Hakikat Pengutusan Nabi dan Rasul



Pada hakikatnya, pengutusan Nabi dan Rasul di bumi merupakan bentuk bimbingan Allah SWT kepada manusia agar sesuai dengan hakikat kefitrahan dan tujuan diciptakannya manusia di bumi. Allah mengutus Nabi dan Rasul pembimbing, pemimpin, dan penyebar ajaran Islam kepada seluruh manusia. Dalam khazanah keislaman, pemahaman ini diistilahkan dengan kekhalifahan. Suatu konsep yang sangat mulia, namun kemudian sebagian manusia menjadikannya sebagai dalil untuk menghalalkan segala cara untuk mencapai ambisi dan hawa nafsu yang hina. 

Konsep kekhalifahan merupakan konsep paling awal yang dikenalkan Allah SWT kepada manusia, sebelum diturunkannya perintah ibadah. Sejak diciptakannya manusia pertama yaitu Adam Alayhissalam (AS), Allah SWT melantik Adam AS sebagai khalifah untuk mengatur urusan-urusan di bumi. 

Allah SWT berfirman, 
وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلائِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي الأرْضِ خَلِيفَةً قَالُوا أَتَجْعَلُ فِيهَا مَنْ يُفْسِدُ فِيهَا وَيَسْفِكُ الدِّمَاءَ وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَ قَالَ إِنِّي أَعْلَمُ مَا لا تَعْلَمُونَ (٣٠)
 “Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada Para Malaikat: "Sesungguhnya aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, Padahal Kami Senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui." ( Qs Al 2:30)

Bahwa ketika Allah berfirman, "Ingatlah ketika Rabbmu berfirman kepada para makikat, 'Sesungguhnya Aku hendak men-jadikan seorang khalifah di muka bumi” sesungguhnya ini adalah sebuah kehendak yang luhur, yang hendak menyerahkan pengendalian dan pengelolaan bumi ini kepada makhluk manusia. Makhluk Allah yang lain yaitu malaikat berpandangan bahwa yang terjadi dari pendelegasian kepada manusia untuk mengurus bumi adalah adanya berbagai kerusakan dan bahkan pertumpahan darah. 

Perkataan malaikat ini memberi kesan bahwa mereka mempunyai bukti-bukti keadaan, atau berdasarkan pengalaman masa lalunya di bumi, atau dengan ilham pandangan batinnya, yang menyingkap sedikit tentang tabiat makhluk ini atau tentang tuntutan hidupnya di muka bumi, dan yang menjadikan mereka mengetahui atau memprediksi bahwa makhluk (manusia) ini kelak akan membuat kerusakan di bumi dan menumpahkan darah. 

Selanjutnya mereka -dengan fitrahnya sebagai malaikat suci yang tidak tergambar olehnya kecuali kebaikan yang mutlak dan kepatuhan yang menyeluruh- memandang tasbih dengan memuji Allah dan menyucikan-Nya itu sajalah yang menjadi tujuan mutlak penciptaan alam ini, dan ini sajalah yang menjadi alasan utama penciptaan makhluk. Hal yang demikian ini telah terealisasi dengan keberadaan mereka, yang senantiasa bertasbih dengan memuji Allah dan menyucikan-Nya, serta senantiasa beribadah kepada-Nya dengan tiada merasa letih.

Namun Allah menegaskan bahwa Dia SWT lebih mengetahui hakikat pengutusan ini. Sebab sesungguhnya terkarang makhluk (manusia) ini memang membuat kerusakan dan adakalanya menumpahkan darah, agar di balik keburukan parsial ini terwujud kebaikan yang lebih besar dan lebih luas yang merupakan proses yang tidak pernah berhenti dari pertumbuhan dan perkembangan peradaban manusia tersebut. 

Surat Al Baqarah ayat 30 di atas berbicara tentang pengangkatan seorang manusia pertama bernama Adam AS menjadi khalifah, menjadi aparat Allah SWT yang akan ditempatkan di wilayah baru yang bernama bumi. Adam AS adalah nabi pertama dalam Islam. Adam AS adalah makhluk manusia pertama yang diciptakan oleh Allah SWT yang berasal dari tanah. Di dalam Al Quran, cukup banyak ayat yang berbicara penciptaan manusia pertama ini, diantaranya di dalam QS. 2:30-39, 7:11-25, 38:71-83 15: 28-44, 17:61-65, 18: 47-51, 20:115-127. 

Rangkaian ayat-ayat tersebut mengurai kejadian-kejadian awal penciptaan manusia sebagai berikut. Sebagai Maalikusawati Wal Ardly (raja langit dan bumi) Allah SWT memiliki malak (petugas). Pada awalnya, aparat Allah SWT itu hanya terdiri dari makluk Allah SWT yang diciptakan dari nar (api) dan dari nur (cahaya). Sedangkan wilayah otonominya adalah As-Samawat (langit).

