PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 1977 TENTANG PERWAKAFAN TANAH MILIK
Presiden Republik Indonesia,
Menimbang :
a. bahwa wakaf adalah suatu lembaga keagamaan yang dapat dipergunakan sebagai salah satu sarana guna pengembangan kehidupan keagamaan, khususnya bagi umat yang beragama Islam, dalam rangka mencapai kesejahteraan spiritual dan material menuju masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila;
b. bahwa peraturan perundang-undangan yang ada sekarang ini yang mengatur tentang perwakafan tanah milik, selain belum memenuhi kebutuhan akan cara-cara perwakafan, juga membuka kemungkinan timbulnya hal-hal yang tidak diinginkan disebabkan tidak adanya data-data yang nyata dan lengkap mengenai tanah-tanah yang diwakafkan ;
c. bahwa sesuai dengan ketentuan Pasal 14 ayat (1) huruf b dan Pasal 49 ayat (3) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960, maka dipandang perlu untuk mengatur tatacara dan pendaftaran perwakafan tanah milik dengan Peraturan Pemerintah;
Mengingat :
1. Pasal 5 ayat (2) Undang-undang 1945;
2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor IV/MPR/1973 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara ;
3. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (Lembaran Negara Tahun 1960 Nomor 104; Tambahan Lembaran Negara Nomor 2043);
4. Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah (Lembaran Negara Tahun 1961 Nomor 28; Tambahan Lembaran Negara Nomor 2171);
MEMUTUSKAN :
Menetapkan :
PERATURAN PEMERINTAHAN TENTANG PERWAKAFAN TANAH MILIK.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Yang dimaksud dalam Peraturan Pemerintah ini dengan
(1) Wakaf adalah Perbuatan hukum seseorang atau badan hukum yang memisahkan sebagian dari harta kekayaannya yang berupa tanah milik dan melembagakannya untuk selama lamanya untuk kepentingan peribadatan atau keperluan umum lainnya sesuai dengan ajaran agama islam.
(2) Wakif adalah orang atau orang-orang ataupun badan hukum yang mewakafkan tanah miliknya.
(3) Ikrar adalah pernyataan kehendak dari wakif untuk mewakafkan tanah miliknya.
(4) Nadzir adalah kelompok orang atau badan hukum yang diserahi tugas pemeliharaan dan pengurusan benda wakaf.
BAB II
FUNGSI WAKAF
Bagian Pertama
Pasal 2
Fungsi wakaf adalah mengekalkan manfaat benda wakaf sesuai dengan tujuan wakaf.
Bagian Kedua
Unsur-unsur dan syarat-syarat wakaf
Pasal 3
(1)Badan-badan hukum Indonesia dan orang atau orang-orang yang telah dewasa dan sehat akalnya serta yang oleh hukum tidak terhalang untuk melakukan perbuatan hukum, atas kehendak sendiri dan tanpa paksaan dari pihak lain, dapat mewakafkan tanah miliknya dengan memperhatikan peraturan-peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(2)Dalam hal Badan-badan Hukum, maka yang bertindak atas namanya adalah pengurusnya yang sah menurut hukum.
Pasal 4
Tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, harus merupakan tanah hak milik atau tanah milik yang bebas dari segala pembebanan, ikatan, sitaan, dan perkara.
Pasal 5
(1)Pihak yang mewakafkan tanahnya harus mengikrarkan kehendaknya secara jelas dan tegas kepada Nadzir dihadapan Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf sebagaimana dimaksud Pasal 9 ayat (2) yang kemudian menuangkannya dalam bentuk Akta Ikrar Wakaf, dengan disaksikan oleh sekurang-kurangnya 2 (dua) orang saksi.
(2)Dalam keadaan tertentu, penyimpangan dari ketentuan dimaksud dalam ayat (1) dapat dilaksanakan setelah terlebih dahulu mendapat persetujuan Menteri Agama.
