ad-Durr al-Mansur fi at-Tafsir al-Ma’sur


Menurut az-Zahabi sebagaimana juga diakui as-Suyuthi dalam muqaddimah kitab, karya ini merupakan kitab musnad hadis[1] yang berisikan tafsir atau penjelasan terhadap al-Qur’an. Di dalamnya memuat sekitar 10.000 hadits marfu‘ dan hadits mauquf,[2] diselesaikan dalam 4 jilid dan diberi nama Tarjuman al-Qur’an. 

Kemudian untuk memudahkan pembaca dalam memahami kitab tersebut, as-Suyuthi meringkasnya dengan hanya mencantumkan matn atau teks hadits tanpa menyebutkan sanadnya. Meskipun demikian, dijelaskan bahwa sumber hadis-hadis tersebut merupakan hasil takhrij dari kitab-kitab yang mu’tabar, kitab tersebut diberi nama ad-Durr al-Mansur  fi at-Tafsir al-Ma’sur [3] (Mutiara yang bertebaran dalam penafsiran berdasarkan al-Qur’an dan Hadis). 

Sepanjang penelusuran (crosscheck), tidak ditemukan kitab Tarjuman al-Qur’an sebagaimana dimaksud, penulis hanya menemukan kitab ad-Durr al-Mansur  fi at-Tafsir al-Ma’sur, Mukhtasar Tarjuman al-Qur’an dalam beberapa terbitan, di antaranya yang diterbitkan oleh Dar al-Ilmiyyat, Beirut, Libanon cetakan tahun 1999 yang terdiri dari 6 jilid besar. Jilid pertama setebal 670 halaman, jilid kedua 617 halaman, jilid ketiga 646 halaman, jilid keempat 673 halaman, jilid kelima 762 halaman dan jilid kelima 767 halaman. 

Selain itu, sepanjang penelusuran, kitab tersebut belum pernah disitasi dalam karya tafsir dan karya-karya lainnya. Dalam hal ini, menurut asumsi pribadi penulis, kitab Tarjuman al-Qur’an belum pernah dipublikasikan oleh as-Suyuti. Namun tentunya diperlukan penelitian lebih lanjut mengenai keberadaan kitab tersebut.

Merujuk kepada pemetaan Abdul Mustaqim, karya as-Suyuti ini tergolong tafsir era pertengahan yang dikenal sebagai zaman keemasan ilmu pengetahuan.[4] Hal ini karena perhatian yang luar biasa terhadap ilmu pengetahuan pada saat itu. Berbagai diskusi digelar mengenai segala ilmu pengetahuan yang sumbernya juga banyak diadopsi dari dunia luar. Periode pertengahan ini berada dalam kurun waktu yang panjang, karena dimulai dengan munculnya produk penafsiran yang sistematis dan terkodifikasi dengan baik hingga lahirnya periode kontemporer. 

Sebagai konseksuensi dari perkembangan ilmu pengetahuan, kondisi sosio-kultural dan politik, disamping al-Qur’an sendiri yang memang sangat terbuka untuk ditafsirkan, maka muncul berbagai corak ideologi penafsiran. Meskipun tidak pernah menyatakan secara langsung, oleh para ulama pada masanya as-Suyuti disebut-sebut berteologi Asy’ariyah hal itu terlihat dalam corak penafsirannya, selain itu semenjak kecil ia dibesarkan dan menapaki karir dalam lingkungan madzhab syafi’i.[5]

Sumber-sumber Penafsiran
Secara keseluruhan kitab tafsir ini menggunakan penjelasan Nabi maupun shahabat yang dikutip dan dirujuk dari kitab-kitab hadits dan tafsir. Menurut az-Zahabi riwayat-riwayat dalam kitab ini diambil dari karya al-Bukhari (w. 256 H/ 870 M), Muslim (w. 261 H/ 875 M), an-Nasa’i (w. 303 H/ 915 M), at-Turmuzi (w. 279 H/ 892 M), Ahmad (w. 241 H/ 855 M), Abu Dawud (275 H/ 892 M), Ibn Jarir (w. 310 H/ 923), Ibn Abi Hatim (w. 327 H), ‘Abd ibn Hamid, Ibn Abi ad-Dunya (w. 281 H/ 894 M).[6] 