Kemudian Allah SWT berencana menciptakan manusia sebagai petugas baru, yang di beri tugas untuk mengatur wilayah yang belum memiliki pengaturnya yaitu Al-Ardhy (Bumi). Barangkali, hal ini dimaksudkan karena manusia yang diciptakan dari Tin (tanah) lebih sesuai dengan unsur-unsur bumi. 

Ketika di beritakan hal ini kepada makluk Allah SWT yang lain (yaitu yang di beri golongan Naar dan Nuur), ternyata ada yang tidak setuju dan tidak menerimanya. Makhluk yang tidak setuju ini berasal dari naar (api), lihat Qs. 15:27. Hal ini karena ia merasa diri lebih baik, lebih “tinggi” dan lebih layak di beri kepercayaan untuk mengatur bumi. Meskipun kemudian diketahui kelak ia kalah dalam “cerdas cermat” oleh aparat baru ini. Karena penolakannya ini berarti ia telah membangkan kepada Allah SWT,meskipun hanya pada satu titah yaitu untuk sujud, mengakui keberadaan aparat baru. 

Sejak itulah makhluk tersebut disebutkan dengan gelar Iblis (berasal dari kata-kata balasa: membangkang). Dalam Al Qur’an hal ini dikarenakan dua sifatnya yaitu aba wastakbaro yaitu sombong dan takabur lihat QS. 2:34.
وَإِذْ قُلْنَا لِلْمَلائِكَةِ اسْجُدُوا لآدَمَ فَسَجَدُوا إِلا إِبْلِيسَ أَبَى وَاسْتَكْبَرَ وَكَانَ مِنَ الْكَافِرِينَ (٣٤)
“Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada Para Malaikat: "Sujudlah kamu kepada Adam," Maka sujudlah mereka kecuali Iblis; ia enggan dan takabur dan adalah ia Termasuk golongan orang-orang yang kafir. Qs. 2:34

Karena kedengkiannya pada malak dari tiin, Iblis senantiasa berupaya membuat makar agar malak dari Tiin (tanah) bisa tersingkir dari jabatannya, dan tergelincir dalam tugas pokoknya yaitu menjadi khalifah Allah di bumi.

Sementara itu, karena tugas sebagai aparat Allah SWT untuk bumi bukan hal yang enteng, Allah SWT akhirnya menghadirkan patnernya. Dia adalah Hawa  1) yang kemudian bersama Adam AS mengalami penggodokan di daerah yang disebut  “syurga” (al-Jannah, Qs. 2:35). Ibnu Katsir menyebutkan yang dimaksud al-jannah sebagai tempat kediaman Adam AS sebelum turun ke al-ardhi, adalah al-jannah al-ma’wa, bukan al-jannah al-khuldi (tempat abadi manusia kelak di akhirat). Dengan ini maka yang dimaksud dengan al-jannah al-ma’wa yang ditempati Adam AS bukanlah berada di langit (as-samawat) melainkan di bumi (al-ardhi). Di al-ardhi ini pula tumbuh pohon (syajarah al-khuld) di mana Adam AS tergoda untuk memakannya, ada  yang menyebutnya pohon thin dan ada ada yang mengatakan kurma.   2)

Apabila dilihat Qs. 68:17 maka kita melihat bahwa yang dimaksud dengan ashab al-jannah bukan “pemilik surga” tetapi pemilik kebun. Di sini al-jannah diartikan dengan al-bustaan (kebun). Ini menunjukkan al-jannah yang dimaksud adalah yang berada di al-ardhi. Ibnu Katsir, setelah memberikan penjelasan panjang lebar tentang hal ini kemudian menjelaskan bahwa posisi “al-jannah: tempat Adam AS itu lebih tinggi secara kontur dengan tempat permukaan lainnya di al-ardhi. 3)

Di tempat itu pulalah Iblis melancarkan tipu dayanya sehingga Adam AS. dan Hawa terbujuk hingga melanggar aturan dan disiplin pada masa penggodokan. Tindakan ini menyebabkan Allah SWT memerintahkan dan menitahkan untuk segera bertugas di bumi (7: 24). Mereka bertugas sebagai aparat Allah SWT (khalifah) untuk bumi, harus berusaha dengan sarana dan prasarana yang ada di bumi menjalankan tugas pokok sebagai khalifah.

قَالَ اهْبِطُوا بَعْضُكُمْ لِبَعْضٍ عَدُوٌّ وَلَكُمْ فِي الأرْضِ مُسْتَقَرٌّ وَمَتَاعٌ إِلَى حِينٍ (٢٤)
 “Allah berfirman: "Turunlah  4) kamu sekalian, sebahagian kamu menjadi musuh bagi sebahagian yang lain. dan kamu mempunyai tempat kediaman dan kesenangan (tempat mencari kehidupan) di muka bumi sampai waktu yang telah ditentukan".Qs. 7:24

Sedangkan Iblis, karena tindakan negatifnya ia bukan saja telah menjadi makhluk yang terbuang, terusir, tetapi juga tidak lagi punya kesempatan untuk mendapatkan ampunan Allah SWT. Bahkan ia di hukum  Allah SWT menjadi pengisi Neraka Jahaman lihat QS. 17:63.

