Masyruiyat Puasa Arafah
Puasa Arafah yaitu puasa pada tanggal 9 bulan ZulHijjah, sedangkan puasa tarwiyah adalah puasa pada tanggal 8 bulan Zul-Hijjah. Puasa sunnah itu berdasarkan dalil berikut :
Dari Abi Qatadah ra berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda,"Puasa hari Arafah menghapuskan dosa dua tahun, yaitu tahun sebelumnya dan tahun sesudahnya. Puasa Asyura' menghapuskan dosa tahun sebelumnya. (HR. Jamaah kecuali Bukhari dan Tirmizy)
Sedangkan dalil puasa 8 hari bulan Zulhijjah adalah sebagai berikut :
Dari Hafshah ra berkata,"Empat hal yang tidak pernah ditinggalkan oleh Rasulullah SAW: [1] Puasa hari Asyura, [2] Puasa 1-8 zulhijjah, [3] 3 hari tiap bulan dan [4] dua rakaat sebelum fajar". (HR. Ahmad, Abu Daud dan Nasai).
Tarikh Tasyri
Penetapan hukum sementara pihak itu, selain dengan latar belakang penamaan dan struktur kalimat (shaum Yawm ‘Arafah) dapat kita uji pula melalui analisa tarikh tasyri’ (sejarah Penetapan syariat) Shaum Arafah dan Iedul Adha sebagai berikut :
عَنْ أَنَسٍ قَالَ قَدِمَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ الْمَدِينَةَ وَلَهُمْ يَوْمَانِ يَلْعَبُونَ فِيهِمَا فِي الْجَاهِلِيَّةِ فَقَالَ إِنَّ اللَّهَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى قَدْ أَبْدَلَكُمْ بِهِمَا خَيْرًا مِنْهُمَا يَوْمَ الْفِطْرِ وَيَوْمَ النَّحْرِ
Dari Anas, ia berkata, “Rasulullah saw. datang ke Madinah, dan mereka mempunyai dua hari yang mereka bermain-main pada keduanya di masa jahiliyyah. Maka beliau bersabda, ‘Sungguh Allah telah mengganti keduanya dengan yang lebih baik dari keduanya, yaitu Hari Adha dan Hari Fitri’.” HR. Ahmad, Abu Dawud, dan al-Hakim. Redaksi di atas versi Ahmad.
Para ulama sepakat bahwa Ied yang pertama disyariatkan adalah Iedul Fitri, selanjutnya Iedul Adha. Keduanya disyariatkan pada tahun ke-2 hijrah. Dalam hal ini para ulama menerangkan:
“Yaum fitri dari Ramadhan (ditetapkan) sebagai ied bagi semua umat ini tiada lain sebagai isyarat karena banyaknya pembebasan (dari neraka), sebagaimana hari Nahar, yang dia itu ied akbar, karena banyaknya pembebasan (dari nereka) pada hari Arafah sebelum Iedul Adha. Karena tidak ada hari yang dipandang lebih banyak pembebasan daripada hari itu (Arafah).”
Keterangan di atas menunjukkan bahwa Shaum Arafah mulai syariatkan bersamaan dengan Iedul Adha, yaitu tahun ke-2 hijriah. Keduanya disyariatkan setelah syariatkannya Shaum Ramadhan dan Iedul Fitri pada tahun yang sama. Adapun ibadah haji, termasuk di dalamnya wukuf di Arafah, mulai disyariatkan pada tahun ke-6 hijriah sebagaimana dinyatakan oleh Jumhur ulama. Namun menurut Ibnu Qayyim disyariatkan tahun ke-9/ke-10 Hijriah.
Jadi, waktu pensyariatan Shaum Arafah dan Iedul Adha lebih dahulu daripada pensyariatan wukuf di Arafah. Dengan demikian, wukuf di Arafah bukan muqaddamah wujud (syarat) shaum Arafah dan pelaksanaan Iedul Adha.
Puasa Arafah bagi yang tidak melaksanakan Haji
Perlu diketahui bahwa Nabi saw, hanya berhaji sekali pada saat Haji Wada’. dan ketika haji tidak melakukan puasa Arafah, sekalipun Rasulullah dan para sahabat sudah melaksanakan puasa tanggal 9 Dzulhijjah sejak tahun ke-dua hijriyah.
Puasa Arafah pada tanggal 9 Zulhijah disunahkan bagi orang yang tidak sedang melaksanakan ibadah Haji (tidak sedang wukuf di Arafah). Hal ini sesuai dengan beberapa hadis Nabi saw, antara lain sebagai berikut,
عَنْ أَبِى قَتَادَةَ الأَنْصَارِىِّ رَضِىَ الله عنه أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سُئِلَ عَنْ … صَوْمِ يَوْمِ عَرَفَةَ فَقَالَ يُكَفِّرُ السَّنَةَ الْمَاضِيَةَ وَالْبَاقِيَةَ …
[رواه الجماعة إلا البخارى والترمذى].
