Perubahan dan Kekhalifahan Menuju Kesultanan



Perubahan sistem pemerintahan Islam pasca Nubuwah Rasulullah SAW dari kekhalifahan menjadi kerajaan melalui suatu proses sejarah yang melelahkan. Abul A’la Maududi menganalisis proses perubahan ini berlangsung dalam 7 (tujuh) tahap perubahan sebagai berikut: (Abul A’la Al Maududi, Khilafah dan Kerajaan, , Bandung: Mizan, 1998, hal.135-198)

1. Tahap Pertama. 
Pengangkatan anggota keluarga Khalifah utsman dalam jabatan penting pemerintahan, sementara sebagian besar mereka adalah kaum Thulaqa yaitu keluarga penghuni kota Mekkah yang sampai saat-saat terakhir menjelang Futuh Mekkah masih menunjukkan permusuhan dan perlawanan terhadap Rasulullah SAW. Diantara mereka adalah Muawiyah, Walid bin Uqbah, Marwan bin Hakam dan  Abdullah bin Saad bin Abi Sarh.

2. Tahap Kedua. 
Munculnya ketidakpuasan terhadap kepemimpinan Khalifah Utsman yang dipelopori beberapa kelompok orang dari Mesir, Kuffah dan Basrah. Dalam waktu yang relatif singkat mereka saling berkirim surat dan kemudian menggelembung menjadi jumlah yang banyak sekitar 2000 orang bersama-sama menuju Madinah untuk melancarkan protes kepada khalifah Utsman dalam daftar panjang yang berisi fitnah belaka. 

Desakan dari tokoh sahabat seperti Ali bin Abi Thalib, Abu Hurairah, Zaid bin Tsabit dan Abdullah bin Zubair kepada khalifah untuk melawan mereka di tolak Utsman karena tidak ingin muncul kericuhan di Madinah, padahal terkumpul 700 pasukan yang siap menumpas mereka. Hingga akhirnya terbunuhlah khalifah Utsman di luar dugaan sahabat-sahabat besar. 

3. Tahap Ketiga. 
Setelah wafatnya Khalifah Utsman maka dilangsungkan pelantikan khalifah Ali bin Abi Thalib. Namun naiknya Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah diiringi berbagai tuntutan yang lebih kompleks, yaitu tuntutan untuk mengadili pembunuh Utsman bin Affan. 

4. Tahap Keempat. 
Tuntutan ini bahkan diajukan oleh tokoh-tokoh besar sahabat, yaitu Muawiyah bin Abi Sufyan (yang memiliki kekerabatan dengan Utsman), juga Thalhal bin Ubaidillah, Zubair bin Awwam dan  Aisyah. Situasi yang kompleks inilah menyebabkan terjadinya Perang Jamal dimana 10.000 orang sahabat gugur dalam perang ini.

5. Tahap Kelima. 
Mu’awiyah mengobarkan peperangan terhadap Khalifah Ali yang sebagai khalifah sah umat Islam, merupakan tahapan kelima. Mu’awiyah yang digeser kedudukannya oleh khalifah Ali sebagai gubernur wilayah Syam yang sangat luas, setelah 17 tahun memerintah disana. Muawiyah tidak terima atas keputusan tersebut dan mengangkat isu tuntutan balas kematian Utsman sebagai dalil memberontak kepada Khalifah Ali. 

Dalam perang Shiffin antara keduanya, pasukan Muawiyah sudah hampir kalah namun karena ulah Amru bin Ash muncullah tahkim antara kedua belah pihak, yang mau tidak mau dituruti khalifah Ali untuk menghindari pertempuran yang lebih besar.  

6. Tahap Keenam. 
Dilangsungkannya tahkim kedua pihak, namun pihak khalifah Ali yang diwakili Abu Musa al Asy’ari dipecundangi oleh Amru bin Ash yang mewakili Muawiyah, sehingga tahkim menghasilkan Muawiyah sebagai pemimpin pasca Ali. Khalifah Ali tidak menerima hasil tahkim ini dan kembali memerangi Muawiyah. Pasca tahkim sejumlah besar pasukan khalifah Ali keluar dari barisan dan membentuk pasukan Khawarij yang menolak khalifah Ali dan Muawiyah. 

7. Tahap Ketujuh. 
Pada tahapan terakhir dari proses perubahan sistem pemerintahan kekhalifahan menjadi kerajaan adalah ketika Mu’awiyah mengangkat dirinya sebagai khalifah. Berkuasanya Mu'awiyah atas kendali pemerintahan merupakan tahapan peralihan yang menyimpangkan negara Islam atau ad-Daulah al-Islamiyah dari sistem khilafah ke sistem kerajaan.

