Dari Al-‘Irbadh bin Sariyah, dia berkata:
وَعَظَنَا مَوْعِظَةً بَلِيغَةً ذَرَفَتْ مِنْهَا الْعُيُونُ وَوَجِلَتْ مِنْهَا الْقُلُوبُ فَقَالَ قَائِلٌ يَا رَسُولَ اللهِ كَأَنَّ هَذِهِ مَوْعِظَةُ مُوَدِّعٍ فَمَاذَا تَعْهَدُ إِلَيْنَا فَقَالَ أُوصِيكُمْ بِتَقْوَى الهُِ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ عَبْدًا حَبَشِيًّا فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِي فَسَيَرَى اخْتِلاَفًا كَثِيرًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّينَ الرَّاشِدِينَ تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ اْلأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menasehati kami dengan nasehat yang menyentuh, meneteslah air mata dan bergetarlah hati-hati. Maka ada seseorang yang berkata: “Wahai Rasulullah, seakan-akan ini adalah nasehat perpisahan. Maka apa yang akan engkau wasiatkan pada kami?” Beliau bersabda: “Aku wasiatkan pada kalian untuk bertakwa kepada Allah serta mendengarkan dan mentaati (pemerintah Islam), meskipun yang memerintah kalian seorang budak Habsyi. Dan sesungguhnya orang yang hidup sesudahku di antara kalian akan melihat banyak perselisihan. Wajib kalian berpegang dengan sunnahku dan sunnah Khulafaur Rasyidin Mahdiyyin (para pemimpin yang menggantikan Rasulullah, yang berada di atas jalan yang lurus, dan mendapatkan petunjuk). Berpegang teguhlah kalian padanya dan gigitlah ia dengan geraham-geraham kalian. Serta jauhilah perkara-perkara yang baru. Karena setiap perkara yang baru adalah bid’ah. Dan setiap bid’ah adalah sesat.“ (HR Abu Daud)
Abu Hassan Ali bin Abi Thalib al - Hashemi Qurashi ( 13 Rajab 23 s AH / 17 Mar 599 AD - 21 Ramadhan 40 H / 27 Jan 661 m) adalah khalifah ketiga dalam periode Khulafaur Rasyidin. Pada bagian ini kita akan mempelajari periode kepemimpinan dan pemerintahan Ali bin Abi Thalib. (Muhamad Iqbal, Fiqih Siyasah: Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam, 2001:75-78)
Setelah pembunuhan 'Usman, para pemberontak dari berbagai daerah mencari beberapa sahabat senior seperti Thalhah, Zubeir dan Sa'd ibn Abi Waqqash untuk dibai'at menjadi khalifah. Namun di antara mereka tidak ada yang bersedia. Akhirnya mereka menoleh kepada 'Ali. Pada awalnya 'Ali pun tidak bersedia, karena pengangkatannya tidak didukung penduduk Madinah dan veteran Perang Badr (sahabat senior). Menurutnya, orang yang didukung oleh komunitas inilah yang lebih berhak menjadi khalifah. Akhirnya Malik Al-Asytar al-Nakha'i melakukan bai'at dan diikuti keesokan harinya oleh sahabat besar seperti Thalhah dan Zubeir. Menurut sebuah riwayat, Thalhah dan Zubeir membai'at 'Ali di bawah ancaman pedang oleh Malik al-Asytar.
Pasca pembunuhan 'Usman, suasana memang begitu kacau. Umat Islam terpecah menjadi beberapa kelompok. Tidak semua umat Islam melakukan bai'at kepada 'Ali. Di Syam, Mu'awiyah yang masih keluarga 'Usman menuntut balas kepada 'Ali atas kematian 'Usman. Ia menuduh 'Ali berada di belakang kaum pemberontak. Perlawanan Mu'awiyah ini bahkan dinyatakannya secara terbuka dengan mengangkat dirinya sebagai khalifah tandingan di Syam. Ia bahkan mengerahkan tentaranya untuk memerangi 'Ali. Sedangkan di Mekah, 'Aisyah menggalang kekuatan pula bersama Thalhah dan Zubeir untuk melawan 'Ali. Namun demikian, 'Ali tetap dianggap sah menduduki jabatan khalifah, karena didukung oleh sebagian besar rakyat.