Dari Abū Qatādah (diriwayatkan) bahwa Rasulullah saw ditanya … tentang puasa hari Arafah, lalu beliau menjawab: (Puasa hari Arafah itu) menghapus dosa-dosa satu tahun lalu dan satu tahun yang akan datang… [HR jemaah ahli hadis kecuali al-Bukhārī dan at-Tirmiżī].
عَنْ عِكْرِمَةَ قَالَ دَخَلْتُ عَلَى أَبِى هُرَيْرَةَ فِى بَيْتِهِ فَسَأَلْتُهُ عَنْ صَوْمِ يَوْمِ عَرَفَةَ بِعَرَفَاتٍ فَقَالَ أَبُو هُرَيْرَةَ نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ صَوْمِ يَوْمِ عَرَفَةَ بِعَرَفَاتٍ
[رواه أحمد وأبو داود وابن ماجه].
Dari ‘Ikrimah Maulā ibn ‘Abbās (diriwayatkan bahwa) ia berkata: Saya menemui Abū Hurairah di rumahnya dan menanyakan tentang puasa hari Arafah di padang Arafah, beliau menjawab: Rasulullah saw melarang puasa hari Arafah di padang Arafah [HR Aḥmad, Abū Dāwūd dan Ibn Mājah].
Bahkan bukan hanya hari Arafah yang disunahkan dipuasai, namun dituntunkan untuk berpuasa sejak tanggal 1 hingga tanggal 9 Zulhijah. Hal ini ditegaskan dalam hadis berikut,
عَنْ هُنَيْدَةَ بْنِ خَالِدٍ عَنِ امْرَأَتِهِ عَنْ بَعْضِ أَزْوَاجِ النَّبِىِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَتْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصُومُ تِسْعَ ذِى الْحِجَّةِ وَيَوْمَ عَاشُورَاءَ وَثَلاَثَةَ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ أَوَّلَ اثْنَيْنِ مِنَ الشَّهْرِ وَالْخَمِيسَ
[رواه أحمد وأبو داود].
Dari Hunaidah ibn Khālid, dari istrinya, dari salah seorang istri Nabi saw (diriwayatkan bahwa) ia berkata: Adalah Rasulullah saw melakukan puasa pada sembilan hari bulan Zulhijah, hari Asyura, tiga hari setiap bulan, dan hari Senin dan Kamis pertama setiap bulan [HR Aḥmad dan Abū Dāwūd].
Hadis dari Hunaidah ibn Khālid di atas dinilai lemah (daif) oleh beberapa ulama hadis di antaranya seperti az-Zailā’i, Ibn al-Munżir dan ‘Abdullāh al-Arna’ūṭ, namun dinilai sahih oleh al-Albānī. Hadis Hunaidah tersebut mengindikasikan bahwa Nabi saw telah terbiasa melakukan puasa Arafah pada tanggal 9 Zulhijah, bahkan berpuasa sembilan hari Zulhijah (tanggal 1-9 Zulhijah) sebelum kaum muslimin melaksanakan ibadah Haji pertama kali tahun 9 H. Indikasi bahwa Nabi saw sudah terbiasa berpuasa pada tanggal 9 Zulhijah tersebut dikuatkan dengan dua hadis berikut,
عَنْ مَيْمُونَةَ زَوْجِ النَّبِىِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهَا قَالَتْ إِنَّ النَّاسَ شَكُّوا فِى صِيَامِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ عَرَفَةَ فَأَرْسَلَتْ إِلَيْهِ مَيْمُونَةُ بِحِلاَبِ اللَّبَنِ وَهُوَ وَاقِفٌ فِى الْمَوْقِفِ فَشَرِبَ مِنْهُ وَالنَّاسُ يَنْظُرُونَ إِلَيْهِ
[رواه البخارى ومسلم].
Dari Maimūnah istri Nabi saw (diriwayatkan) bahwa ia berkata: Orang-orang saling berdebat apakah Nabi saw berpuasa pada hari Arafah. Lalu Maimūnah mengirimkan pada beliau satu wadah (berisi susu) dan beliau dalam keadaan berdiri (Wukuf), lantas beliau minum dan orang-orang pun menyaksikannya [HR al-Bukhārī dan Muslim].
عَنْ أُمِّ الْفَضْلِ بِنْتِ الْحَارِثِ أَنَّ نَاسًا تَمَارَوْا عِنْدَهَا يَوْمَ عَرَفَةَ فِى صَوْمِ النَّبِىِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ بَعْضُهُمْ هُوَ صَائِمٌ . وَقَالَ بَعْضُهُمْ لَيْسَ بِصَائِمٍ . فَأَرْسَلَتْ إِلَيْهِ بِقَدَحِ لَبَنٍ وَهُوَ وَاقِفٌ عَلَى بَعِيرِهِ فَشَرِبَهُ
[رواه البخارى ومسلم].
