dan demokratis. 

Pidato pelantikan Abu Bakr, sebagaimana dikutip di atas sebelumnya, menunjuk-kan betapa Abu Bakr menerapkan pola pemerintahan yang benar-benar modern di tengah-tengah situasi masyarakat dunia yang masih menganut sistem kerajaan absolutdan mengesampingkan hak-hak rakyatnya. Robert N. Bellah, sebagaimana dilukiskan Nurcholish Madjid, menilai bahwa masyarakat pada masa Abu Bakr khususnya dan masyarakat Islam klasik umumnya, merupakan masyarakat yang terlalu modern untuk masa dan tempatnya. la modern dalam hal tingkat komitmen, keterlibatan dan par-tisipasi yang tinggi, yang diharapkan dari semua lapisan masyarakamya. la juga modern dalam hal keterbukaan posisi kepemimpinan terhadap kemampuan yang dinilai menurut ukuran-ukuran universal dan dilam-bangkan dalam usaha untuk melembagakan kepemimpinan puncak yang tidak bersifat warisan.  
 
Sistem Suksesi Kepemimpinan
Seperti dijelaskan di muka, setelah Nabi wafat umat Islam mengalami goncangan. Hampir saja Negara Madinah yang baru seumur jagung mengalami disintegrasi karena masalah suksesi kepemimpinan pasca-Rasulullah. Peristiwa Saqifah Bani Sa'idah mengisyaratkan kepada Abu Bakr betapa masalah ini sangat krusial dan sensitif bagi persatuan dan kesatuan umat Islam. Namun yang lebih dikhawatirkan oleh Abu Bakr dan lebih mengancam persatuan dan kesatuan Negara Madinah adalah trauma pemberontakan suku-suku Arab atas kepemimpinannya. 

Sangat boleh jadi, setelah mengalami kekalahan, mereka akan menyusun kekuatan kembali manakala melihat umat Islam sedang sibuk mengurusi masalah suksesi dan menghabiskan waktu serta tenaga untuk memperebutkan jabatan tertinggi di Negara Madinah. Bertolak dari pengalaman ini, Abu Bakr menempuh kebijakan melakukan wasiat untuk meneruskan kepemimpinannya kelak setelah ia meninggal. Ini dimaksudkan untuk memantapkan stabilitas keamanan dalam negeri pada saat terjadinya per-gantian kepemimpinan nanti.

Pada tahun ketiga pemerintahannya, Abu Bakr mendadak jatuh sakit. Selama lima belas hari ia tidak dapat memimpin shalat berjama'ah di mesjid. Sebagai wakil, Abu Bakr meminta 'Umar menjadi imam shalat. Karena merasa sakitnya semakin berat dan kemungkinan ajalnya sudah dekat, Abu Bakr merasa perlu memberi wasiat tentang penggantinya kelak.

Maka Abu Bakr menetapkan Umar ibn al-Khathtab sebagai khalifah. Dalam penetapan ini, Abu Bakr tetap melaksanakan musyawarah dengan sahabat-sahabat lainnya. Di antara sahabat yang diajaknya bermusyawarah adalah 'Abd al-Rahman ibn 'Awf dan 'Usman ibn 'Affan serta Asid ibn Khudair. Pada prinsipnya, sahabat-sahabat tersebut menyatakan setuju dengan pilihan Abu Bakr. Hanya saja 'Abd al-Rahman mengingatkan bahwa 'Omar terlalu keras. Namun dengan bijaksana Abu Bakr menjawab bahwa sikap keras tersebut karena 'Umar melihat sifat Abu Bakr yang lemah lembut. Kelak setelah menjadi khalifah, 'Umar pun bisa menjadi lemah lembut. 

Setelah bermusyawarah dengan tiga tokoh sahabat di atas, Abu Bakr meminta 'Usman untuk menuliskan pesan tentang penunjukan 'Umar sebagai penggantinya. Belum selesai mendiktekan wasiatnya, tiba-tiba Abu Bakr jatuh pingsan. 'Usman yang sudah mengerti maksud dan isi yang akan disampaikan Abu Bakr, terus saja menulis wasiat tersebut. Setelah siuman kembali, Abu Bakr menanyakan isi wasiat yang telah ditulis 'Usman. Mendengar apa yang dibaca 'Usman sesuai dengan pesannya, Abu Bakr puas dan bertakbir serta berterima kasih kepada 'Usman.

Abu Bakr kemudian menemui umat Islam yangberkumpul di mesjid dan menyampaikan keputusannya memilih 'Umar. Abu Bakr bertanya, "Apakah kalian semua rela menerima orang yang kelak akan memimpin kamu? Demi Allah, sesungguhnya aku tidak melupakan pemikiranku dan tidak memlih kerabatku sebagai penggantiku untuk memimpin kamu. Aku mengangkat 'Umar. Karena itu, dengar dan patuhilah dia." Para hadirin pun menyatakan sikap setuju dan mematuhi apa yang disampai-kan Abu Bakr.

Selanjutnya Abu Bakr memanggil 'Umar dan membekalinya dengan beberapa pesan. Setelah itu Abu Bakr mengangkat kedua tangannya dan berdoa, "Ya Allah, aku hanya menginginkan kemaslahatan bagi mereka. Aku sangat khawatir akan perpecahan (fitnah) yang menimpa mereka. Aku telah berbuat sesuatu untuk mereka di mana Engkau lebih mengetahuinya. Aku telah melakukan ijtihad dalam masalah ini dengan menunjuk pemimpin mereka yang kuat dan mampu membawa mereka kepada kebaikan. Berilah kemaslahatan bagi mereka dan jadikanlah dia sebagai pemimpin yang terpuji.  Umar pun dibai'at secara umum oleh umat Islam di mesjid Nabawi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.