Pasal 6
(1)Nadzir sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) Pasal 1 yang terdiri dari perorangan harus memenuhi syarat-syarat berikut
a.warganegara Republik Indonesia;
b.beragama Islam;
c.sudah dewasa;
d.sehat jasmaniah dan rohaniah;
e.tidak berada dibawah pengampuan;
f.bertempat tinggal di kecamatan tempat letaknya tanah yang diwakafkan.
(2)Jika berbentuk badan hukum, maka Nadzir harus memenuhi persyaratan berikut :
a.badan hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia;
b.mempunyai perwakilan di kecamatan tempat letaknya tanah yang diwakafkan.
(3)Nadzir dimaksud dalam ayat (1) dan (2) harus didaftar pada Kantor Urusan Agama Kecamatan setempat untuk mendapatkan pengesahan.
(4)Jumlah Nadzir yang diperbolehkan untuk sesuatu daerah seperti dimaksud dalam ayat (3), ditetapkan oleh Menteri Agama berdasarkan kebutuhan.
Bagian Ketiga
Kewajiban dan Hak-hak Nadzir
Pasal 7
(1)Nadzir berkewajiban untuk mengurus dan mengawasi kekayaan wakaf serta hasilnya menurut ketentuan-ketentuan yang diatur lebih lanjut oleh Menteri Agama sesuai dengan tujuan wakaf
(2)Nadzir diwajibkan membuat laporan secara berkala atas semua hal yang menyangkut kekayaan wakaf sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
(3)Tatacara pembuatan laporan seperti dimaksud dalam ayat (2), diatur lebih lanjut oleh Menteri Agama.
Pasal 8
Nadzir berhak mendapatkan penghasilan dan fasilitas yang besarnya dan macamnya ditentukan lebih lanjut oleh Menteri Agama.
BAB III
TATACARA MEWAKAFKAN DAN PENDAFTARANNYA
Bagian Pertama
Tatacara perwakafan tanah milik
Pasal 9
(1)Pihak yang hendak mewakafkan tanahnya diharuskan datang di hadapan Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf untuk melaksanakan Ikrar Wakaf.
(2)Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf seperti dimaksud dalam ayat (1) diangkat dan diberhentikan oleh Menteri Agama.
(3)Isi dan bentuk Ikrar Wakaf ditetapkan oleh Menteri Agama.
(4)Pelaksanaan Ikrar, demikian pula pembuatan Akta Ikrar Wakaf, dianggap sah, jika dihadiri dan disaksikan oleh sekurangkurangnya 2 (dua) orang saksi.
(5)Dalam melaksanakan Ikrar seperti dimaksud ayat (1) pihak yang mewakafkan tanah diharuskan membawa serta dan menyerahkan kepada Pejabat tersebut dalam ayat (2) surat surat berikut :
a.sertifikat hak milik atau tanda bukti pemilikan tanah lainnya;
b.surat keterangan dari Kepala Desa yang diperkuat oleh Kepala Kecamatan setempat yang menerangkan kebenaran pemilikan tanah dan tidak tersangkut sesuatu sengketa;
c.surat keterangan pendaftaran tanah;
d.izin dari Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah cq Kepala Sub Direktorat Agraria setempat.
Bagian Kedua
Pendaftaran wakaf tanah milik
Pasal 10
(1)Setelah Akta Ikrar Wakaf dilaksanakan sesuai dengan ketentuan ayat (4) dan (5) Pasal 9, maka Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf atas nama Nadzir yang bersangkutan, diharuskan mengajukan permohonan kepada Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah cq. Kepala Sub Direktorat Agraria setempat untuk mendaftar perwakafan tanah milik yang bersangkutan menurut ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961.
(2)Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah cq. kepala Sub Direktorat Agraria setempat, setelah menerima permohonan tersebut dalam ayat (I) mencatat perwakafan tanah milik yang bersangkutan pada bukti tanah dan sertifikatnya.
(3)Jika tanah milik yang diwakafkan belum mempunyai sertifikat maka pencatatan yang dimaksudkan dalam ayat (2) dilakukan setelah untuk tanah tersebut dibuatkan sertifikatnya.