Dari Ummu al-Faḍl binti al-Ḥāriṡ (diriwayatkan) bahwa orang-orang berbantahan di dekatnya pada hari Arafah tentang puasa Nabi saw, sebagian mereka mengatakan: Beliau berpuasa. Sebagian lainnya mengatakan: Beliau tidak berpuasa. Lalu Ummu al-Faḍl mengirimkan semangkok susu kepada beliau, ketika beliau sedang berhenti di atas unta beliau, maka beliau meminumnya [HR al-Bukhārī dan Muslim].
Hadis Maimūnah dan Ummu al-Faḍl di atas semakin menegaskan bahwa keraguan tentang puasa Arafah saat wukuf di Arafah pada kalangan Sahabat, menunjukkan bahwa mereka sudah mengenal puasa Arafah sebelum mereka melaksanakan Haji bersama Rasulullah saw. Sebagaimana dikemukakan al-Ḥāfiż Ibn Ḥajar ketika mengomentari hadis di atas,
Beberapa orang dari Sahabat bersilang lidah tentang Nabi saw berpuasa atau tidak berpuasa di hari Arafah (pada Haji Wadaʻ). Ini mengisyaratkan bahwasanya puasa Arafah telah dikenal di kalangan para Sahabat dan biasa mereka lakukan saat tidak safar. Sahabat yang menegaskan bahwa Nabi saw berpuasa berargumen dengan kebiasaan beliau melakukan ibadah (termasuk puasa Arafah), dan Sahabat yang menegaskan beliau tidak puasa beralasan dengan adanya karinah bahwa beliau sedang musafir dan sudah dikenal beliau melarang puasa wajib ketika safar, apatah lagi puasa sunat [Fatḥ al-Bāri: 6/268].
Pada dasarnya puasa Arafah, wukuf di padang Arafah dan tanggal 9 Zulhijah adalah satu kesatuan (terjadinya pada hari yang sama), sebagaimana dikemukakan oleh Ibn Qudāmah: Adapun hari Arafah adalah hari kesembilan di bulan Zulhijah, dinamakan demikian karena wukuf di padang Arafah dilaksanakan pada hari tersebut (hari kesembilan Zulhijah) (al-Mughni:1/112).
Penamaan Arafah
Sebelum ada Wukuf Arafah nama pada tanggal 9 Dzulhijjah adalah nama Arafah. Dalam penjelasan ulama Tafsir, Ar-Razi berikut:
اﻋﻠﻢ ﺃﻥ اﻟﻴﻮﻡ اﻟﺜﺎﻣﻦ ﻣﻦ ﺫﻱ اﻟﺤﺠﺔ ﻳﺴﻤﻰ ﺑﻴﻮﻡ اﻟﺘﺮﻭﻳﺔ، ﻭاﻟﻴﻮﻡ اﻟﺘﺎﺳﻊ ﻣﻨﻪ ﻳﺴﻤﻰ ﺑﻴﻮﻡ ﻋﺮﻓﺔ
"Ketahuilah bahwa hari ke 8 Dzulhijjah disebut hari Tarwiyah. Dan hari 9 disebut hari Arafah."
Terkait penamaan Arafah yang ada banyak riwayat, di antaranya diambil dari kisah Nabi Ibrahim berikut:
ﻭﺛﺎﻧﻴﻬﺎ: ﺃﻥ ﺇﺑﺮاﻫﻴﻢ ﻋﻠﻴﻪ اﻟﺴﻼﻡ ﺭﺃﻯ ﻓﻲ ﻣﻨﺎﻣﻪ ﻟﻴﻠﺔ اﻟﺘﺮﻭﻳﺔ ﻛﺄﻧﻪ ﻳﺬﺑﺢ اﺑﻨﻪ ﻓﺄﺻﺒﺢ ﻣﻔﻜﺮا ﻫﻞ ﻫﺬا ﻣﻦ اﻟﻠﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ ﺃﻭ ﻣﻦ اﻟﺸﻴﻄﺎﻥ؟ ﻓﻠﻤﺎ ﺭﺁﻩ ﻟﻴﻠﺔ ﻋﺮﻓﺔ ﻳﺆﻣﺮ ﺑﻪ ﺃﺻﺒﺢ ﻓﻘﺎﻝ: ﻋﺮﻓﺖ ﻳﺎ ﺭﺏ ﺃﻧﻪ ﻣﻦ ﻋﻨﺪﻙ
"Kedua, bahwa ketika malam tanggal 8 Dzulhijjah Nabi Ibrahim as mendapat mimpi wahyu untuk menyembelih putranya, di pagi harinya Nabi Ibrahim masih berfikir-fikir tentang kebenaran mimpi itu apakah dari Allah atau datangnya dari syetan, keraguan dan berfikir ini dalam bahasa Arab adalah Tarwiyah. Pada malam taggal 9 Dzulhijjah Nabi Ibrahim kembali bermimpi kejadian yang sama, perintah menyembelih putranya, maka Nabi Ibrahim mengetahui bahwa mimpi tersebut adalah wahyu Allah. ‘Mengetahui’ dalam bahasa Arabnya adalah ‘Arafa’. Di malam yang ke 10 Nabi Ibrahim bermimpi kembali, maka esok harinya Nabi Ibrahim bertekad menjalankan perintah Allah tersebut yang kemudian menyampaikannya kepada Nabi Ismail." (Tafsir Kabir ar-Razi, 5/324)
Puasa sunnah pada tanggal 9 Dzulhijjah sudah disyariatkan jauh sebelum Nabi Muhammad berhaji dan melaksanakan wuquf. Puasa itu menurut banyak riwayat telah mulai disyariatkan sejak tahun kedua hijriyah. Di tahun tersebut, ada beberapa jenis ibadah yang berbarengan disyariatkan, seperti puasa bulan Ramadhan, shalat Idul Fitri dan Idul Adha serta puasa tanggal 9 Dzulhijjah. Sedangkan wuquf yang dilakukan oleh Rasulullah saw belum disyariatkan di masa itu. Sebab Nabi Muhammad dalam posisinya sebagai Nabi (pembawa wahyu) baru berhaji di tahun kesepuluh hijriyah.