قَالَ اذْهَبْ فَمَنْ تَبِعَكَ مِنْهُمْ فَإِنَّ جَهَنَّمَ جَزَاؤُكُمْ جَزَاءً مَوْفُورًا (٦٣)
“Tuhan berfirman: "Pergilah, Barangsiapa di antara mereka yang mengikuti kamu, Maka Sesungguhnya neraka Jahannam adalah balasanmu semua, sebagai suatu pembalasan yang cukup. QS. 17:63

Meskipun Allah SWT akhirnya mengizinkan Iblis untuk memiliki kemampuan menggoda aparat bumi, Allah SWT telah menetapkan bahwa tak akan ada satupun yang tergoda manakala aparat bumi, yang di beri gelar khalifah dan direpresentasikan oleh Adam dan Hawa, dan keturunannya berpegang teguh pada petunjuk Allah SWT (هُدًاى) dengan ikhlas. QS. 20:123, 5:105. 38:83  

قَالَ فَبِعِزَّتِكَ لأغْوِيَنَّهُمْ أَجْمَعِينَ (٨٢)إِلا عِبَادَكَ مِنْهُمُ الْمُخْلَصِينَ (٨٣)  
“Iblis menjawab: "Demi kekuasaan Engkau aku akan menyesatkan mereka semuanya 83. Kecuali hamba-hamba-Mu yang mukhlis di antara mereka”. (Qs. 38:82-83) 

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا عَلَيْكُمْ أَنْفُسَكُمْ لا يَضُرُّكُمْ مَنْ ضَلَّ إِذَا اهْتَدَيْتُمْ إِلَى اللَّهِ مَرْجِعُكُمْ جَمِيعًا فَيُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ (١٠٥)
“Hai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu; Tiadalah orang yang sesat itu akan memberi mudharat kepadamu apabila kamu telah mendapat petunjuk. hanya kepada Allah kamu kembali semuanya, Maka Dia akan menerangkan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan”. (Qs 5:105)

Pada ayat-ayat tentang penciptaan manusia inipun, diketahui, bahwa selain Iblis berlaku membangkang (pasif) ia juga secara aktif melancarkan ancaman tantangan hambatan  dan gangguan kepada khalifah Allah SWT sehingga sang khalifah tidak bisa melaksanakan tugas pokoknya atau bahkan tergelincir pada jalan yang salah. Karena tindakan negative tersebut  maka ia di beri gelar syaithan. 

Dalam ayat ini pula kita dapat menarik satu pengertian, bahwa ketidaktaatan terhadap satu perintah Allah SWT, sebagaimana dicontohkan oleh Iblis dengan ketidakmauannya mengakui Adam AS sebagai aparat di bumi, dapat memasukkannya ke dalam golongan kafir (QS. 2:34).

Tugas pokok Adam AS di bumi adalah menjadi petugas yang mengatur bumi sesuai dengan perintah Allah SWT (Qs 2:30). Dalam melaksanakan tugasnya tersebut, Adam AS selaku khalifatullah harus senantiasa berpegang kepada petunjuk (Al-Huda) yang diberikan Allah SWT.

قُلْنَا اهْبِطُوا مِنْهَا جَمِيعًا فَإِمَّا يَأْتِيَنَّكُمْ مِنِّي هُدًى فَمَنْ تَبِعَ هُدَايَ فَلا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلا هُمْ يَحْزَنُونَ (٣٨)
“Kami berfirman: "Turunlah kamu semuanya dari surga itu! Kemudian jika datang petunjuk-Ku kepadamu, maka barang siapa yang mengikuti petunjuk-Ku, niscaya tidak ada kekhawatiran atas mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati." (Qs Al Baqarah 2:38)

Sebagaimana disebutkan di atas bahwa kekhalifahan adalah jabatan yang awalnya di pikul Adam AS untuk menjadi wakil Allah di bumi. Al-Maraghi dalam tafsirnya Tafsir Al-Maraghi menyebutkan bahwa kata خُلَفَاءُ adalah kata jamak, dan bentuk tunggalnya خَلِيْفَةٌ. berasal dari خِلاَفَةً yang berarti kekuasaan.5)   Dan bentuk jamak yang lainnya dari خَلِيْفَةٌ adalah خَلاَئِفَ, misalnya penguasa-penguasa di bumi. (Q.S. Al-An'am [6]: 165). 