Selain itu juga terdapat riwayat yang dikutip dari karya ‘Abd Razzaq, Abu Na’im, al-Baihaqi (as-Sunan al-Kubra & Sya’b al-Iman) (w. 458 H/ 1066 M), al-Bazzar, al-Faryabi, al-Hakim (w. 405 H/ 1014 M), at-Tabrani dalam al-Aswat (w.  360 H/ 971 M), Ibn Abi Syaibah (w. 235 H/ 850 M), Ibn al-Mubarak, Ibn al-Munzir, Ibn Murdawaih, Ibn Sa’d, Sa’id ibn Mansur dan sebagainya.

Corak dan Metode Penulisan
Senada dengan namanya, karya tafsir ini tergolong bil-ma’sur karena secara keseluruhan dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an, tafsir ini menggunakan penjelasan nabi maupun shahabat yang dikutip dan dirujuk dari kitab-kitab hadits dan tafsir. Sistematika penulisan kitab ini mengikuti tartib mushafi (sesuai dengan urutan mushaf), dimulai surat al-Fatihah dan diakhiri surat an-Nas. Pada awal pembahasan dicantumkan ayat-ayat yang hendak dibahas kemudian dikutip riwayat-riwayat yang menjelaskan asbab an-nuzul dan riwayat-riwayat lain yang menunjukkan penjelasan nabi atau shahabat berkenaan dengan ayat-ayat tersebut secara sistematis.

Metode yang digunakan dalam penyusunan kitab ini adalah metode tahlili dengan bentuk bil-ma’sur.[7] Meskipun dikategorikan dalam metode tahlili (analitis) dengan menafsirkan secara analitis menurut urutan mushaf, as-Suyuti sama sekali tidak memberikan komentar baik dari sisi bahasa (kosakata/ lafaz, menjelaskan arti yang dikehendaki, unsur i’jaz dan balaghah) maupun penjelasan-penjelasan lain seperti aspek kandungan pengetahuan, hukum, asbab an-nuzul, munasabah dan tambahan ijtihad yang lazim digunakan oleh para mufassir pada zamannya. 

Ia hanya mecantumkan riwayat-riwayat[8] yang diawali kata akhraja dilanjutkan dengan hadits atau kata akhraja diikuti sepintas nama kitab atau pengarang kitab yang dirujuk kemudian riwayat yang berisi penjelasan terhadap ayat yang terkait tanpa menjelaskan sahih atau da’if-nya riwayat tersebut. Namun dilihat dari sisi periwayatan, dengan asumsi bahwa kitab ini adalah mukhtasar (ringkasan) dari kitab Tarjuman al-Qur’an yang dipotong sanadnya, dengan alasan untuk memudahkan pembaca sebagaimana yang ditulis oleh az-Zahabi, maka dimungkinkan bahwa sanad lengkap dan kualitasnya dapat ditemui pada kitab tersebut.

Menurut penulis, adalah sebuah ciri khas yang jarang ditemukan dalam karya-karya kitab tafsir lain, bahwa secara konsisten as-Suyuti menggunakan riwayat-riwayat yang terkait tanpa sedikit pun ijtihad pribadi. Meskipun secara lahir tidak ada sedikit pun penggunaan ra’y, suatu tafsir akan mencerminkan keterbatasan kemampuan penafsirnya dan tidak akan terlepas dari subyektifitas dirinya sendiri. Ketika seseorang menafsirkan sebuah ayat, dalam benaknya juga hadir sekian banyak subyek sebagai rujukannya.[9]

Karena tafsir ini tergolong tafsir bil-ma’sur dengan menggunakan riwayat Nabi dan shahabat yang langsung menjelaskan hal-hal yang terkait dengan ayat-ayat al-Qur’an, lebih jauh dapat dikatakan bahwa as-Suyuti hanya berperan sebagai penghimpun riwayat dan tidak berperan aktif (passif) maka relatif sulit bagi penulis untuk memberikan penilaian. Namun beberapa hal yang patut untuk mendapat kritikan adalah adalah sebagai berikut:

Pertama, secara keseluruhan, tidak ditemukannya kelengkapan sanad yang dapat memperkuat riwayat yang disampaikan[10] meskipun pada setiap awal riwayat terdapat rujukan singkat seperti nama ulama dan kitab-nya yang memang terkenal seperti yang diakui as-Suyuti dalam muqoddimah kitab.