Adapun dalam kitab bahasa, yang paling sederhana adalah makna arafah dalam ‘Al-Qamus’ al-Muhith:
ويومُ عَرَفَةَ : التاسِعُ من ذي الحِجَّةِ . وعَرَفَاتٌ : مَوْقِفُ الحاجِّ ذلك اليَومَ على اثْنَيْ عَشَرَ مِيلاً من مكَّةَ
“Hari Arafah adalah tanggal 9 Dzulhijjah. Sedangkan Arafat adalah tempat wukufnya jamaah haji di hari itu yang berada 12 mil dari Makkah .
Shaumu Yaumi Arafah
ada sementara pihak yang berpendapat bahwa ketetapan waktu Idul Adha di negara manapun mesti ditetapkan berdasarkan waktu wukuf di Arafah. Dengan perkataan lain wukuf itu sebagai standar penetapan Iedul Adha. Istinbath ini ditetapkan berdasarkan sabda Nabi saw. tentang shaum ‘Arafah dalam hadis Abu Qatadah al-Anshari,
وَسُئِلَ عَنْ صَوْمِ يَوْمِ عَرَفَةَ فَقَالَ يُكَفِّرُ السَّنَةَ الْمَاضِيَةَ وَالْبَاقِيَةَ
"Dan beliau ditanya tentang shaum hari Arafah. Maka beliau menjawab, ‘Ia (shaum Arafah) akan menghapus dosa satu tahun yang lalu dan satu tahun mendatang.”
Penamaan shaum ini dengan “shaumu yaumi ‘arafah”, dipahami oleh sebagian pihak bahwa shaum Arafah itu waktunya harus bersesuaian dengan waktu wukuf di ‘Arafah. Pendapat demikian menurut sebagian kalangan tidaklah tepat dilihat dari tiga aspek:
Pertama, Latar belakang Arafah
Berkenaan asal muasal kata, Ibnu Abidin menjelaskan, “Arafah adalah ismul yaum (nama hari) dan Arafaat adalah ismul makan (nama tempat).”
Menurut Imam ar-Raghib, al-Baghawi, dan al-Kirmani, Arafah adalah, “Nama hari ke-9 dari bulan Dzulhijjah.”
Hari tersebut dinamakan Arafah berkaitan dengan peristiwa mimpinya Nabi Ibrahim yang diperintah untuk menyembelih anaknya. Pada pagi harinya, Ibrahim mengetahui bahwa mimpi itu benar-benar (datang) dari Allah,
فَسُمِّيَ يَوْمَ عَرَفَةَ
“Maka (hari itu) dinamakan hari Arafah.”
Menurut Imam al-‘Aini dan ar-Raghib, Arafat, bentuk jamak dari ‘Arafah adalah “Nama bagi tempat yang khusus ini.”
Adapun tempat tersebut dinamakan Arafat berkaitan dengan peristiwa pertemuan antara Nabi Adam dan Hawa ditempat itu, sebagaimana dijelaskan Ibnu Abas :
وَتَعَارَفَا بِعَرَفَاتِ فَلِذلِكَ سُمِّيَتْ عَرَفَاتِ
"Dan keduanya ta’aruf di Arafat, karena itu dinamai ‘Arafat.”
Meski demikian, untuk menunjuk tempat yang dimaksud terkadang digunakan pula kata ‘Arafah, dalam bentuk kata tunggal (mufrad). Penggunaan kata ‘Arafah (tunggal), untuk makna tempat, bukanlah bahasa orang Arab tulen.
Keterangan pakar bahasa tersebut menunjukkan bahwa kata ‘Arafah mengalami “perkembangan makna”, dari “makna tunggal: “nama waktu (isim zaman)”, menjadi dwi makna: “nama waktu (isim zaman)” dan “nama tempat (isim makaan)”.