(4)Oleh Menteri Dalam Negeri diatur tatacara pencatatan perwakafan yang dimaksudkan dalam ayat (2) dan (3).
(5)Setelah dilakukan pencatatan perwakafan tanah milik dalam buku tanah dan sertifikatnya seperti dimaksud dalam ayat (2) dan (3), maka Nadzir yang bersangkutan wajib melaporkannya kepada pejabat yang ditunjuk oleh Menteri Agama.
BAB V
PERUBAHAN, PENYELESAIAN PERSELISIHAN DAN PENGAWASAN PERWAKAFAN TANAH MILIK
Bagian Pertama
Perubahan perwakafan tanah milik
Pasal 11
(1)Pada dasarnya terhadap tanah milik yang telah diwakafkan tidak dapat dilakukan perubahan peruntukan atau penggunaan lain daripada yang dimaksud dalam Ikrar Wakaf.
(2)Penyimpangan dari ketentuan tersebut dalam ayat (1) hanya dapat dilakukan terhadap hal-hal tertentu setelah terlebih dahulu mendapat persetujuan tertulis dari Menteri Agama, yakni :
a.karena tidak sesuai lagi dengan tujuan wakaf seperti diikrarkan oleh wakif;
b.karena kepentingan umum.
(3)Perubahan status tanah milik yang telah diwakafkan dan perubahan penggunaannya sebagai akibat ketentuan tersebut dalam ayat (2) harus dilaporkan oleh Nadzir kepada Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah cq Kepala Sub Direktorat Agraria setempat untuk mendapatkan penyelesaian lebih lanjut.
Bagian Kedua
Penyelesaian Perselisihan Perwakafan Tanah Milik
Pasal 12
Penyelesaian perselisihan sepanjang yang menyangkut persoalan perwakafan tanah, disalurkan melalui Pengadilan Agama setempat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Bagian Ketiga
Pengawasan Perwakafan Tanah Milik
Pasal 13
Pengawasan perwakafan tanah milik dan tatacaranya diberbagai tingkat wilayah ditetapkan lebih lanjut oleh Menteri Agama.
BAB V
KETENTUAN PIDANA
Pasal 14
Barangsiapa melakukan perbuatan yang melanggar ketentuan-ketentuan sebagaimana dimaksud Pasal 5, Pasal 6 ayat (3) Pasal 7 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 9, Pasal 10 dan Pasal 11, dihukum dengan hukuman kurungan selama-lamanya 3 (tiga) bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 10.000,-(sepuluh ribu rupiah).
Pasal 15
Apabila perbuatan yang dimaksud dalam Pasal 14 dilakukan oleh-atau atas nama Badan Hukum maka tuntutan pidana dilakukan dan pidana serta tindakan tatatertib dijatuhkan, baik terhadap badan hukum maupun terhadap mereka yang memberi perintah melakukan perbuatan tersebut atau yang bertindak sebagai pemimpin atau penanggungjawab dalam perbuatan atau kelalaian itu atau terhadap keduaduanya.
BAB VI
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 16
(1)Perwakafan tanah milik demikian pula pengurusannya yang terjadi sebelum dikeluarkannya Peraturan Pemerintah ini, oleh Nadzir yang bersangkutan harus didaftarkan kepada Kantor Urusan Agama Kecamatan setempat, untuk disesuaikan dengan ketentuanketentuan dalam Peraturan Pemerintah ini.
(2)Cara-cara dan pelaksanaan ketentuan tersebut dalam ayat (1) ditentukan lebih lanjut oleh Menteri Agama.
Pasal 17
(1)Peraturan dan atau ketentuan-ketentuan tentang perwakafan tanah milik sebagaimana tercantum dalam Bijblad-Bijblad Nomor 6196 Tahun 1905, Nomor 12573 Tahun 1931, Nomor 13390 Tahun 1934, dan Nomor 13480 Tahun 1935 beserta ketentuan pelaksanaannya, sepanjang bertentangan dengan ketentuan-ketentuan dalam Peraturan Pemerintah ini dinyatakan tidak berlaku lagi.