Kedua, as-Suyuti tidak menentukan kualitas riwayat yang dikutip sehingga dimungkinkan masuknya isra‘iliyyat. Sebagai contoh, dalam menafsirkan QS. Al-Maidah (5): 22 as-Suyuti mengutip riwayat tentang keengganan kaum Nabi Musa untuk memasuki Palestina karena mendapati orang-orang yang gagah perkasa (kaum jabbarun). Hal ini tentunya memunculkan kecurigaan ketika tidak dibarengi dengan validitas riwayat yang dicantumkan. Selain itu, dalam riwayat yang dikutipnya terdapat banyak pengulangan (at–tikrar) dan bertele-tele.

Ketiga, tidak menggunakan ayat-ayat al-Qur’an yang lain sebagai sumber penafsiran sehingga memberikan kesan bahwa petunjuk al-Qur’an bersifat parsial. Sebagai contoh dan perbandingan, dalam tafsir Ibn Katsir menafsirkan kataهدى للمتقين dalam QS. Al-Baqarah (2): 2 dengan ayat-ayat lain yaitu QS. Fussilat (41): 44, QS. al-Isra’ (17): 82 dan QS. Yunus (10): 82.[11] Sedangkan dalam Tafsir ad-Durr al-Mansur lebih menjelaskan apa yang yang disebut dan dipahami sebagai هدى للمتقين tentunya melalui riwayat-riwayat yang berkaitan secara berurutan[12].

Keempat, sepi dari penggunaan ijtihad & aplikasi penafsiran terhadap kajian tertentu baik dari sisi bahasa (kosakata/ lafaz, menjelaskan arti yang dikehendaki, unsur i’jaz dan balaghah) maupun penjelasan-penjelasan lain seperti aspek kandungan pengetahuan, hukum asbab an-nuzul, munasabah dan tambahan ijtihad yang lazim digunakan oleh para mufassir.

Karena secara keseluruhan berisi riwayat, maka objek material tafsir ini adalah riwayat-riwayat hadits. Sedangkan

dalam proses penelitian hadis, yang menjadi awal penelitian adalah kaidah kesahihan yang telah dikemukakan oleh para ulama. Kaidah yang dimaksud adalah segala syarat atau kriteria yang harus dipenuhi oleh suatu hadis yang berkualitas sahih.[13] Selain serentetan metodologi (kaidah) yang digunakan untuk menentukan kualitas sanad,[14] juga digunakan metodologi untuk menentukan kualitas matan hadis,[15] karena kualitas sanad dan matan tidak selalu sejalan.[16] 

Ada kalanya sanad-nya sahih akan tetapi matannya mardud. Dengan melakukan penelitian sanad, dapat diketahui kualitas periwayatan sebuah hadis. Sedangkan dengan melakukan penelitian matan, dapat diketahui matan sebuah hadits tersebut maqbul atau mardud (diterima atau ditolak). Selain itu, standar untuk menentukan status hadis yang berkaitan dengan akidah, ibadah dan muamalah jelas berbeda dengan standar yang berkaitan dengan yang lainnya. Ada yang terkesan longgar (mutasahil), moderat (mutawasit) dan ketat (mutasyaddid).[17]

Sementara dari sisi penunjukannya (dalalah), secara umum para ulama sepakat bahwa hadis dapat dijadikan hujjah, namun dalam beberapa hal berkenaan dengan hadis secara keseluruhan masih terjadi diskusi panjang terhadap jenis-jenis hadis yang dapat dijadikan hujjah. Tidak diragukan lagi semua ulama berpendapat bahwa hadis mutawatir dapat dijadikan hujjah, namun terhadap hadis ah{ad masih meinmbulkan berbagai perbedaan pendapat. Ada yang menolak menjadikan hujjah dan ada yang menerimanya dengan persyaratan bahwa hadis tersebut bernilai sahih dan hasan serta tidak da’if.