Setelah dianalisa baik dari sisi asal muasal kata maupun latar belakang penamaannya, sebagaimana terurai sebelumnya, maka dapat diambil kesimpulan bahwa :
Penamaan Arafah, baik sebagai nama hari (ismul yaum) maupun nama tempat (ismul makaan), sudah digunakan sebelum disyariatkan ibadah haji.
Penamaan Arafah bukan karena pelaksanaan wukuf dalam ibadah haji (fi’lun). Dengan perkataan lain, fi’lun (wukuf dalam ibadah haji) bukan muqaddamah wujud penamaan Arafah.
Kedua, Struktur Kalimat (Shaum Arafah) dan Latar belakang penamaannya
Berkenaan dengan struktur kalimat, mari kita baca kembali sabda Nabi saw. tentang shaum itu berikut ini,
صَوْمُ يَوْمِ عَرَفَةَ
“Shaum hari Arafah.”
Jika kita telusuri dalam al-Kutub as-Sittah, kalimat Shaum Arafah digunakan Nabi saw. dalam tiga bentuk: Pertama, Shaum Yawm ‘Arafah (صَوْمُ يَوْمِ عَرَفَةَ). Kedua, Shiyaam Yawm ‘Arafah (صِيَامُ يَوْمِ عَرَفَةَ). Ketiga, Shaum ‘Arafah (صَوْمُ عَرَفَةَ). Bentuk pertama ditemukan sekitar 15 kali. Bentuk kedua 5 kali. Bentuk ketiga 2 kali.
Struktur kalimat: Yaum ‘Arafah disebut idhafah bayaniyyah, yaitu penyandaran satu kata kepada kata yang lain untuk menjelaskan. Penjelasan di sini berkenaan dengan waktu (bayaan zamani), bukan berkenaan dengan tempat (bayaan makaani), tidak pula berkenaan dengan pelaksanaan wukuf di Arafah (bayaan fi’li).
Sehubungan dengan itu, Ibnu Abidin menjelaskan, “Perkataannya: ‘Yawm ‘Arafah.’ Penyandaran kata itu untuk menjelaskan karena Arafah adalah nama hari.”
Merujuk kepada latar belakang penamaan Arafah, sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, juga penjelasan para ulama, maka struktur kalimat Shaum Yaum Arafah menunjukkan makna: “Shaum pada hari ke-9 bulan Dzulhijjah yang disebut hari Arafah”.
Dengan perkataan lain, apabila struktur kalimat Shaum Yaum Arafah dipahami bahwa “shaum itu waktunya harus bersesuaian dengan waktu wukuf di ‘Arafah”, maka harus disertakan qarinah (keterangan pendukung), karena cara pemahaman seperti ini khilaaful qiyaas (menyalahi kaidah), dalam hal ini kaidah tentang idhaafah bayaan zamani.
Selain itu, cara pemahaman tersebut juga menyalahi dalil-dalil tentang shaum itu. Karena dalam berbagai hadis digunakan pula “sebutan hari/tanggal” tanpa menyebut Arafah, sebagai berikut :
Pertama, Tis’a Dzilhijjah (9 Dzulhijjah)
عَنْ بَعْضِ أَزْوَاجِ النَّبِيِّ ﷺ قَالَتْ كَانَ رَسُولُ اللهِ ﷺ يَصُومُ تِسْعَ ذِي الْحِجَّةِ وَيَوْمَ عَاشُورَاءَ وَثَلَاثَةَ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ
Dari sebagian istri Nabi saw., ia berkata, “Rasulullah saw. shaum tis’a Dzilhijjah, hari Asyura, tiga hari setiap bulan.” HR. Abu Dawud, Ahmad, dan al-Baihaqi.
Kedua, Shaum al-‘Asyru
عَنْ حَفْصَةَ قَالَتْ: أَرْبَعٌ لَمْ يَكُنْ يَدَعُهُنَّ رَسُولُ اللهِ ﷺ صِيَامَ عَاشُورَاءَ وَالعَشْرَ وَثَلاَثَةَ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ وَالرَّكْعَتَيْنِ قَبْلَ اْلغَدَاةِ
Dari Hafshah, ia berkata, “Empat perkara yang tidak pernah ditinggalkan oleh Rasulullah saw.: shaum Asyura, shaum Arafah, shaum tiga hari setiap bulan dan dua rakaat qabla subuh.” HR. Ahmad, an-Nasai, Ibnu Hiban, dan Ath-Thabrani.
Kata al-Asyru pada hadis di atas maksudnya menunjuk tanggal 9 Dzulhijjah (Tis’a Dzilhijjah). Penyebutan al-Asyr untuk menunjuk tanggal 9 Dzulhijjah merupakan kiasan (majaaz). Adapun penamaan shaum tanggal 9 Dzulhijjah dengan al-‘Asyru, karena hari pelaksanaan shaum tersebut termasuk di antara 10 hari pertama bulan Dzulhijjah (Ayyaam al-‘Asyr) yang agung.