هَلْ يَنْظُرُونَ إِلا أَنْ تَأْتِيَهُمُ الْمَلائِكَةُ أَوْ يَأْتِيَ رَبُّكَ أَوْ يَأْتِيَ بَعْضُ آيَاتِ رَبِّكَ يَوْمَ يَأْتِي بَعْضُ آيَاتِ رَبِّكَ لا يَنْفَعُ نَفْسًا إِيمَانُهَا لَمْ تَكُنْ آمَنَتْ مِنْ قَبْلُ أَوْ كَسَبَتْ فِي إِيمَانِهَا خَيْرًا قُلِ انْتَظِرُوا إِنَّا مُنْتَظِرُونَ (١٥٨)   
“Dan Dia lah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi dan Dia meninggikan sebahagian kamu atas sebahagian (yang lain) beberapa derajat, untuk mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya kepadamu. Sesungguhnya Tuhanmu Amat cepat siksaan-Nya dan Sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Qs. 6:165

Dari akar kata kha-la-fa, terdapat perbedaan penggunaannya. Maka kata alkhalfu (huruf lam disukunkan), di pakai untuk arti ‘generasi yang jahat’. Sedang alkhalafu (huruf lam diharakat fathah) dipergunakan untuk ‘generasi yang baik-baik’. Contoh generasi yang jahat diantaranya terdapat di dalam Qs 7:169 dan 19:59. 

Kata khalifah sebagaimana disebutkan di dalam Al-Qamus artinya adalah, “umat yang melanjutkan generasi umat terdahulu”. Sedangkan al-khalif artinya “orang yang duduk setelahmu”.  Al-Khalifah adalah penguasa tertinggi. Bentuk plural al-khalif adalah khalaaif dan khulafaa’. Arti kalimat “khalafahu – khilaafatan – khaliifatuhu” adalah, “Ia meninggalkan jabatan khalifah kepada orang yang menjadi penggantinya”.  

Makna etimologis kata dasar ini berikut derivasinya sebagaimana difahami dari buku-buku bahasa Arab pada dasarnya sama, yaitu kata al-khaliifah, al-khaalif, al-khulafa’u adalah, “orang yang menggantikan dan mengikuti jejak langkah pendahulunya”.  Beberapa ayat Al Quran menguatkan arti ini yaitu Qs. 24:55  7:69  7:74  7:169  19:59  7:128-129  10:14  35:15-17  6:133-134  11:57

Muhammad Fuad Abdul Baqi dalam Al Mu’jam Al-Mufahras li Alfaz Al Quranul Karim menyebutkan istilah khalifah dalam berbagai bentuk katanya sebagai berikut: 
a. خَلِيْفَةٌ dengan arti penguasa (bentuk tunggal) terdapat dalam QS. 2:30, 38: 26
b. خَلاَئِف dengan arti penguasa (bentuk jamak) terdapat dalam QS. 6:165, 10: 44, 35:39
c. خُلَفَاءُ dengan arti pengganti dari penguasa sebelumnya yang sudah baik, seperti halnya Khulafaur Rasyidin terdapat dalam QS. 7:69,74, 27:62

Kata  khilafah dalam gramatika bahasa Arab merupakan bentuk kata benda verbal yang mensyaratkan adanya subyek atau pelaku yang aktif yang  disebut khalifah. Kata  khilafah  dengan demikian menunjuk pada serangkaian tindakan yang dilakukan oleh seseorang, yaitu  seseorang yang disebut  khalifah. Oleh karena itu tidak akan ada suatu khilafah tanpa adanya seorang khalifah. 

Menurut Ganai, secara literal  khilafah  berarti penggantian terhadap pendahulu, baik bersifat individual maupun kelompok. Sedangkan secara teknis,  khilafah  adalah lembaga pemerintahan Islam yang berdasarkan pada Al-Quran dan Sunnah. Khilafah merupakan medium untuk menegakkan  din  (agama)  dan memajukan  syariah. 

Bentuk jamak dari kata tersebut ada dua macam, yaitu  khulafa   dan  khalaif.  Menurut Quraish Shihab, masing-masing makna dari kata itu mengiringi atau sesuai dengan konteksnya. Seperti misalnya ketika Allah menguraikan pengangkatan Nabi Adam sebagai khalifah, digunakan kata tunggal (Q.S. Al-Baqarah (2):  30), sedangkan ketika berbicara tentang pengangkatan Nabi Daud digunakan bentuk jamak (Q.S. Shad (38): 26). 

Penggunaan bentuk tunggal pada kasus Nabi Adam menurut Quraisy Shihab cukup beralasan, karena ketika itu memang belum ada masyarakat manusia, apalagi baru pada  tataran  ide. Redaksi yang digunakannya adalah  "Aku akan  mengangkat di bumi khalifah...". Sedangkan pada kasus Nabi Daud, digunakan  bentuk jamak serta past tense, yaitu "Kami telah mengangkat engkau khalifah...". 

