Tidak Mengulang Syahadah Bagi Anak Sudah Baligh

 

Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, amma ba’du,
Menyucapkan dua kalimat syahadat di depan saksi, hanya berlaku bagi mereka yang hendak masuk islam.
Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhuma menceritakan,
Ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengirim Muadz ke Yaman untuk mendakwahkan islam, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berpesan kepada beliau,
إِنَّكَ تَأْتِى قَوْمًا أَهْلَ كِتَابٍ فَادْعُهُمْ إِلَى شَهَادَةِ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَنِّى رَسُولُ اللَّهِ فَإِنْ هُمْ أَطَاعُوكَ لِذَلِكَ فَأَعْلِمْهُمْ أَنَّ اللَّهَ افْتَرَضَ عَلَيْهِمْ خَمْسَ صَلَوَاتٍ فِى كُلِّ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ
Engkau akan mendatangi sekelompok kaum ahli kitab. Karena itu, ajaklah mereka untuk bersyahadat laa ilaaha illallah dan bahwa aku utusan Allah. Jika mereka menerimamu dengan ajakan itu, ajarkanlah kepada mereka bahwa Allah mewajibkan kepada mereka shalat 5 waktu dalam sehari semalam…. (HR. Bukhari 1395, Muslim 132, Abu Daud 1586 dan yang lainnya)

Kaum yang didatangi Muadz adalah masyarakat beragama nasrani di Yaman.
Demikian pula hadis dari Ibnu Umar Radhiyallahu ‘anhuma, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أُمِرْتُ أَنْ أُقَاتِلَ النَّاسَ حَتَّى يَشْهَدُوا أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ ، وَيُقِيمُوا الصَّلاَةَ
Aku diperintahkan untuk memerangi manusia sampai mereka bersyahadat laa ilaaha illallah dan bahwa Muhammad utusan Allah, dan mereka menegakkan shalat, dst… (HR. Bukhari 25 & Muslim 135).

Makna hadis, bahwa beliau diperintahkan untuk mendakwahi manusia sampai mereka masuk islam dengan ditandai pengucapan dua kalimat syahadat.

Tidak Perlu Mengulang Syahadat
Oleh karena itu, bagi mereka yang telah masuk islam, tidak ada kewajiban untuk menyatakan syahadat di depan saksi atau di depan pemimpin. Diantara dalil yang menunjukkan hal itu,

Pertama, bahwa ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berhasil menaklukkan kota Mekah, banyak masyarakat di hamparan jazirah arab yang masuk islam secara berbondong-bondong. Satu suku semua masuk islam, diwakili oleh pernyataan kepala suku. Allah sebutkan dalam al-Quran,
إِذَا جَاءَ نَصْرُ اللَّهِ وَالْفَتْحُ ( ) وَرَأَيْتَ النَّاسَ يَدْخُلُونَ فِي دِينِ اللَّهِ أَفْوَاجًا
Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan ( ) dan kamu lihat manusia masuk agama Allah dengan berbondong-bondong (QS. an-Nashr: 1-2)

Itu terjadi sekitar tahun 9 dan 10 H. Sehingga tahun itu digelari ‘am al-Wufud (tahun kedatangan tamu).
Ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan haji wada di akhir tahun 10 H, jumlah kaum muslimin yang ikut haji sangat banyak, lebih dari seratus orang.
Sehingga tidak semua orang yang masuk islam, mengikrarkan syahadat di hadapan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bahkan banyak diantara mereka yang belum akrab dengan Nabi, dan beliau mengakui keislaman mereka.
Kedua,  ada beberapa sahabat yang lahir di tengah kaum muslimin. Seperti Abdullah bin Zubair, lahir ketika ibunya ikut hijrah ke Madinah. Dan kita tidak mendapatkan adanya riwayat, mereka mengikrarkan dua kalimat syahadat setelah mereka besar.
Karena mereka sudah islam sejak kecil, sehingga mereka tidak butuh mengikrarkan syahadat di hadapan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Anak Kecil Mengikuti Agama Orang Tuanya
Ulama sepakat bahwa anak kecil yang dilahirkan di tengah orang tua yang keduanya muslim, maka agamanya langsung mengikuti orang tuanya. Jika agama ortunya berbeda, maka agamanya mengikuti orang tuanya yang muslim.
Syaikhul Islam mengatakan,
الطفل إذا كان أبواه مسلمين كان مسلماً تبعاً لأبويه باتفاق المسلمين ، وكذلك إذا كانت أمه مسلمة عند جمهور العلماء كأبي حنيفة والشافعي وأحمد
Anak kecil yang kedua orang tuanya muslim, maka dia muslim mengikuti kedua orang tuanya, dengan sepakat kaum muslimin.
Demikian pula ketika ibunya muslimah (sementara ayahnya kafir), dia mengikuti agama ibunya menurut pendapat mayoritas ulama seperti Abu Hanifah, as-Syafii, dan Ahmad. (Majmu’ Fatawa, 10/437).