Berbagai keterangan di atas menunjukkan bahwa Penamaan Shaum itu dengan yaum Arafah, Tis’a Dzilhijjah, dan al-Asyru menunjukkan bahwa pelaksanaan shaum tersebut terikat oleh miqat zamani (tanggal 9 Dzulhijjah)
Penamaan shaum Arafah bukan karena fi’lun (wukuf dalam ibadah haji). Dengan perkataan lain, fi’lun (wukuf dalam ibadah haji) bukan muqaddamah wujud disyariatkannya shaum Arafah. Karena itu, penamaan tersebut tidak dapat dijadikan dalil bahwa waktu shaum itu harus bersamaan dengan pelaksanaan wukuf di Arafah.
Puasa Arafah itu Mengikuti Wuquf atau Tanggal 9 Dzulhijjah?
Dalam hal ini para ulama juga sudah berbeda pendapat, masing-masing datang dengan dalil-dalilnya.
A. Kelompok yang berpendapat bahwa hari Arafah adalah hari yang bertepatan dengan momentum dimana para jamaah haji sedang wuquf di Arafah.
Di antara ulama kontemporer yang berpedoman pada pendapat ini adalah Dewan Fatwa lajnah Daimah untuk kerajaan Saudi Arabia . Seperti yang tertera dalam pertanyaan yang masuk dalam fatwa mereka sebagaimana berikut :
س1: هل نستطيع أن نصوم هنا يومين لأجل صوم يوم عرفة؛ لأننا هنا نسمع في الراديو أن يوم عرفة غدا يوافق ذلك عندنا الثامن من شهر ذي الحجة؟
ج1: يوم عرفة هو اليوم الذي يقف الناس فيه بعرفة ، وصومه مشروع لغير من تلبس بالحج، فإذا أردت أن تصوم فإنك تصوم هذا اليوم، وإن صمت يوما قبله فلا بأس
Tanya: “Bolehkah kami melakukan puasa di sini, di luar Arab Saudi selama 2 hari untuk hari Arafah, karena kami di sini mendengar di radio bahwa hari Arafah adalah besok yang bertepatan dengan tanggal 8 Dzulhijjah menurut pemerintah kami?”
Jawab: “Hari Arafah adalah hari yang mana manusia melakukan wukuf di Arafah . Puasa hari Arafah disyariatkan bagi orang yang tidak sedang sibuk dengan ibadah haji. Kalau Anda mau berpuasa, maka Anda berpuasa pada hari ini. Kalau Anda berpuasa sehari sebelumnya, maka tidak apa-apa.
Dalil:
Secara umum dalil yang mereka pakai adalah berikut:
عن عبدالعزيز بن عبدالله بن خالد بن أَسِيْد، أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: «يوم عرفة اليوم الذي يعرف فيه الناس»
Dari abdul Aziz bin Abdillah bin khalid bin asid, bahwa Nabi SAW bersabda: hari arafah adalah hari dimana manusia berkumpul di arafah (HR Abu Daud)
عن عائشة رضي الله عنها، قالت: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: «عرفة يوم يعرف الإمام، والأضحى يوم يضحي الإمام، والفطر يوم يفطر الإمام»
Dari Aisyah RA berkata: Rasulullah SAW bersabda: arafah adalah hari dimana imam (pemerintah) melakukan wukuf, dan Idul adha adalah hari dimana imam menyembelih qurban, dan fitr adalah hari dimana imam mulai makan (tidak lagi berpuasa) (HR Baihaqi)
Melalui hadist tersebut di atas, diambil kesimpulan hukumnya oleh para ulama yang meyakini bahwa hari arafah itu adalah hari dimana orang-orang sedang wukuf, dan hari puasa itu adalah hari dimana orang-orang secara mayoritas sedang berpuasa.
Bantahan : pendapat tersebut dibantah dalam kitab syarh sunan Syafi’iy oleh imam Ar Rafi’iy bahwa yang dimaksud dengan “puasanya orang-orang” dalam redaksi hadist tersebut adalah orang-orang di masing-masing negara. Dan maksud dari “arafah adalah di saat orang-orang wukuf” maksudnya adalah jika segolongan orang wukuf tidak bersamaan dengan orang-orang pada umumnya di arafah maka dipandang keliru dan mereka tidak dilazimkan mengqadha’nya .
Dalil selanjutnya yang dipakai kelompok pertama ini juga adalah “Ijma para ulama sedunia” yang menganggap bahwa keberangkatan haji disesuaikan dengan kalender Saudi Arabia yang telah menentukan tanggal pelaksanaan wukuf di Arafah.
Bantahan : Sebenarnya jika menggunakan dalil Ijma’ juga bisa terbantahkan, bahwa dalam pandangan ulama ushul, Ijma’ atas perkara yang sudah lebih dahulu terjadi ikhtilaf di dalamnya maka tidak bisa diterima sebagai sebuah kesepakatan hukum menurut ulama ushul fiqih .