(2)Hal-hal yang belum cukup diatur dalam Peraturan Pemerintah ini diatur lebih lanjut oleh Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri sesuai dengan bidangnya masing-masing.
BAB VII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 18
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar supaya setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 17 Mei 1977
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd
SOEHARTO
Diundangkan di Jakarta pada 17 Mei 1977
MENTERI/SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA,
SUDHARMONO, SH.
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 28 TAHUN 1977
TENTANG
PERWAKAFAN TANAH MILIK
I.UMUM.
Salah satu masalah di bidang keagamaan yang menyangkut pelaksanaan tugas-tugas keagrariaan adalah perwakafan tanah milik. Begitu pentingnya masalah perwakafan tanah milik tersebut ditinjau dari sudut Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, sehingga perlu diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pada waktu yang lampau, pengaturan tentang perwakafan tanah milik ia tidak diatur secara tuntas dalam bentuk suatu peraturan perundang-undangan, sehingga memudahkan terjadinya penyimpangan dari hakekat dan tujuan wakaf itu sendiri, terutama sekali disebabkan terdapatnya beraneka ragam bentuk perwakafan (wakaf keluarga, wakaf umum, dan lain-lain) dan tidak adanya keharusan untuk didaftarkannya benda-benda yang diwakafkan, sehingga banyaklah benda-benda wakaf yang tidak diketahui lagi keadaannya. Malahan dapat terjadi, benda-benda yang diwakafkan itu seolah-olah sudah menjadi milik dari ahli waris pengurus(Nadzir).
Kejadian-kejadian tersebut diatas menimbulkan keresahan dikalangan umat beragama, khususnya mereka yang menganut agama Islam, dan menjurus ke arah antipati. Dilain pihak banyak terdapat persengketaan-persengketaan tanah disebabkan tidak jelasnya status tanahnya, sehingga apabila tidak segera diadakan pengaturan, maka tidak saja akan mengurangi kesadaran beragama dari mereka yang menganut agama Islam,bahkan lebih jauh akan menghambat usaha-usaha Pemerintah untuk menggalakkan semangat dan bimbingan kewajiban ke arah beragama,sebagaimana terkandung dalam ajaran Pancasila dan digariskan dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor IV/MPR/1973. Dalam Peraturan Pemerintah ini yang diatur hanyalah wakaf sosial (untuk umum) atas tanah milik. Bentuk-bentuk perwakafan lainnya seperti perwakafan keluarga tidak termasuk yang dimaksud dalam Peraturan Pemerintah ini. Pembatasan ini perlu diadakan untuk menghindari kekaburan masalah perwakafan. Demikian pula mengenai bendanya dibatasi hanya kepada tanah milik. Hal ini juga dimaksudkan untuk menghindari kekacauan dikemudian hari.
Dalam Undang-undang Pokok Agraria hanya hak milik yang mempunyai sifat yang penuh dan bulat, sedangkan hak-hak atas tanah lainnya seperti Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai, hanyalah mempunyai jangka waktu yang terbatas, sehingga oleh karenanya pemegang hak-hak tersebut tidak mempunyai hak dan kewenangan seperti halnya pemegang hak milik. Berhubung dengan masalah perwakafan tersebut bersifat untuk selama-lamanya (abadi), maka hak atas tanah yang jangka waktunya ter-batas tidak dapat diwakafkan.
Selanjutnya dalam Peraturan Pemerintah ini diatur juga mengenai kepengurusan dari wakif (Nadzir), tatacara perwakafan, tatacara pemberian hak dan tata cara untuk mendapatkan kepastian hak atas tanah yang diwakafkan.
II. PASAL DEMI PASAL.
Pasal 1
Ayat (1) sampai dengan ayat (3) Cukup jelas.
Ayat (4) Yang dimaksud dengan kelompok orang dalam ayat ini ialah kelompok orang yang merupakan satu kesatuan atau merupakan suatu pengurus.
Pasal 2
Cukup jelas.