Keterangan lain dinyatakan dalam Ensiklopedi Fiqh,
اتفق الفقهاء على أنه إذا أسلم الأب وله أولاد صغار، أو من في حكمهم – كالمجنون إذا بلغ مجنونا – فإن هؤلاء يحكم بإسلامهم تبعا لأبيهم.
وذهب الجمهور (الحنفية والشافعية والحنابلة) إلى أن العبرة بإسلام أحد الأبوين، أبا كان أو أما
"Ulama sepakat bahwa jika ada bapak yang masuk islam dan dia memiliki beberapa anak yang masih kecil atau keluarga yang seperti anak kecil – seperti orang gila – maka mereka dihukumi telah islam mengikuti ayahnya. Sementara mayoritas ulama (Hanafiyah, Syafiiyah, dan Hambali) berpendapat bahwa yang menjadi acuan islamnya anak adalah status islamnya salah satu dari orang tuanya. Baik ayahnya maupun ibunya". (al-Mausu’ah al-Fiqhiyah al-Kuwaitiyah, 4/270).

Anak Kecil Tidak Perlu Mengulang Syahadat
Anak kecil dari keluarga muslim, tidak perlu mengulang syahadatnya ketika baligh, karena mereka sudah muslim sejak kecil.
Syaikhul Islam mengatakan,
واتفق المسلمون على أن الصبي إذا بلغ مسلماً لم يجب عليه عقب بلوغه تجديد الشهادتين
"Kaum muslimin sepakat bahwa anak kecil ketika menginjak baligh sudah muslim, dia tidak wajib memperbarui syahadatnya setelah baligh". (Dar’u at-Ta’arudh, 4/107)

Beliau juga mengatakan,
السلف والأئمة متفقون على أن أول ما يُؤمر به العباد الشهادتان ، ومتفقون على أن من فعل ذلك قبل البلوغ لم يؤمر بتجديد ذلك عقب البلوغ
Ulama salaf dan para ulama setelahnya sepakat bahwa perintah pertama yang ditujukan kepada para hamba adalah dua kalimat syahadat. Mereka juga sepakat bahwa siapa yang sudah bersyahadat sebelum baligh, dia tidak diperintahkan untuk mengulang syahadatnya setelah baligh. (Dar’u at-Ta’arudh, 4/107)

Jika Murtad Setelah Baligh
Sebelum baligh, status agama anak mengikuti agama orang tuanya. Dan jika dia murtad setelah baligh atau ragu dengan islamnya, maka dia wajib bertaubat dengan mengulangi syahadatnya.

Syaikhul Islam mengatakan,
الصغير حكمه في أحكام الدنيا حكم أبويه ؛ لكونه لا يستقل بنفسه ، فإذا بلغ وتكلم بالإسلام أو بالكفر كان حكمه معتبراً بنفسه باتفاق المسلمين ، فلو كان أبواه يهوداً أو نصارى فأسلم كان من المسلمين باتفاق المسلمين ، ولو كانوا مسلمين فكفر كان كافراً باتفاق المسلمين
"Anak kecil, hukumnya di dunia sama dengan hukum orang tuanya. Karena dia tidak berdiri sendiri. Jika dia baligh, kemudian memilih islam atau kakfiran, maka hukumnya kembali kepada pilihannya dengan sepakat kaum muslimin. Jika kedua orang tuanya yahudi atau nasrani, kemudian si anak masuk islam, maka dia menjadi muslim, dengan sepakat kaum muslimin. Sebaliknya, jika kedua orang tuanya muslim, kemudian anaknya memilih kafir setelah baligh, maka dia kafir dengan sepakat kaum muslimin. (al-Fatawa al-Kubro,1/170).

Sumber disini

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.