Hal ini mengisyaratkan adanya keterlibatan pihak lain “selain” Allah dalam pengangkatan itu. Di sisi lain dapat disimpulkan pula bahwa pengangkatan seseorang sebagai khalifah dapat dilakukan oleh seseorang selama itu masih dalam bentuk ide. Tetapi kalau akan diwujudkan dalam kehidupan sosial yang nyata, maka hendaknya dilakukan  oleh orang banyak atau dengan melibatkan masyarakat. 

Dari kedua ayat tersebut di atas dapat pula disimpulkan akan adanya unsur-unsur yang menyertai kekhalifahan seseorang. Unsur-unsur tersebut adalah: (1) khalifah, yaitu orang yang di beri kekuasaan atau  mandat, (2) wilayah kekuasaan, dan (3) hubungan antara khalifah dengan wilayah, dan hubungan khalifah dengan pemberi kekuasaan, yakni Allah. 

Kekhalifahan seseorang dengan demikian dapat dinilai dari sejauh mana seorang khalifah memperhatikan hubungan-hubungan tersebut. Ketika seorang khalifah mempraktikkan semua tindakan-tindakannya itu, maka yang demikian itu dinamakan khalifah. Dalam konteks politik yang lebih populer, kata khilafah dapat diartikan dengan pemerintahan. Jadi, kalau ada istilah  Khilafah Islamiyah, itu berarti Pemerintahan Islam atau lebih tepatnya pemerintahan yang ditegakkan berdasarkan syariat Islam.

Berbicara tentang kekuasaan dari sebuah kekhalifahan, Ibnu Khaldun dalam Muqaddimahnya mengatakan,
“Kekuasaan dari suatu kekhalifahan, cenderung memerintah masyarakat berdasarkan syariat, baik dalam kepentingan-kepentingan akhirat maupun kepentingan-kepentingan dunia yang kembali kepadanya. Sebab seluruh aktifitas di dunia, di sisi Allah, hanyalah sebagai piranti untuk mencapai kehidupan akhirat. Kekhalifahan ini pada hakikatnya merupakan pengganti atau wakil Allah dalam menjaga agama dan kehidupan dunia”. 

Dari pengertian-pengertian tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa khalifah adalah penguasa kaum muslimin yang memerintah atas dasar hudan dan syariat Islam, untuk menjaga keaslian diin dan mengatur dunia.

Dalam konteks negara, Said Hawa mengemukakan, “Khilafah atau boleh juga di sebut Imamah ‘Uzhma ialah pemimpin tertinggi Daulah Islamiyah. Sedangkan khalifah atau Imam A’zham adalah pemimpin tertinggi Daulah Islamiyah”. 

Sedangkan contoh khalifah menurut Al-Quran adalah Nabi Dawud AS, sebagaimana firman-Nya, 
يَا دَاوُدُ إِنَّا جَعَلْنَاكَ خَلِيفَةً فِي الأرْضِ فَاحْكُمْ بَيْنَ النَّاسِ بِالْحَقِّ وَلا تَتَّبِعِ الْهَوَى فَيُضِلَّكَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ إِنَّ الَّذِينَ يَضِلُّونَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ لَهُمْ عَذَابٌ شَدِيدٌ بِمَا نَسُوا يَوْمَ الْحِسَابِ (٢٦)
“Hai Daud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah di muka bumi ini, maka berilah putusan perkara di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah”. (Q.S. Shaad [38]: 26)

Dari ayat tersebut, seorang khalifah bertugas memutuskan perkara secara adil, dan tidak mengikuti hawa nafsu sehingga menimbulkan kesusahan. Dan inilah khalifah yang sebenarnya lantaran ia seorang nabi yang di beri Zabur. (Q.S. An-Nisa' [4]: 163). Dalam pertempuran antara pasukan Thalut dan Jalut, Daud membunuh Jalut dan pasukan Thalut menang atas izin Allah SWT. Allah kemudian memberi Daud AS kekuasaan atau kerajaan (al-mulk) dan hikmah serta mengajarkan apa yang dikehendakinya (Q.S. Al-Baqarah (2): 251, Q.S. Shad (38): 26).

Khalifah memiliki tugas untuk memimpin manusia dan memutuskan perkara sesuai dengan alhaq, oleh karenanya sejak diutuskan Nabi Adam AS ke bumi maka sejak itulah seorang khalifah terikat hudan atau petunjuk dari Allah. Sejak nabi Adam AS pula hudah diturunkan hingga terakhir kepada nabi Muhammad SAW  (Qs. 2:38)

Di dalam hadits-hadits Rasulullah SAW disebutkan bahwa kekhalifahan memiliki kedudukan yang tinggi dalam Islam. Khalifah adalah pengganti Rasulullah SAW dalam menjaga Dinul Islam dan mensiyasati dunia.