Selain persoalan teknis mengenai kualitas sebuah hadis melalui kajian naqd al-hadis (lebih ditekankan pada kritik sanad dan matan), problem yang dialami seringkali bersifat spesifik dan variatif. Respon Rasulullah saw, terhadap problem yang dialami pada masa itu dituntut melalui bahasa spesifik dan sesuai dengan karakter problem, yang boleh jadi juga spesifik dan khas. Sehingga tidak jarang ketika hadis-hadis yang merupakan respon dari Rasulullah saw, atas permasalahan pada masa itu dimunculkan kembali pada masa sekarang, seringkali tampak bertentangan atau tidak sejalan. Sebuah gagasan tidak mungkin sampai kepada masyarakat yang hidup dalam kultur yang berbeda, tanpa mengalami distorsi dan penyimpangan makna.

Pemahaman terhadap teks-teks keagamaan selalu mendatangkan berbagai perbedaan. Hal ini mengingat keterlibatan penafsir, teks dan pemanfaat tafsir saling tarik menarik sesuai dengan metodologi ataupun kepentingan. Apalagi proses penafsiran terhadap al-Qur’an maupun hadis terus berkembang hingga saat ini. Sebagai sebuah teks, hadis menghadapi problem yang sama sebagaimana yang dihadapi teks-teks lainnya, yang pasti tidak bisa mempresentasikan keseluruhan gagasan dan setting sosial sang empunya. Begitu teladan Nabi sebagai wacana yang dinamis dan kompleks dituliskan, maka penyempitan dan pengeringan makna dan nuansa tidak bisa dihindari.[18] 

Banyak faktor-faktor mendasar yang menyebabkan perlunya suatu pendekatan yang menyeluruh dalam memahami hadis, pertama; tidak semua kitab hadis ada syarahnya, kedua; para ulama dalam memahami hadis Nabi pada umumnya cenderung memfokuskan data riwayat dengan menekankan pembahasan dari sudut gramatikal bahasa.[19]

Menurut Hamim Ilyas sebagaimana dikutip oleh Mochammad Sodik & Inayah Rohmaniyah, beberapa paradigma alternatif yang dapat digunakan dalam melakukan studi hadis adalah paradigma eksamplifikasi hadis dimana memandang Nabi sebagai teladan yang baik uswah hasanah bagi kaum muslim. Sunnah adalah salah satu metode penerapan al-Qur’an dengan memberikan keleluasaan gerak dalam menduduki sisi manusiawi yang menjadi ladang ijtihad manusia.

Selain itu, paradigma kesejarahan hadis juga patut diperhatikan, di mana hadis dipandang sebagai bagian dari sejarah tradisi keilmuan Islam kontemporer, yang memperhatikan kaedah-kaedah epistemologi yang berlaku dalam dalam ilmu hadis, namun juga memperhatikan nilai-nilai etika universal.[20] Nabi hidup di semenanjung Arab dengan segala aspek sosio-kultural yang melingkupinya. Perintah moral dan normatif Nabi muncul dalam konteks sejarah. Pesan moral Nabi disajikan dan diuji oleh konteks historisnya, tapi konteks tersebut tidak dapat dan tidak menampung pengalaman moral Nabi.

Oleh karena itu, menganalisis aktivitas komunitas interpretasi yang terbentuk di sekitar teks sunnah adalah sebuah tawaran yang patut diperhatikan. Persoalan yang muncul adalah sejauh mana komunitas interpretasi itu mencerminkan, memahami atau memasukkan konteks historis. Proses tersebut harus mempertimbangkan perubahan urutan historis untuk memahami keseimbangan yang sesuai antara pelaku historis (Nabi) dan beragam suara yang menyajikan konteks historis. Adalah sebuah kekeliruan dengan memaksakan diri untuk berfikir di masa sekarang sebagaimana cara berfikir generasi abad ketujuh, karena dalam aksi semacam ini terjadi pencampuradukan sejarah, perkembangan, dimensi waktu dan ruang.