ولا يصح الإجماع مع وجود الخلاف منها
Tidak dibenarkan Ijma’ dengan adanya perselisihan di dalam perkaranya.
B. Kelompok yang meyakini bahwa hari Arafah lebih berindikasi kepada tanggal 9 Dzulhijjah
Di antara para ulama kontemporer yang ada pada pendapat kedua ini adalah Syekh Utsaimin yang juga tak lain adalah sebagai mufti kerajaan Saudi, yang menyatakan bahwa hal ini tergantung kepada mathla’ setiap negara :
وبناء على هذا صوموا وأفطروا كما يصوم ويفطر أهل البلد الذي أنتم فيه سواء وافق بلدكم الأصلي أو خالفه، وكذلك يوم عرفة اتبعوا البلد الذي أنتم فيه.
“Atas dasar demikian, maka berpuasalah kalian dan berbukalah sebagaimana puasa dan berbukanya penduduk negeri yang kalian tempati. Baik itu sesuai negeri kalian yang asli ataukah menyelisihinya. Demikian pula hari Arafah, maka ikutilah negeri yang kalian tempati .”
Dalil:
Adapun dalil yang dipakai oleh kelompok kedua ini adalah berikut:
عَنْ بَعْضِ أَزْوَاجِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- قَالَتْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَصُومُ تِسْعَ ذِى الْحِجَّةِ وَيَوْمَ عَاشُورَاءَ وَثَلاَثَةَ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ أَوَّلَ اثْنَيْنِ مِنَ الشَّهْرِ وَالْخَمِيسَ
Dari istri-istri Nabi berkata: Bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berpuasa pada sembilan Dzulhijah, pada hari ‘Asyura’ (10 Muharram), berpuasa tiga hari setiap bulannya , serta senin dan kamis pada setiap bulan. (HR. Abu Daud & nasai)
Hadist tersebut di atas dianggap merupakan hadist yang lemah menurut Az Zaila’I, tapi dianggap Shahih oleh As Suyuthi bahkan oleh Al Albani.
Rasulullah "Terbiasa" melaksanakan Puasa Arafah Pada 9 Dzulhijjah, Sementara Beliau SAW Baru Berhaji Pada Tahun ke 10 H dan Wafat di 11 H
Selanjutnya dari hadist di atas juga difahami bahwa Rasulullah “Terbiasa” berpuasa arafah, makna terbiasa menunjukan bahwa puasa arafah telah dilakukan nabi berkali-kali, sementara jika arafah diidentikkan dengan wukuf sangatlah tidak tepat, karena dalam sejarah, nabi hanya melakukan haji sekali saja dalam hidupnya, dan beberapa bulan setelah haji, kemudian nabi SAW wafat. Artinya, bisa jadi jauh sebelum nabi berangkat haji, telah membiasakan puasa arafah di tanggal 9 dzulhijjah.
Pernyataan di atas diperkuat oleh hadist dari Dari Ummul Fadhil bintil Harits RA
أَنَّ نَاسًا تَمَارَوْا عِنْدَهَا يَوْمَ عَرَفَةَ فِي صَوْمِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ بَعْضُهُمْ هُوَ صَائِمٌ وَقَالَ بَعْضُهُمْ لَيْسَ بِصَائِمٍ فَأَرْسَلَتْ إِلَيْهِ بِقَدَحِ لَبَنٍ وَهُوَ وَاقِفٌ عَلَى بَعِيرِهِ فَشَرِبَهُ
Bahwa manusia berselisih tentang hari Arafah pada puasa Nabi SAW. Sebagian mereka berkata: “Beliau berpuasa.” Sebagian lain berkata: “Beliau tidak berpuasa.” Maka Ummul Fadhel mengirimkan segelas susu kepada beliau dalam keadaan beliau berada di atas unta beliau. Maka beliau meminumnya.” (HR. Al-Bukhari & Muslim).
Al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani rahimahullah berkomentar tentang hadits di atas:
قوله في صوم النبي صلى الله عليه و سلم هذا يشعر بأن صوم يوم عرفة كان معروفا عندهم معتادا لهم في الحضر
Lafadz "mereka berselisih tentang puasa Nabi SAW” Ini memberikan pemahaman bahwa puasa hari Arafah itu sudah dikenal di kalangan mereka, dan juga dibiasakan oleh mereka ketika hadir di rumah.” (Fathul Bari: 4/237).
Yang menjadi penguat bahwa arafah adalah bermakna tanggal 9 Dzulhijjah dan bukan makna wukuf yakni tatkala kita membuka definisi dan merujuk kepada pendapat para ulama salaf tentang makna arafah sebagaimana berikut:
Ibnu Qudamah:
فأما يوم عرفة: فهو اليوم التاسع من ذي الحجة
sedangkan hari arafah adalah hari kesembilan dari Dzulhijjah
Syaikhul Islam Zakariya Al Anshari
سن صوم يوم عرفة، وهو تاسع ذي الحجة
disunnahkan puasa hari arafah, yakni hari ke sembilan Dzulhijjah .
