Hal yang paling penting ketika berbicara tentang perjuangan Rasulullah SAW adalah pengangkatan Muhammad bin Abdillah bin Abdul Muthallib sallallahu ‘alayhi wassalam sebagai Nabi, Rasul dan khalifatullah. Bahwa seluruh Nabi dan Rasul di lantik oleh Allah SWT melalui sebuah proses yang disebut dengan Mitsaqan Ghalizan.
وَإِذْ أَخَذْنَا مِنَ النَّبِيِّينَ مِيثَاقَهُمْ وَمِنْكَ وَمِنْ نُوحٍ وَإِبْرَاهِيمَ وَمُوسَى وَعِيسَى ابْنِ مَرْيَمَ وَأَخَذْنَا مِنْهُمْ مِيثَاقًا غَلِيظًا (٧)لِيَسْأَلَ الصَّادِقِينَ عَنْ صِدْقِهِمْ وَأَعَدَّ لِلْكَافِرِينَ عَذَابًا أَلِيمًا (٨)
“Dan (ingatlah) ketika Kami mengambil Perjanjian dari nabi-nabi dan dari kamu (sendiri) dari Nuh, Ibrahim, Musa dan Isa putra Maryam, dan Kami telah mengambil dari mereka Perjanjian yang teguh[1202]. 8. Agar Dia menanyakan kepada orang-orang yang benar tentang kebenaran mereka[1203] dan Dia menyediakan bagi orang-orang kafir siksa yang pedih”. Qs. 33:7-8
Setelah pelantikan tersebut, mulailah Rasulullah SAW mendapat perintah untuk berdakwah dan membentuk Jama’ah Tauhidi yaitu sebuah komunitas kaum muslimin di mana masuk kedalamnya dengan prosedur mengucapkan kalimat Syahadah.
Kalimat syahadatain adalah sebuah transaksi transendental antara Rasulullah SAW kepada ummatnya untuk hanya mengakui Allah SWT sebagai ilah dan Nabi Muhammad sebagai nabi dan rasul.
Proses pembentukan jamaah tauhidi ini sampai tahun ketiga nubuwah berjalan dengan cara sirriyah (rahasia, sembunyi-sembunyi). Pembentukan jamaah sahabat Rasulullah pada periode ini berlangsung dengan karakter sirritatud-da’wah (yaitu gerakan dakwah rahasia) dan siiriyatut-tanzhim (yaitu kerahasiaan struktur jamaah). Dalam bahasa lain kondisi ini disebut dengan fase “Arqomisasi”.
Periode Makiyyah berlangsung selama 13 tahun dan merupakan periode pertumbuhan Gerakan Islam pertama di kota Mekkah, sebagaimana yang disebutkan bahwa, pada saat itu Islam dan kaum muslimin di Mekkah belum memiliki syariat dan negara. Tapi orang-orang yang menyatakan syahadatain adalah mereka yang secara langsung menyerahkan kepemimpinannya kepada pribadi Muhammad. Setiap kali seseorang masuk Islam, maka ia secara langsung melepaskan keridhaannya terhadap unsur-unsur Jahiliyyah. Berikutnya ia mulai menapaki masa baru yang terpisah secara total dengan kehidupan yang pernah ia jalani pada masa Jahiliyyah. Ia menghadapi segala hal yang berbau Jahiliyyah dengan sikap menyangsikan, ragu-ragu dan waspada.
Sikap penyerahan secara total loyalitas sahabat kepada Rasulullah SAW inilah yang menjadi awal pembentukan jama’ah pada periode makiyah. Periode Makiyyah bisa di sebut sebagai Marhalatut Ta'sis, atau "tahapan pembasisan".
Secara ringkas periode Makiyyah adalah sebagai berikut. Periode ini dimulai ketika Muhammad Al-Amin secara resmi di lantik (bi'tsah) oleh Allah Swt menjadi Nabi dan Rasul-Nya. Muhammad SAW pada saat itu memiliki dua fungsi utama yaitu fungsi Risalah (membawa dan menyampaikan risalah) dan Imamah (pimpinan kekuasaan).
Pada mulanya Rasulullah melakukan da'wah secara sirriyah di Mekkah, penduduk Mekkah yang masuk Islam dan masuk jama'ah Rasulullah terlebih dahulu mengikuti prosedur tetap (protap) yaitu mengucapkan kalimat syahadat. Da'wah sirriyah ini dilakukan sampai kurang lebih tiga tahun sejak bi'tsah kenabian.