حَدَّثَنِي مُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَنْ فُرَاتٍ الْقَزَّازِ قَالَ سَمِعْتُ أَبَا حَازِمٍ قَالَ قَاعَدْتُ أَبَا هُرَيْرَةَ خَمْسَ سِنِينَ فَسَمِعْتُهُ يُحَدِّثُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ كَانَتْ بَنُو إِسْرَائِيلَ تَسُوسُهُمْ الْأَنْبِيَاءُ كُلَّمَا هَلَكَ نَبِيٌّ خَلَفَهُ نَبِيٌّ وَإِنَّهُ لَا نَبِيَّ بَعْدِي وَسَيَكُونُ خُلَفَاءُ فَيَكْثُرُونَ قَالُوا فَمَا تَأْمُرُنَا قَالَ فُوا بِبَيْعَةِ الْأَوَّلِ فَالْأَوَّلِ أَعْطُوهُمْ حَقَّهُمْ فَإِنَّ اللَّهَ سَائِلُهُمْ عَمَّا اسْتَرْعَاهُمْ
“Telah bercerita kepadaku Muhammad bin Basysyar telah bercerita kepada kami Muhammad bin Ja'far telah bercerita kepada kami Syu'bah dari Furat Al Qazaz berkata, aku mendengar Abu Hazim berkata; "Aku hidup mendampingi Abu Hurairah radliallahu 'anhu selama lima tahun dan aku mendengar dia bercerita dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam yang besabda: "Bani Isra'il, kehidupan mereka selalu didampingi oleh para Nabi, bila satu Nabi meninggal dunia, akan dibangkitkan Nabi setelahnya. Dan sungguh tidak ada Nabi sepeninggal aku. Yang ada adalah para khalifah yang banyak jumlahnya". Para shahabat bertanya; "Apa yang baginda perintahkan kepada kami?". Beliau menjawab: "Penuihilah bai'at kepada khalifah yang pertama (lebih dahulu di angkat), berikanlah hak mereka karena Allah akan bertanya kepada mereka tentang pemerintahan mereka". (HR Bukhari No.3196)

Khalifah adalah pihak pertama yang paling bertanggung jawab dalam melaksanakan syariah dan menjaga keaslian Dinul Islam sebagaimana tuntunan Al Quran dan Sunnah Rasulullah SAW.

حَدَّثَنَا أَبُو الْيَمَانِ الْحَكَمُ بْنُ نَافِعٍ أَخْبَرَنَا شُعَيْبُ بْنُ أَبِي حَمْزَةَ عَنْ الزُّهْرِيِّ حَدَّثَنَا عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُتْبَةَ بْنِ مَسْعُودٍ أَنَّ أَبَا هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ لَمَّا تُوُفِّيَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَكَانَ أَبُو بَكْرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ وَكَفَرَ مَنْ كَفَرَ مِنْ الْعَرَبِ فَقَالَ عُمَرُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ كَيْفَ تُقَاتِلُ النَّاسَ وَقَدْ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أُمِرْتُ أَنْ أُقَاتِلَ النَّاسَ حَتَّى يَقُولُوا لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ فَمَنْ قَالَهَا فَقَدْ عَصَمَ مِنِّي مَالَهُ وَنَفْسَهُ إِلَّا بِحَقِّهِ وَحِسَابُهُ عَلَى اللَّهِ فَقَالَ وَاللَّهِ لَأُقَاتِلَنَّ مَنْ فَرَّقَ بَيْنَ الصَّلَاةِ وَالزَّكَاةِ فَإِنَّ الزَّكَاةَ حَقُّ الْمَالِ وَاللَّهِ لَوْ مَنَعُونِي عَنَاقًا كَانُوا يُؤَدُّونَهَا إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَقَاتَلْتُهُمْ عَلَى مَنْعِهَا قَالَ عُمَرُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ فَوَاللَّهِ مَا هُوَ إِلَّا أَنْ قَدْ شَرَحَ اللَّهُ صَدْرَ أَبِي بَكْرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ فَعَرَفْتُ أَنَّهُ الْحَقُّ
“Telah menceritakan kepada kami Abu Al Yaman Al Hakam bin Nafi' telah mengabarkan kepada kami Syu'aib bin Abu Hamzah dari Az Zuhriy telah menceritakan kepada kami 'Ubaidullah bin 'Abdullah bin 'Utbah bin Mas'ud bahwa Abu Hurairah radliallahu 'anhu berkata; Setelah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam wafat yang kemudian Abu Bakar radliallahu 'anhu menjadi khalifah maka beberapa orang 'Arab ada yang kembali menjadi kafir (dengan enggan menunaikan zakat). Maka (ketika Abu Bakar radliallahu 'anhu hendak memerangi mereka), 

'Umar bin Al Khaththab radliallahu 'anhu bertanya: "Bagaimana anda memerangi orang padahal Rasulullah Shallallahu'alaihiwasallam telah bersabda: "Aku diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka mgucapkan laa ilaaha illallah. Maka barangsiapa telah mengucapkannya berarti terlindunglah dariku darah dan hartanya kecuali dengan haknya sedangkan perhitungannya ada pada Allah". 

