Ummah ; Hakikat Masyarakat Islam



a. Tidak Ada Islam Tanpa Ummah
Allah SWT sudah memerintahkan dalam Qs. 3:104, bahwa kaum muslimin diperintahkan untuk membentuk diri mereka menjadi UMMAH, yaitu suatu pertubuhan sosial yang diorganisasi secara khusus Teks Al Our'an telah memberikan 7/ta atau alasan yang cukup dari perintah ini yaitu "untuk amar makruf dan nahi munkar". 

Dengan adanya ummah, memungkinkan hadirnya amar makruf dan nahi munkar dalam perilaku masyarakat Islam. Ummah adalah sumber hak-hak muslim dan juga kewajiban-kewajibannya, dan ia merupakan badan di mana hak-hak dan tugas-tugas tersebut dapat dilaksanakan.

Nabi SAW sudah menggariskan tidak boleh bagi tiga orang muslim untuk berada di suatu tempat tanpa mengangkat salah seorang diantara mereka untuk menjadi pemimpin. Hal ini dikarenakan bahwa tujuan muslimin adalah melaksanakan ibadah, menjalankan ketentuan-ketentuan Ilahi, merealisasikan keadilan, melaksanakan hudud dan mencapai kebahagiaan di dunia ini dan diakhirat nanti, maka tidak ada jalan lain kecuali membentuk diri mereka menjadi UMMAH, suatu masyarakat organis yang memiliki Imarah. 

Ummah merupakan sine qua non dari semua kesalehan dan moralitas. Itulah sebabnya Allah melukiskan mukminin sebagai laki-laki dan wanita-wanita yang menjadi sahabat dan pelindung satu sama lain" (Qs. 9:71), tolong menolong (Qs. 5:3). Secara didaktis, Allah melukiskan orang terkutuk sebagai orang-orang yang tidak saling mencegah satu sama lain dalam kejahatan yang mereka lakukan (Qs. 5:79)

b. Hanya Satu Ada Ummah
Allah berfirman bahwa Ummah ini adalah ummah yang satu (Qs. 21:92 23:53). Maksudnya adalah bahwa mukminin hendaklah memiliki satu titik tumpuan tempat berpijak, satu tujuan menyeluruh, satu kiblat tempat mendarma baktikan segenap potensi dan tenaga untuk beribadah kepada Allah dan mengkufuri Thagut. 

Kesatuan Ummah hendaknya bersifat struktural dan spiritual, tidak berdasar biologis, geografis, linguistik ataupun kultural. Kesatuan ummah terefleksikan ke dalam tatanan Khilafah fil Ardhi untuk tingkat internasional dan Dawlah Islamiyah di tingkat lokal/regional. Kedekatan dalam Dinul Islam adalah berdasar hubungan kepada Aqidah, Walayah dan Ojyadah, bukan faktor keturunan atau geografik. Ummah bukanlah Gemeinschaft melainkan Gesellschaft, bukan suatu komunitas bawaan alam, melainkan suatu komunitas hasil keputusan manusia, hasil dari "kontrak sosial" antara Pimpinan dan Warga Negara.

Sekalipun Ummah adalah satu secara struktural dan spiritual, tidak berarti ummah tidak menerima pembagian secara administratif. Pembagian administratif dalam ummah bisa dilakukan sebanyak-banyaknya sesuai dengan kebutuhan. Sebagai contoh dalam penetapan tanggal 1 Ramadhan/Syawwal sebagai Hari Puasa dan Hari Raya Idul Fithri, Imam Syafi'i telah menyarankan pembagian wilayah ummah dalam batas-batas sejauh 24 Farsakh (192 KM). Dengan perkembangan teknologi informasi masa kini, yang telah menjadikan dunia sebagai sebuah "kampung kecil", pembagian wilayah dalam ummah bukan semata-mata masalah administrasi saja, tetapi juga sebagai tuntutan efektifitas dan efesiensi dalam pelayanan. 

Harus dicatat bahwa otonomi administratif dalam Ummah tidak memberikan kepadanya "Otonomi Legislatif". Pembuatan hukum Islam diatur oleh Sistem Yurisprudensi dan Hirarki Hukum yang berlaku Ijtihad haruslah dilakukan secara Jama'i {Ijma' ummah) dan merujuk kepada Ketentuan yang telah ditetapkan sebelumnya.

Sebagai sebuah kesatuan monolitik dalam arti bahwa ia diatur oleh satu Hukum Islam yang sama, secara politik, Ummah disatukan di bawah kekuasaan Arnirul Mukminin pada masa Khulafaur Rasyidin. Kesatuan wilayah pada masa Khulafaur Rasyidin berlanjut sampai masa Dawlah Umayah (10-13H/632-749M). Setelah Ku, selama lebih dari 12 Abad, ia telah terpecah ke dalam berbagai kekuasaan politik, sekalipun kesatuan hukum dalam pengertian hirarki keputusan hukum masih tetap terjaga, sumber hukum masih merujuk kepada Al Our'an dan Sunnah. Boleh dikatakan sampai saat itu, Syari'ah Islamiyah merupakan ujung tombak dan tulang punggung wahdatul ummah diseluruh dunia.