Dakwah sirriyah pertama dilakukan Rasulullah terhadap keluarga beliau sendiri, yaitu kepada istrinya Khadijah, khadam beliau yaitu Zaid bin Haritsah, dan keponakannya Ali bin Abi Thalib. Di rumah beliau inilah pertama di bentuk kelompok (jama’ah) Islam, di dalam rumah Khadijah (baitul Khadijah).
Setelah tiga tahun, Allah memerintahkan Rasulullah untuk memproklamasikan (i'lan) gerakan risalahnya kepada masyarakat. Proklamasi Risalah Nubuwwah ini dilakukan di bukit Shafa di depan penguasa-penguasa Mekkah. Proklamasi tidak menunggu semua orang kafir Mekkah taslim terlebih dahulu, hanya dengan beberapa orang yang sudah taslim sebelumnya, Rasulullah SAW memaklumkan gerakan risalahnya tanpa kompromi dengan penguasa Mekkah pada saat itu.
Proklamasi nubuwah dilaksanakan Rasulullah karena turun perintah dakwah secara Jahriyah. Sebelum perintah Da'wah Jahriyah ini turun setelah turun perintah tazkiyatun nafs melalui sholat malam dan tilawah Al Quran. Tazkiyatun nafs ini adalah upaya persiapan ruhani dalam rangka penunaian tugas suci risalah.
Ketika proklamasi nubuwwah dinyatakan, maka berubahlah secara total sikap masyarakat dan penguasa Mekkah terhadap Rasulullah SAW serta para shahabatnya. Yang sebelumnya Muhammad disebut disebut dengan dengan "al-amin" seketika berubah menjadi "tukang sihir", "orang gila" dan "pemecah belah masyarakat". Situasi menjadi sangat represif, siapa saja penduduk Mekkah yang diketahui masuk Gerakan Risalah maka ia akan di siksa dengan kejam, sampai ia keluar dari pengikut Rasulullah SAW.
Pembesar-pembesar Mekkah sangat berkepentingan untuk menghentikan gerakan Rasulullah SAW yang semakin hari semakin banyak pengikutnya. Mulai dari cara yang paling kasar seperti pembunuhan, intimidasi, pembantaian sampai yang paling halus seperti penawaran dan negoisasi.
Tekanan-tekanan yang diberikan pembesar Mekkah tidak menjadikan Rasulullah lemah, Rasulullah tetap tidak bergiming dan terus melakukan da'wah dan membina jama'ah. Tawaran pembesar-pembesar Mekkah kepada Rasulullah untuk masuk ke dalam sistem pemerintahan Mekkah dengan syarat meninggalkan da'wahnya, oleh Rasulullah di tolak mentah-mentah. Tawaran itu adalah menempati posisi tertinggi sebagai pemimpin Mekkah, menjadi Raja, atau diberikan harta yang sangat banyak.
Ibnu Hisyam menceritakan kisah sebagai berikut,
“Salah satu tokoh yang di utus kafir Quraisy Mekkah adalah Utbah bin Rabia pergi ke tempat Rasulullah Sha¬llallahu Alaihi wa Sallam dan duduk di dekat beliau. Ia berkata,
'Hai keponakanku, sesungguhnya engkau bagian dari kami sebagaimana yang telah engkau ketahui. Engkau mempunyai kehormatan di keluarga dan keluhurat nasab. Sungguh, engkau telah membawa perkara besar kepada kaummu. Engkau memecah belah persatuan mereka, menjelek-jelekkan mimpi-mimpi mereka, mencaci-maki tuhan-tuhan mereka dan agama mereka, dan mengafirkan orang tua mereka yang telah meninggal dunia.
Dengarkan perkataanku, sebab aku mengajukan beberapa tawaran yang bisa engkau pikirkan dan mudah-mudahan engkau menerima sebagian tawaran-tawaran tersebut. Kami akan mengumpulkan seluruh harta kami agar engkau menjadi orang yang paling kaya di antara kami. Jika engkau menginginkan kehormatan, kami mengangkatmu sebagai pemimpin (Hakim) dan kami tidak memutuskan persoalan tanpa denganmu. Jika engkau menginginkan kekuasaan, engkau kami angkat sebagai raja (Malik). Jika yang datang kepadamu adalah sebangsa jin yang tidak mampu engkau usir, kita mencarikan dokter (Kahin) untukmu dan mengeluarkan harta kami hingga engkau sembuh dari-nya, karena boleh jadi – menga-lahkan orang yang dimasukinya hingga ia sembuh darinya -atau seperti dikatakan Utbah.'