Maka Abu Bakar Ash-Shidiq radliallahu 'anhu berkata: "Demi Allah, aku pasti akan memerangi siapa yang memisahkan antara kewajiban shalat dan zakat, karena zakat adalah hak harta. Demi Allah, seandainya mereka enggan membayarkan anak kambing yang dahulu mereka menyerahkannya kepada Rasulullah Shallallahu'alaihiwasallam, pasti akan aku perangi mereka disebabkan keengganan itu".

Berkata, 'Umar bin Al Khaththab radliallahu 'anhu, "Demi Allah, ketegasan dia ini tidak lain selain Allah telah membukakan hati Abu Bakar Ash-Shidiq radliallahu 'anhu dan aku menyadari bahwa dia memang benar". (HR Bukhari No.1312)

Rasulullah SAW menegaskan pentingnya senantiasa berada dalam jamaah ketika kaum muslimin menghadapi fitnah. 
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى حَدَّثَنَا الْوَلِيدُ بْنُ مُسْلِمٍ حَدَّثَنَا ابْنُ جَابِرٍ حَدَّثَنِي بُسْرُ بْنُ عُبَيْدِ اللَّهِ الْحَضْرَمِيُّ أَنَّهُ سَمِعَ أَبَا إِدْرِيسَ الْخَوْلَانِيَّ أَنَّهُ سَمِعَ حُذَيْفَةَ بْنَ الْيَمَانِ يَقُولُ كَانَ النَّاسُ يَسْأَلُونَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ الْخَيْرِ وَكُنْتُ أَسْأَلُهُ عَنْ الشَّرِّ مَخَافَةَ أَنْ يُدْرِكَنِي فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّا كُنَّا فِي جَاهِلِيَّةٍ وَشَرٍّ فَجَاءَنَا اللَّهُ بِهَذَا الْخَيْرِ فَهَلْ بَعْدَ هَذَا الْخَيْرِ مِنْ شَرٍّ قَالَ نَعَمْ قُلْتُ وَهَلْ بَعْدَ ذَلِكَ الشَّرِّ مِنْ خَيْرٍ قَالَ نَعَمْ وَفِيهِ دَخَنٌ قُلْتُ وَمَا دَخَنُهُ قَالَ قَوْمٌ يَهْدُونَ بِغَيْرِ هَدْيِي تَعْرِفُ مِنْهُمْ وَتُنْكِرُ قُلْتُ فَهَلْ بَعْدَ ذَلِكَ الْخَيْرِ مِنْ شَرٍّ قَالَ نَعَمْ دُعَاةٌ عَلَى أَبْوَابِ جَهَنَّمَ مَنْ أَجَابَهُمْ إِلَيْهَا قَذَفُوهُ فِيهَا قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ صِفْهُمْ لَنَا قَالَ هُمْ مِنْ جِلْدَتِنَا وَيَتَكَلَّمُونَ بِأَلْسِنَتِنَا قُلْتُ فَمَا تَأْمُرُنِي إِنْ أَدْرَكَنِي ذَلِكَ قَالَ تَلْزَمُ جَمَاعَةَ الْمُسْلِمِينَ وَإِمَامَهُمْ قُلْتُ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُمْ جَمَاعَةٌ وَلَا إِمَامٌ قَالَ فَاعْتَزِلْ تِلْكَ الْفِرَقَ كُلَّهَا وَلَوْ أَنْ تَعَضَّ بِأَصْلِ شَجَرَةٍ حَتَّى يُدْرِكَكَ الْمَوْتُ وَأَنْتَ عَلَى ذَلِكَ
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Al Mutsanna telah menceritakan kepada kami Al Walid bin Muslim telah menceritakan kepada kami Ibnu Jabir telah menceritakan kepadaku Busr bin Ubaidullah Al Khadrami, ia mendengar Abu Idris alkhaulani, 

Ia mendengar Khudzaifah Ibnul yaman mengatakan; Orang-orang bertanya Rasulullah Shallallahu'alaihiwasallam tentang kebaikan sedang aku bertanya beliau tentang keburukan karena khawatir jangan-jangan aku terkena keburukan itu sendiri. Maka aku bertanya 'Hai Rasulullah, dahulu kami dalam kejahiliyahan dan keburukan, lantas Allah membawa kebaikan ini, maka apakah setelah kebaikan ini ada keburukan lagi? Nabi menjawab 'Tentu'. 

Saya bertanya 'Apakah sesudah keburukan itu ada kebaikan lagi? 'Tentu' Jawab beliau, dan ketika itu ada kotoran, kekurangan dan perselisihan. Saya bertanya 'Apa yang anda maksud kotoran, kekurangan dan perselisihan itu? Nabi menjawab 'Yaitu sebuah kaum yang menanamkan pedoman bukan dengan pedomanku, engkau kenal mereka namun pada saat yang sama engkau juga mengingkarinya. 