Pasal 3
Dalam pasal ini dijelaskan syarat-syarat yang harus dipenuhi bagi,seseorang yang mewakafkan. Pencantuman secara terperinci syarat-syarat ini dimaksudkan untuk menghindari tidak sahnya perbuatan mewakafkan, baik karena adanya faktor intern (cacad atau kurang sempurna cara berfikir) maupun faktor ekstern karena merasa dipaksa orang lain. Ketentuan-ketentuan ini berlaku juga bagi badan hukum dan Yayasan Indonesia yang bergerak di bidang keagamaan dengan penyesuaian persyaratan seperlunya sesuai dengan persyaratan subyek hukum tersebut menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 4
Sebagaimana telah dikemukakan, perbuatan mewakafkan adalah suatu perbuatan yang suci, mulia, dan terpuji sesuai dengan ajaran agama Islam. Berhubung dengan itu, maka tanah-tanah yang hendak diwakafkan itu betul-betul merupakan milik bersih dan tidak ada cacadnya ditinjau dari sudut pemilikan. Selain daripada itu persyaratan ini dimaksudkan untuk mencegah terjadinya atau terbawa-bawanya lembaga perwakafan ini untuk sering berhadapan dengan Pengadilan yang dapat memerosotkan wibawa dan syariat agama Islam. Berdasarkan pandangan tersebut diatas, maka tanah yang mengandung pembebanan seperti hipotik, crediet verband, tanah dalam proses perkara dan sengketa, tidak dapat diwakafkan sebelum masalahnya diselesaikan terlebih dahulu.
Pasal 5
Cukup jelas.
Pasal 6
Dalam pasal ini diatur tentang persyaratan Nadzir (pengurus) dari wakaf, sehingga pengurus baik yang terdiri dari kelompok orang-orang maupun suatu badan hukum dapat menjalankan fungsinya dengan baik. Jumlah Nadzir untuk suatu daerah perlu dibatasi dan di daftar dengan maksud untuk mengurangi benih-benih perselisihan disebabkan banyak orang yang mengurusi sesuatu hal atas benda yang sama. Pendaftaran dimaksudkan untuk menghindari perbuatan perwakafan yang menyimpang dari ketentuan yang ditetapkan dan juga untuk memudahkan pengawasan.
Pasal 7
Dalam rangka memudahkan pengawasan perwakafan tanah, maka nadzir yang telah diangkat diharuskan memberikan laporan secara berkala terhadap keadaan perwakafan tanah yang diurusnya dan penggunaan dari hasil-hasil dari wakaf itu. Pelaporan ini dimaksudkan juga untuk memudahkan pengawasan.
Pasal 8
Pasal ini memberikan dasar bagi penetapan suatu penghasilan dan pemberian fasilitas kepada Nadzir. Dengan telah diberinya imbalan yang pantas terhadap kebutuhan Nadzir ini, maka diharapkan dapat dihindari penyimpangan dari penggunaan wakaf.
Pasal 9
Pasal ini mengharuskan adanya perwakafan dilakukan secara tertulis,tidak cukup hanya dengan ikrar lisan saja. Tujuannya adalah untuk memperoleh bukti yang otentik yang dapat dipergunakan untuk berbagai persoalan seperti untuk bahan pendaftaran pada Kantor Sub Direktorat Agraria Kabupaten/Kotamadya dan untuk keperluan penyelesaian sengketa yang mungkin timbul dikemudian hari tentang tanah yang diwakafkan. Untuk keperluan itu seseorang yang hendak mewakafkan tanah harus membawa serta tanda-tanda bukti pemilikan (sertifikat/kekitir tanah) dan surat-surat lain yang menjelaskan tidak adanya halangan untuk melakukan perwakafan atas tanah milik tersebut. Untuk keperluan tersebut, maka diperlukan pejabat-pejabat yang khusus melaksanakan pembuatan aktanya. Demikian pula mengenai bentuk dan isi Ikrar Wakaf perlu diseragamkan.