Ketika Utbah selesai bicara, Rasulullah SAW berkata, 'Apakah engkau sudah selesai bicara, wahai Abu Al-Walid?' Utbah menjawab, 'Ya, sudah.' Rasulullah SAW berkata, 'Kalau regitu, dengar apa yang akan aku katakan.' Kemudian Rasulullah SAW berkata, seperti tercantum dalam Qs. Fushshilat: 1-5). Rasulullah SAW membacakan ayat-ayat tersebut. Sedang Utbah, setiap kali ia mendengar Rasulullah SAW membacakan ayat-ayat kepadanya, ia diam mendengarkannya dengan serius sambil bersandar dengan kedua tangannya yang ia letakkan di belakang punggungnya. Ketika Rasulullah SAW sampai pada ayat sajdah, beliau sujud, kemudian beliau bersabda, 'Hai Utbah, engkau telah mendengarkan apa yang baru saja engkau dengar. Sekarang, terserah kepadamu tentang apa yang baru engkau dengar tadi'”.
Rasulullah secara konsisten membangun gerakannya dengan pola furqon dan baro'ah sekalipun resikonya menggunung. Rasulullah tidak pernah menjalankan politik "kooperasi" dengan Pemerintahan Quraisy dalam membangun cita-citanya. Perilaku Rasulullah ini menjadi dalil bagi seluruh aktifis gerakan Islam untuk tidak pernah masuk ke dalam sistem pemerintahan sekuler seperti halnya terjadi dalam Demokrasi Barat.
Kulminasi intimidasi terhadap gerakan risalah adalah diberlakukannya embargo ekonomi dan sosial terhadap Jama'ah Rasulullah yang di tulis di dalam sebuah piagam yang digantungkan di Mekkah. Ini adalah embargo yang paling berat dirasakan kaum muslimin di Mekkah. Namun seperti yang terekam dalam sejarah, siasat embargo tidak akan pernah berhasil diterapkan dalam suatu masyarakat di mana anggota-anggota didalamnya sudah memiliki jiwa interdependensi (ketergantungan) yang tinggi di antara sesama mereka.
Masyarakat Islam yang dibina Rasulullah SAW di Darul Arqam memiliki keterikatan yang tinggi antara satu dengan yang lain, sehingga memungkinkan mereka mencukupi kebutuhan sendiri berdasar sumber daya dan potensi yang dimiliki. Dalam konsep Islam inilah yang disebut dengan walayah, Al Qur'an menyebutkannya dengan "ba'dhuhum awliya'u ba'dhin" (Qs. 9:71).
Rasulullah berusaha meminimalisir tekanan yang diberikan penguasa Mekkah dengan jalan mengirimkan para shahabat untuk berhijrah ke negeri lain dan juga untuk melakukan survey kepada wilayah yang kondusif terhadap Islam. Seperti hijrah ke Habasyah dan Thaif.
Pada tahun kesepuluh bi'tsah kenabian datang rombongan kaum Khazraj dari Yatsrib berjumlah 6 orang untuk melakukan haji. Mereka bertemu dengan Rasulullah, setelah melakukan dialog dengan Rasulullah akhirnya mereka menyatakan syahadah dan berjanji akan datang pada tahun berikutnya dengan jumlah yang ebih banyak. Sejak itu Rasulullah mengidentifikasi Yatsrib sebagai daerah yang bisa dijadikan basis gerakan.
Tahun berikutnya Rasulullah membai'at 12 orang penduduk Yastrib yang datang ke Mekkah untuk melakukan haji, ini dikenal Bai’at Aqabah 1. Dan tahun berikutnya lagi 73 orang penduduk Yatsrib berbai'at kepada Rasulullah, di tempat yang sama yaitu di bukit 'Aqabah, ini dikenal bai’at Aqabah II. Setelah bai’at 'Aqobah II, Rasulullah mengangkat 12 orang sebagai Naqib (pemimpin) di Yatsrib dan mengirim shahabat untuk berda'wah di Yatsrib. Sejak itu Yatsrib telah memiliki lembaga kepemimpinan bermanhaj Nubuwah yang secara perlahan meningkat menjadi daerah basis yang kelak akan menjadi Negara Madinah.
Setelah itu Rasulullah dan shahabat mulai melakukan persiapan-persiapan dan akhirnya berhijrah ke Yatsrib secara berkelompok-kelompok. Kota Yatsrib oleh Rasulullah di rubah namanya menjadi Madinah (tempat penyelenggaraan Diin). Perjalanan panjang menuju kota Yatsrib tersebut akhirnya atas inisiatif Umar bin Khattab semasa menjabat sebagai Khalifah dijadikan ukuran penanggalan kaum muslimin hingga kini. Hijrahlah yang membedakan periode sejarah perjuangan Rasulullah SAW. Hijrah pula yang menjadi salah satu prinsip gerakan Islam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.