c. Ummah Sebagai Kesatuan Organik
Kesatuan ummah bersifat organik, artinya ummah adalah seperti sebuah organisme yang bagian-bagiannya bergantung satu sama lain dan pada keseluruhannya. Allah melukiskan karakteristik ummah adalah seperti "orang yang dalam hartanya tersedia hak bagi peminta-peminta dan orang-orangyang tak punya" (Qs. 51:19), "mereka menjadi wali' atas diri yang lain" (Qs. 9:71), "mukrnin itu bersaudara" (Qs. 45:10), "saling berkasih sayang dengan mukmin lain" (Qs. 48:29 3:159). Nabi SAW melukiskan ummah dengan "sebuah bangunan yang berdiri tegak, yang tiap bagiannya saling menopang", "laksana satu tubuh yang jika satu bagian deman akan dirasakan oleh bagian tubuh yang lain".

Hadits terakhir yaitu "kaljasadil wahid", dengan sangat tepat menggambarkan hubungan sistemik di dalam komunitas ummah ini Ada hubungan kontak, interaktif dan komunikatif di dalam sistem al-jama'ah ini. Hubungan di dalam ummah adalah hubungan yang interdependensi atau kesaling tergantungan, dan hubungan intrerdependensi ini hanya bisa dilakukan manakala setiap individu adalah mandiri (independent). Hanya pribadi mukmin yang taklif/independent yang mampu membangun hubungan kesaling tergantungan di dalam ummah.

d. Ummah Dalam Wujud Struktur Jama'ah
Bagaimana melahirkan ummah dengan karakteristiknya yang khas ? Sesuatu yang besar tentu harus disusun dari menyatukan bagian-bagian yang kecil. Ummah harus disusun dari menyatukan satu pribadi dengan pribadi yang lain. Ini berarti adalah bagaimana menghasilkan hubungan kimiawi diantara seorang mukmin dengan mukmin yang lain yang dari hubungan ini akan melahirkan rasa saling mencintai (tahabub). saling menasehati (lawashi atau lanahi), rasa persaudaraan (ta'akhiy), kerja sama (ta'awun), saling mengajar (ta'alum), percampuran (lazawuj), saling menghibur (lawasi) dan saling menemani (lashaduq dan la'arius). 

Karena pangkalnya adalah pada QALBU, maka pekerjaan penyatuan hanya bisa dilakukan oleh Sang Pemilik Qalbu (muqallibal quluh) yaitu Allah SWT (Qs. 8:63). Yang bisa dilakukan tiap mukmin hanyalah mengusahakan, yakni menyediakan konteks material di mana inisiatif Ilahi bisa bekerja. Jelas pekerjaan ini menuntut kerendahan hati, keikhlasan, harapan kuat menggapai Ridha Allah, dan kesungguhan meniti adab dan akhlaq Nabi SAW. Untuk intensitas usaha diperlukan dilakukan pelembagaan pertemuan ummah. Disinilah peran Qiyadah Islamiyah, kepemimpinan islami yang menjadi fasilitator dan mediator dari pertemuan seorang mukmin yang satu dengan mukmin yang lain.

Seorang Naqib/Leader adalah pembentuk, organisator dan pemimpin suatu kelompok kecil yang terdiri dari sekitar 12 orang dewasa. Ismail Raji Al Faruqi menyebutnya dengan 'Urwatul Wuisga' dalam bukunya "Tauhid", Hasan Al Bana menyebutnya dengan Usroh dalam "Risalah Usroh", 'Ali Syariati menyebutnya dengan Dawroh dalam bukunya "Membangun Masa Depan Islam". di dalam kelompok kecil inilah sekumpulan mukmin membimbing diri mereka sendiri secara 'Amal Jama'i sehingga terwujud satu unsur potential untuk membentuk dalam skup yang lebih luas. Dengan semakin banyak pertumbuhan jumlah Urwatul Wutsqo ini maka dengan sendirinya akan muncul kebutuhan untuk mengorganisasi segala hubungan struktural mereka mereka, mengidentifikasi segala kebutuhan mereka dalam bentuk perencanaan kegiatan bersama.

Sejalan dengan pertumbuhan 'Urwah secara kuantitatif dan kualitatif, struktur-struktur organisasi yang lebih lanjut mestilah dibentuk. Penggabungan Urwah disatu unit geografis bisa menjadi Usroh, penggabungan Usroh pada satu unit geografis bisa menjadi Zawiyah, dan penggabungan Zawiyah bisa membentuk Gerakan Islam/Harakah Islam yang lebih besar Pada titik inilah akan muncul kebutuhan untuk membentuk suatu Badan Administratif untuk memenuhi kebutuhan regional dan struktural dari kelembagaan dan kegiatan diseluruh Urwah. 

Disinilah akan muncul kebutuhan yang lebih besar yaitu mencapai "Kedaulatan Jama'ah" yang memiliki Otoritas, Legalitas dan Power sebagai syarat menegakkan Hukum-Hkum Islam. Tentunya dengan kelengkapan organisasi yang memadai seperti perangkat ekonomi, perangkat kemiliteran, pendeknya seluruh perangkat yang lazim dimiliki oleh sebuah Negara yang berdaulat. Inilah awal dari pembentukan An-Nuwat (Bibit).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.