Setelah pelantikan, 'Ali menyampaikan pidato visi politiknya dalam suasana yang kacau di Mesjid Nabawi. "Sesungguhnya Allah Azza wa J alia telah menurunkan Al-Quran sebagai petunjuk yang menjelaskan yang baik dan yang buruk. Ikutilah kebaikan dan jauhilah kejahatan. Kalau engkau menjalankan kewajiban yang digariskan-Nya, maka kelak engkau akan masuksurga. Allah mengharamkan apa-apayang telah diharamkan-Nya dan memuliakan kehormatan manusia dan sangat menekankan keikhlasan serta tauhid umat Islam. Orang Islam harus memberi kesejahteraan bagi manusia lainnya dengan perkataan dan perbuatannya. Karenanya, janganlah kamu menyakiti orang lain. Segera lah melaksanakan kepentingan sosial".
Hal pertama yang dilakukan Ali setelah .menjabat khalifah adalah memberhentikan gubernur-gubernur yang diangkat 'Usman sebelumnya dan menarik kembali untuk negara tanah yang telah dibagi-bagi 'Usman kepada kerabatnya. Dalam hal yang pertama, 'Ali mengangkat 'Usman ibn Junaif menjadi gubernur Bashrah menggantikan 'Abdullah ibn 'Amir, 'Umarah ibn Syihab gubernur Kufah menggantikan Sa'd ibn al-'Ash, 'Ubai-dillah ibn 'Abbas gubernur Yaman, Qais ibn Sa'd gubernur Mesir Abdullah ibn Sa'd ibn Abi Sarh dan Sahl ibn Junaif gubernur Syam.
Gubernur-gubernur baru tidak dengan mulus masuk menggantikan pejabat lama. Meskipun sebagian besar mereka diterima di daerah, tidak jarang pula ada yang menolaknya. Bahkan serta merta Mu'awiyah, gubernur Syam masa 'Usman, mengusir Sahl.
Sedangkan kebijaksanaan yang kedua membuat 'Ali mendapat tantangan keras dari mereka yang digeser kedudukannya. Di sisi lain, penduduk Madinah sendiri tidak bulat mendukung 'Ali. Posisi 'Ali benar-benar sulit. Ia terjepit di antara keinginan untuk memperbiki situasi negara yang sudah chaos dengan ambisi lawan-lawan politiknya yang selalu berusaha menjegalnya. Melihat kondisi Madinah yang tidak mungkin baginya untuk menjalankan pemerintahan, 'Ali memindahkan ibu kota negara ke Kufah. Di sini 'Ali mendapat dukungan dari rakyat.
Sementara itu, di Syam, Mu'awiyah dikabarkan telah bersiap-siap dengan pasukannya untuk menghadapi 'Ali. 'Ali segera memimpin pasukan memerangi Mu'awiyah. Namun sebelum rencana tersebut terlaksana, ternyata trio 'Aisyah, Thalhah dan Zubeir telah bersiap pula untuk memberontak kepadanya. Dari Mekah mereka menuju Bashrah. 'Ali pun mengalihkan pasukannya ke Bashrah memadamkan pemberontakan mereka. Namun terlebih dahulu 'Ali menawarkan perdamaian dan mengajak mereka berunding. Tetapi tawaran ini ditampik, sehingga perang pun tak terelakkan lagi. Dalam perang yang dikenal dengan "Perang Unta/Jamal" ini, pasukan 'Ali menang dan Zubeir serta Thalhah tewas. Sedangkan 'Aisyah dikembalikan ke Madinah.
Selanjutnya perhatian Ali tertuju kepada Mu'awiyah. 'Ali menulis surat kepadanya dan menawarkan perundingan. Akan tetapi Mu'awiyah tetap pada pendiriannya dan terkesan membuka perang saudara. Ak-hirnya terjadilah pertempuran kedua pasukan di Shiffin pada bulan Safar tahun 37 H. Banyak tentara kedua belah pihak yang gugur dalam pertem-puran ini. Ketika 'Ali hampir beroleh kemenangan, 'Amr ibn al-'Ash yang berada di barisan Mu'awiyah mengangkat mushaf menandakan damai.
Maka perang pun dihentikan dan diadakanlah tahkim antara kedua belah pihak. Dalam tahkim ini, pihak 'Ali yang diwakili oleh Abu Musa al-Asy'ari dipecundangi oleh siasat Amr yang mewakili Mu'awiyah. Tahkim ini menghasilkan keputusan yang timpang. 'Ali diturunkan dari jabatannya, sedangkan Mu'awiyah naik memperkuat posisinya menjadi khalifah.