Ibnu Khaldun sebagaimana dikutip el-Fadl, menegaskan jika seseorang hanya bersandar pada (metode) periwayatan tanpa menilai (riwayat-riwayat itu) berdasarkan prinsip-prinsip tindakan manusia, asas-asas politik, sifat dasar peradaban, kondisi-kondisi pergaulan sosial, serta tanpa membandingkan sumber-sumber klasik dengan sumber-sumber kontemporer, masa kini dan masa lalu, orang tersebut akan tergelincir ke dalam kekeliruan.[21]

Bagian yang lebih penting adalah bagaimana memposisikan hadis yang bertentangan atau sering disebut tampak bertentangan dengan al-Qur’an ini benar-benar fungsional sebagai hadis yang rasional sejalan dengan prinsip-prinsip yang dibangun al-Qur’an.

Catatan Kaki
[1] Dinamai kitab “musnad” jika penyusunnya memasukkan semua hadis yang ia terima, tanpa menyaring dan menjelaskan kualitas hadis-hadis tersebut. Lihat Hasbi ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis (Jakarta: Bulan Bintang, 1987), hlm. 104. Dalam pengertian lain, kitab yang disusun berdasarkan nama-nama sahabat yang lebih dahulu masuk Islam atau berdasarkan nasab. Lihat Subhi as-Salih, Ulum al-Hadis wa Mustalahuh (Beirut: Dar al-‘Ilm wa al-Malayin, 1988), hlm. 123.
[2] Hadis marfu’ adalah hadis yang dihubungkan kepada Nabi saw, baik berupa perkataan, perbuatan maupun taqrir. Hadis itu disebut marfu’ karena mempunyai derajat yang tinggi karena dihubungkan dengan Nabi saw, baik dengan menggunakan sanad yang muttasil (bersambung) atau tidak. Sedangkan hadis mauquf adalah hadis yang dihubungkan kepada sahabat. Lihat ‘Ajjaj al-Khatib, Usul al-Hadis ‘Ulumuh wa Mustalahuh (Beirut: Dar al-Fikr, 1989), hlm. 355.
[3] az-Zahabi, at-Tafsir wa al-Mufassirun, hlm. 252. Lihat juga as-Suyuti, ad-Durr al-Mansur  fi at-Tafsir al-Ma’sur (Beirut: Dar al-Ilmiyyat, 1999), Jilid I, hlm. 14.
[4] Abdul Mustaqim, Madzahibut Tafsir; Peta Metodologi Penafsiran al-Qur’an Periode Klasik hingga Kontemporer (Yogyakarta: Nun Pustaka, 2003), hlm. 67.
[5] as-Suyuti, at-Tahbir fi ‘Ilm at-Tafsir, hlm. 29-31.
[6] az-Zahabi, at-Tafsir wa al-Mufassirun, hlm. 254.
[7] Metode tahlili analitis adalah menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an dengan memaparkan segala aspek yang terkandung dalam ayat-ayatyang ditafsirkan itu serta menerangkan makna-makna yang tercakup di dalamnya sesuai dengan keahlian dan kecenderungan mufassir yang menafsirkan ayat-ayat tersebut. lihat Nashruddin Baidan, Metodologi Penafsiran al-Qur’an (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), hlm. 32. Sementara tafsir bil-ma’sur merupakan salah satu jenis penafsiran yang muncul petama kali dalam sejarah khazanah intelektual Islam. Praktik penafsirannya adalah ayat-ayat yang terdapat dalam al-Qur’an ditafsirkan dengan ayat-ayat yang lain atau dengan riwayat dari Nabi saw, para sahabat dan juga para tabi’in. mengenai riwayat tabi’in terdapat perbedaan pendapat. Lihat Alfatih Suryadilaga, Metodologi Ilmu Tafsir (Yogyakarta: Teras, 2005) hlm. 42.
[8] Pendekatan ini sering disebut sebagai pendekatan normatif-historis yang berbazis riwayat. Lihat A. Rofiq (ed.), Studi Kitab Tafsir (Yogyakarta: Teras. 2004), hlm 132.
[9] Komaruddin Hidayat, Memahami Bahasa Agama: Sebuah Kajian Hermeneutika (Jakarta: Yayasan Paramadina, 1996), hlm. 141.
[10] Hal ini dijumpai dari awal sampai akhir karya tafsir.
[11] Al-Hafiz Ibn Kasir, Tafsir al-Qur’an al-Azim (Beirut: Maktabah an-Nur al-‘Ilmiyyah, 1991), Jilid I, hlm. 37-38.
[12] Jalal al-Din as-Suyuti, ad-Durr al-Mansur, Jilid I, hlm. 57.
[13] Para ulama menciptakan terma-terma sebagai hasil penerapan ilmu-ilmu dan kaidah-kaidah serta hasil dari klasifikasi terhadap hadis-hadis sehingga dirumuskan menjadi sahih, hasan dan da’if. Istilah-istilah tersebut merupakan hasil dari ilmu-ilmu hadis untuk mengadakan pembagian kualitas hadis. Secara otomatis, kajian ulama’ dalam bidang pengetahuan hadis-hadis dari yang kuat sampai yang lemah dan tentang ihwal para perawi yang diterima atau ditolak hadisnya menghasilkan kesimpulan-kesimpulan ilmiah dan isilah-istilah khusus yang mengindikasikan ke sahihan atau keda’ifan suatu hadis. Begitu juga masing-masing bagian mempunyai jenis yang berbeda-beda dari segi kuat ataupun lemahnya karena perbedaan kondisi para perawi dan riwayatnya. Lihat ‘Ajjaj al-Khatib, Usul al-Hadis ‘Ulumuh wa Mustalahuh (Beirut: Dar al-Fikr, 1989), hlm. 355.