Banyak kalangan sahabat yang sudah menyadari bahwa ketika itu adanya peralihan tersebut, lalu berkata bahwa 'kita sekarang sedang berada di hadapan pintu kerajaan'. Itulah sebabnya Sa'ad bin Abi Waqqash menyalami Mu'awiyah setelah ia dibai'at dengan ucapan "Assalamu'alaikum, wahai Raja." Mu'awiyah berkata: "Apa salahnya sekiranya Anda berka¬ta: 'Wahai Amirul Mukminin?' " Sa'ad menjawab, "Demi Allah, aku sungguh-sungguh tidak ingin memperoleh jabat¬an itu dengan cara yang telah menyebabkan Anda memperolehnya."  (Ibnu Atsir, jilid 3, hlm 405. 

Pendirian Sa'd bin Abi Waqqash dalam hal ini dijelaskan oleh peristiwa yang disebutkan oleh Abul Ala Maududi bahwa dalam masa kekacauan itu, keponakan Sa'd bin Abi Waqqash bernama Hasyim bin Uthbah bin Abi Waqqash berkata: "Wahai paman, di sini ada seratus ribu pedang yang mcnganggapmu sebagai orang yang paling berhak memegang jabatan ini." Sa'd menjawab: "Aku hanya menginginkan satu saja dari seratus ribu pedang ini yang tidak dapat berbuat apa-apa jika aku memukul seorang mukmin dengannya, tapi jika aku memukul seorang kafir dengannya, ia akan memotong dengan ketajamannya." - al-Bidayah, jilid 8, halaman 72, sebagaimana dikutip oleh Abul Ala Maududi, op.cit, hal. 189) 

Bahkan Mu'awiyah sendiri mengerti hakikat ini sehingga pada suatu hari ia berkata, "Aku adalah raja pertama."  (Al-Isti'ab, jilid 1, halaman 254; al-Bidayah, jilid 8, halaman 135, sebagaimana dikutip oleh Abul Ala Maududi, op.cit, hal. 189)

Ibnu Katsir berpendapat bahwa sepatutnya ia dijuluki raja sebagai pengganti khalifah, sebab Nabi SAW telah menubuwwatkan hal demikian itu ketika beliau bersabda, “Masa khilafah sepeninggalku tigapuluh tahun, kemudian setelah itu akan datang masa kerajaan.” Masa ini telah habis pada bulan Rabi'ul Awwal tahun 41 H. ketika al-Hasan bin Ali bin Abi Thalib RA turun dari jabatannya sebagai khalifah dan menyerahkannya kepada Mu'awiyah. (Al Bidayah, Jilid 8, hal. 16 sebagaimana dikutip oleh Abul Ala Maududi, op.cit, hal. 189)

Kini masih tinggal kesempatan terakhir bagi kembalinya masa khilafah sesuai dengan konsep Nabi saw., tergantung dari cara menentukan siapa yang akan di angkat se¬bagai pengganti setelah Mu'awiyah. Ada dua kemungkinan, yaitu Mu'awiyah membiarkan rakyat sendiri yang memilih siapa yang mereka kehendaki dengan cara musyawarah dan kerelaan mereka, atau ia menunjuk seorang penggantinya semasa hidupnya, sebagai suatu hal yang harus dilakukan demi menutup pintu pertikaian. 
Muawiyah semestinya bisa mengumpulkan kaum ulama dan orang-orang baik di antara kaum muslimin agar mereka dapat memutuskan, dengan kebebasan yang sempurna, siapakah orang yang paling utama dan paling berhak untuk menduduki jabatan sebagai pemimpin umat. 

Namun akhirnya Mu'awiyah telah memilih mengangkat puteranya, Yazid, sebagai putera Mahkota, disebakan ketakutan dan kerakusan. Bahkan dengan berbagai rekayasa politik termasuk dalam bai’atu tha’at atas pengangkatan Yazid, seperti yang dilakukan Mughirah bin Syubah terhadap warga Kuffah.

Marwan bin Hakam memaksa warga Madinah sehingga hendak menangkap Abdurrahman bin Abu Bakar yang menolaknya. Termasuk yang dilakukan Muawiyah terhadap warga Mekkah. Dengan adanya pengangkatan Yazid bin Muawiyah oleh Muawiyah maka menghancurkan kesempatan untuk mengembalikan sistem pemerintahan kepada kekhalifahan yang asli sebagaimana Khulafaur Rasyidin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.