Pasal 10
Salah satu hal yang selama ini belum pernah diatur dan dilaksanakan secara seksama adalah pendaftaran tanah-tanah yang diwakafkan menurut ketentuan-ketentuan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 dan peraturan pelaksanaannya. Pendaftaran tanah perwakafan ini sangat penting artinya baik ditinjau dari segi tertib hukum maupun dari segi administrasi penguasaan dan penggunaan tanah sesuai dengan peraturan perundang-undangan agraria.
Dengan telah didaftarkan dan dicatatnya waktu tersebut dalam sertifikat tanah hak milik yang diwakafkan, maka tanah wakaf itu telah mempunyai alat pembuktian yang kuat.
Pasal 11
Pada waktu yang lampau, perubahan status tanah yang diwakafkan dapat dilakukan begitu saja oleh Nadzirnya tanpa alasan-alasan yang meyakinkan. Hal-hal yang demikian sudah barang tentu akan menimbulkan reaksi dalam masyarakat terutama dari mereka yang langsung berkepentingan dengan perwakafan tanah tersebut.
Dalam Peraturan Pemerintah diadakan pembatasan-pembatasan yang ketat dan disamping itu maksud perubahan status harus terlebih dahulu mendapat izin dari Menteri Agama atau pejabat yang ditunjuknya. Dengan cara pembatasan-pembatasan yang demikian ini diharapkan dapat dihindarkan praktek-praktek yang merugikan
perwakafan. Untuk kepentingan administrasi pertanahan perubahan status wakaf diharuskan untuk didaftarkan pada pejabat yang berwenang. Penyimpangan-penyimpangan dari ketentuan tersebut dalam Pasal 11 Ayat (2) disamping terkena sanksi seperti dimaksud dalam Pasal 15, juga perbuatan itu batal dengan sendirinya menurut hukum.
Pasal 12
Penyelesaian perselisihan yang dimaksud dalam pasal ini yang termasuk yurisdiksi Pengadilan Agama adalah masalah sah atau tidaknya perbuatan mewakafkan seperti dimaksud dalam Peraturan Pemerintah ini dan lain-lain masalah yang menyangkut masalah wakaf berdasarkan syariat Islam. Dengan demikian jelaslah bahwa masalah-masalah lainnya yang secara nyata menyangkut Hukum Perdata dan Hukum Pidana diselesaikan melalui hukum acara dalam Pengadilan Negeri.
Pasal 13
Pada umumnya perwakafan tanah terjadi di daerah-daerah tingkat Kecamatan. Untuk memudahkan pengawasan diperlukan adanya administrasi yang tertib baik di tingkat Kecamatan, Kabupaten, Propinsi dan Pusat. Mengenai cara pengawasan menurut jalur timbal-balik akan ditetapkan lebih lanjut oleh Menteri Agama.
Pasal 14
Cukup jelas.
Pasal 15
Cukup jelas.
Pasal 16
Pasal ini merupakan pasal peralihan perwakafan tanah yang terjadi sebelum Peraturan Pemerintah ini dikeluarkan. Kewajiban menyesuaikan perwakafan yang telah ada dengan Peraturan Pemerintah ini yang harus dilakukan oleh Nadzir yang bersangkutan tidak hanya cukup dengan mendaftarkan pada Kantor Urusan Agama setempat, melainkan juga harus dengan menyelesaikan status tanah dan pendaftaran haknya melalui acara yang diperlukan pada perwakafan tanah milik seperti dimaksud dalam Pasal 10.
Berhubung masalah penyesuaian perwakafan yang telah ada dengan ketentuan-ketentuan dalam Peraturan Pemerintah ini diperlukan waktu dan kebijaksanaan khusus, maka tatacara, jangka waktu penyesuaian demikian pula kemungkinan perpanjangannya akan diatur lebih lanjut oleh Menteri Agama.
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18
Cukup jelas.
----
CATATAN
Kutipan:
LEMBARAN NEGARA DAN TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA TAHUN 1977 YANG TELAH DICETAK ULANG
Sumber:LN 1977/38; TLN NO. 3107
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.