[14] Sanad hadis atau yang sering disebut dengan isnad merupakan penjelasan tentang jalan (rangkaian periwayat) yang menyampaikan kita kepada materi hadis termasuk juga periwayatnya (ruwat). Lihat Syuhudi Ismail, Kaedah Kesahihan Sanad Hadis: Telaah Kritis dan Tinjauan dengan Pendekatan Ilmu Sejarah (Jakarta: Bulan Bintang, 1993), hlm. 10.
[15] Matan “matn” merupakan informasi yang datang dari Rasulullah saw, mengenai sesuatu hal. Inti dari sebuah hadis adalah matan karena dari sana ajaran Islam didapatkan. Oleh karena itu matan harus memiliki kriteria sabda kenabian, tidak bertentangan dengan al-Qur’an dan hadis mutawatir. Lihat Salahudin Ibn Ahmad al-Adlabi, Metodologi Kritik Matan Hadis, terj. Qodirun Nur (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2004), hlm. 16.
[16] Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi (Jakarta: Bulan Bintang, 2007),  hlm. 115.
[17] Suryadi (dkk.), Metodologi Penelitian Hadis (Yogyakarta: Pokja Akademik UIN Sunan Kalijaga, 2006), hlm. 5.
[18] Musahadi Ham, Evolusi Konsep Sunnah: Implikasinya pada perkembangan Hukum Islam (Semarang: Aneka Ilmu, 2000), 139.
[19] Suryadi, “Rekonstruksi Metodologis Pemahaman Hadis Nabi”, Jurnal Ilmu-ilmu Ushuluddin “ESENSIA”, Vol. 4, No. 2, hlm. 140-141.
[20] Mochammad Sodik & Inayah Rohmaniyah, “Mendampingi yang dibenci, Membela yang teraniaya” dalam Hamim Ilyas (dkk.), Perempuan tertindas, Kajian Hadis-hadis Misoginis (Yogyakarta: eLSAQ dan PSW IAIN Sunan Kalijaga, 2003), hlm. 22-23.
[21] Khaled M. Abou el-Fadl, Atas Nama Tuhan, hlm. 164.

Sumber tulisan bisa dilihat disini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.