Akibat hasil tahkim yang tidak adil ini, sebagian tentara 'Ali yang berasal dari Arab Badui memisahkan diri dan membentuk gerakan sem-palan Khawarij. Mereka menggerogoti 'Ali dan membenci Mu'awiyah yang telah menipu 'Ali. Di samping itu, mereka juga menganggap pelaku-pelaku tahkim sebagai biang kekacauan di dunia Islam. Mereka semua berdosa besar dan harus dibunuh. Namun di antara empat tokoh yang menjadi incaran ini, yakni 'Ali, Mu'awiyah, 'Amr dan Abu Musa, hanya 'Ali yang berhasil mereka bunuh. Dengan tewasnya 'Ali, berakhirlah period e pemerintahan al-Khulafa' al-Rasyidun dan Mu'awiyah pun melenggang menuju kursi khalifah tanpa hambatan yang berarti.
Kebijaksanaan Khalifah Ali
Meskipun masa pemerintahan 'Ali yang selama enam tahun tidak sunyi dari pergolakan politik, 'Ali berusaha menciptakan pemerintahan yang bersih, berwibawa dan egaliter. 'Ali mengambil kembali harta negara yang dibagi-bagikan 'Usman kepada pejabat-pejabatnya, seperti diuraikan sebelumnya. 'Ali juga mengirim surat kepada para gubernur dan pejabat daerah lainnya untuk bijaksana dalam menjalankan tugasnya dan tidak mengecewakan rakyat. 'Ali pun menyusun undang-undang perpajakan. Dalam sebuah suratnya, 'Ali menegaskan bahwa pajak tidak boleh diambil tanpa memperhatikan pembangunan rakyatnya. Kepada pejabatnya di daerah, 'Ali juga memerintahkan agar aib orang ditutupi dari pengetahuan orang lain. Untuk keamanan daerah, 'Ali juga menyebar mata-mata (intel).
Dalam sikap egalitarian, 'Ali bahkan mencontohkan sosok seorang kepala negara yang berkedudukan sama dengan rakyat lainnya. Dalam sebuah kasus, 'Ali berperkara di pengadilan dengan seorang Yahudi mengenai baju besi. Yahudi tersebut, dengan berbagai argumentasi dan saksinya, mengklaim bahwa baju tersebut miliknya. Karena 'Ali tidak dapat mengajukan bukti-bukti dalam pembelaannya, maka hakim memu-tuskan memenangkan dan mengabulkan tuntutan Yahudi tersebut.
'Ali ingin mengembalikan citra pemerintahan Islam sebagaimana pada masa 'Umar dan Abu Bakr sebelumnya. Namun kondisi masyarakat yang kacau balau dan tidak terkendali lagi menjadikan usaha 'Ali tidak banyak berhasil. Umat lebih memperhatikan kelompoknya dari pada ke-satuan dan persatuan. Akhirnya praktis selama pemerintahannya, 'Ali lebih banyak mengurus persoalan pemberontakan di berbagai daerah.
Sebenarnya, dalam mengatasi berbagai persoalan yang melilit 'Ali, beberapa sahabat pernah memberikan masukan-masukan kepadanya. Tetapi 'Ali menolak pendapat mereka dan terlalu yakin dengan pendiriannya. Dalam masalah pemecatan gubernur, misalnya, Mughirah ibn Syu'bah, Ibn 'Abbas dan Ziyad ibn Handzalah menasehatkan 'Ali bahwa mereka tidak usah dipecat selama menunjukkan kesetiaan kepada 'Ali. Pemecatan ini akan membawa implikasi yang besar bagi resistansi mereka terhadap 'Ali. Namun 'Ali tetap bersikukuh pada pendiriannya.
Demikian juga dengan pemecatan Mu'awiyah. Sahabat Ibn 'Abbas mengingatkan bahwa Mu'awiyah adalah politisi ulung yang memiliki sifat lemah lembut terhadap rakyat. Apalagi Mu'awiyah telah "berkuasa" di Syam sejak kekhalifahan 'Umar. Ibn 'Abbas menasehatkan, "Jika Anda memecat Mu'awiyah, dia akan menikam Anda mengambil jabatan khalifah bukan dari musyawarah, melainkan dari hasil pembunuhan 'Usman. Ini akan membuat rakyat Syam dan Irak yang telah digenggamnya datang menuntut hak atas darah 'Usman.
Dalam masalah Thalhah dan Zubeir, Mughirah juga menasehatkan 'Ali agar menjadikan mereka berdua sebagai gubernur Kufah dan Bashrah. 'Ali pun mengabaikan usulan ini, sehingga Thalhah dan Zubeir kecewa dan berakhir dengan tragedi perang berunta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.