Saya bertanya 'Adakah setelah kebaikan itu ada keburukan? Nabi menjawab 'O iya,,,,, ketika itu ada penyeru-penyeru menuju pintu jahannam, siapa yang memenuhi seruan mereka, mereka akan menghempaskan orang itu ke pintu-pintu itu. Aku bertanya 'Ya Rasulullah, tolong beritahukanlah kami tentang ciri-ciri mereka! Nabi menjawab; Mereka adalah seperti kulit kita ini, juga berbicara dengan bahasa kita. 

Saya bertanya “Lantas apa yang anda perintahkan kepada kami ketika kami menemui hari-hari seperti itu?” Nabi menjawab; “Hendaklah kamu selalu bersama jamaah muslimin dan imam mereka!” Aku bertanya; “Kalau tidak ada jamaah muslimin dan imam bagaimana?” Nabi menjawab; “Hendaklah kau jauhi seluruh firqah (kelompok-kelompok) itu, sekalipun kau gigit akar-akar pohon hingga kematian merenggutmu kamu harus tetap seperti itu”. (HR Bukhari No.6557) 

Wajibnya menaati ulil amri sebagai bentuk realisasi ketaatan kepada Rasulullah SAW.
حَدَّثَنَا عَبْدَانُ أَخْبَرَنَا عَبْدُ اللَّهِ عَنْ يُونُسَ عَنْ الزُّهْرِيِّ أَخْبَرَنِي أَبُو سَلَممَةَ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ أَنَّهُ سَمِعَ أَبَا هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ أَطَاعَنِي فَقَدْ أَطَاعَ اللَّهَ وَمَنْ عَصَانِي فَقَدْ عَصَى اللَّهَ وَمَنْ أَطَاعَ أَمِيرِي فَقَدْ أَطَاعَنِي وَمَنْ عَصَى أَمِيرِي فَقَدْ عَصَانِي
“Telah menceritakan kepada kami Abdan telah mengabarkan kepada kami Abdullah dari Yunus dari Al Karmani telah mengabarkan kepadaku Abu Salamah bin Abdurrahman, ia mendengar Abu Hurairah radliallahu 'anhu berkata, bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Siapa yang mentaatiku berarti ia mentaati Allah, sebaliknya barangsiapa membangkang terhadapku, ia membangkang Allah, dan barangsiapa mentaatiku amirku berarti ia mentaatiku, dan barangsiapa membangkang amirku, berarti ia membangkang terhadapku." (HR Bukhari No.6604)

Wajib taat kepada Ulil Amri sekalipun ia adalah budak Habsyi yang berambut keriting.

حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ عَنْ شُعْبَةَ عَنْ أَبِي التَّيَّاحِ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اسْمَعُوا وَأَطِيعُوا وَإِنْ اسْتُعْمِلَ عَلَيْكُمْ عَبْدٌ حَبَشِيٌّ كَأَنَّ رَأْسَهُ زَبِيبَةٌ
“Telah menceritakan kepada kami Musaddad telah menceritakan kepada kami Yahya bin Sa'id dari Syu'bah dari Abu tayyah dari Anas bin Malik radliallahu 'anhu mengatakan, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Dengarlah dan taatilah sekalipun yang memimpin kalian adalah seorang budak habsyi, seolah-olah kepalanya gimbal." (HR Bukhari No.6609)

حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ حَدَّثَنِي مَالِكٌ عَنْ يَحْيَى بْنِ سَعِيدٍ قَالَ أَخْبَرَنِي عُبَادَةُ بْنُ الْوَلِيدِ أَخْبَرَنِي أَبِي عَنْ عُبَادَةَ بْنِ الصَّامِتِ قَالَ بَايَعْنَا رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى السَّمْعِ وَالطَّاعَةِ فِي الْمَنْشَطِ وَالْمَكْرَهِ وَأَنْ لَا نُنَازِعَ الْأَمْرَ أَهْلَهُ وَأَنْ نَقُومَ أَوْ نَقُولَ بِالْحَقِّ حَيْثُمَا كُنَّا لَا نَخَافُ فِي اللَّهِ لَوْمَةَ لَائِمٍ
“Telah menceritakan kepada kami Ismail telah menceritakan kepadaku Malik dari Yahya bin Sa'id mengatakan, telah mengabarkan kepadaku 'Ubadah bin Al Walid telah mengabarkan kepadaku Ayahku dari Ubadah bin Ash Shamit mengatakan; 'kami berbai'at kepada Rasulullah Shallallahu'alaihiwasallam untuk mendengar dan taat, baik ketika giat (semangat) maupun malas, dan untuk tidak menggulingkan kekuasaan dari orang yang berwenang terhadapnya, dan mendirikan serta mengucapkan kebenaran di mana saja kami berada, kami tidak khawatir dijalan Allah terhadap celaan orang yag mencela.' (HR Bukhari No.6660) 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.