Badruddin al-Ayni menyatakan:
وأما عرفة فإنها تطلق على الزمان وهو التاسع من ذي الحجة وعلى المكان وهو الموضع المعروف الذي يقف فيه الحجاج يوم عرفة
“Adapun Arafah, maka ia dikatakan untuk menamai waktu, yaitu tanggal 9 Dzulhijjah, dan juga bisa dikatakan untuk menamai tempat, yaitu tempat yang dikenal yang mana jamaah haji melakukan wukuf pada hari Arafah di tempat itu. ”
Al-Hafizh Ibnu Hajar Al Asqallani :
لستة أيام متوالية من أيام ذي الحجة أسماء الثامن يوم التروية والتاسع عرفة والعاشر النحر والحادي عشر القر والثاني عشر النفر الأول والثالث عشر النفر الثاني
“Ada 6 hari berturut-turut di bulan Dzulhijjah yang mempunyai nama khusus. Tanggal 8 Dzulhijjah adalah hari Tarwiyah. Tanggal 9 adalah hari Arafah. Tanggal 10 adalah hari Nahr. Tanggal 11 adalah hari Qarr. Tanggal 12 hari Nafar Awal dan tanggal 13 adalah hari Nafar kedua.”
Imam Nawawi dalam Mengomentari Hadist pendukung pendapat pertama:
قَال أَصْحَابُنَا: وَليْسَ يَوْمُ الفِطْرِ أَوَّل شَوَّالٍ مُطْلقًا وَإِنَّمَا هُوَ اليَوْمُ الذِي يُفْطِرُ فِيهِ النَّاسُ بِدَليل الحَدِيثِ السَّابِقِ، وَكَذَلكَ يَوْمَ النَّحْرِ، وَكَذَا يَوْمَ عَرَفَةَ هُوَ اليَوْمُ الذِي يَظْهَرُ للنَّاسِ أَنَّهُ يَوْمَ عَرَفَةَ، سَوَاءٌ كَانَ التَّاسِعَ أَوْ العَاشِرَ
“Telah berkata sahabat kami (Syafiiyah): Tidaklah hari berbuka itu bermakna hari pertama bulan Syawal secara muthlaq. Ia adalah hari dimana orang-orang berbuka padanya dengan dalil hadits sebelumnya (yaitu : ‘Berbuka kalian di hari kalian berbuka’). Begitu pula dengan hari penyembelihan . Begitu pula dengan hari ‘Arafah, ia adalah hari yang nampak bagi orang-orang bahwasannya hari itu adalah hari ‘Arafah. Sama saja apakah itu hari kesembilan atau hari kesepuluh bagi tempat lain .
Hilal harus satu atau boleh berbeda?
Permasalahan seputar Hilal rasanya sudah sangat sering dibahas, bila dipetakan, tentu juga kita akan menemukan dua kelompok besar:
1. Wihdatul mathla’ : kelompok yang meyakini bahwa hilal itu satu dan global, dimana bila satu negara telah melihat hilal, maka wajib bagi seluruh penduduk dunia ikut ru’yahnya.
Ini merupakan pendapat ulama Malikiyah, pendapat Laits bin Sa’ad, pendapat sebagian ulama Syafi’iyyah, pendapat Abu Hanifah dan pendapat Imam Ahmad. Ibnu Qudamah dalam kitab Al Mughni (IV/328) mengatakan: “Apabila hilal telah terlihat oleh penduduk satu negeri, maka seluruh negeri lainnya wajib berpuasa. Ini adalah pendapat Al-Laits dan sebagian rekan Asy Syafi’i.”
Mereka berdalil dengan sabda Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam :
a. Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ
“Berpuasalah karena melihat hilal dan berbukalah (berhari rayalah) karena melihatnya“. [Hadits riwayat Al Bukhaari dan Muslim, dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu].
b. Juga berdalil dengan hadits Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
صَوْمُكُمْ يَوْمَ تَصُومُونَ وَفِطْرُكُمْ يَوْمَ تُفْطِرُونَ وَأَضْحَاكُمْ يَوْمَ تُضَحُّونَ
“Hari berpuasa adalah hari kaum muslimin berpuasa. Hari ‘Idul Fithri adalah hari kaum muslimin merayakannya. Dan hari ‘Idul Adha adalah hari kaum muslimin menyembelih kurban“.
2. Ikhtilaful mathali’ : kelompok yang meyakini bahwa hilal bisa berbeda di setiap wilayah sebagaimana disebutkan dalam hadist kuraib:
عنْ كُرَيْبٍ أَنَّ أُمَّ الْفَضْلِ بِنْتَ الْحَارِثِ بَعَثَتْهُ إلَى مُعَاوِيَةَ بِالشَّامِ فَقَالَ: فَقَدِمْتُ الشَّامَ فَقَضَيْتُ حَاجَتَهَا وَاسْتُهِلَّ عَلَيَّ رَمَضَانُ وَأَنَا بِالشَّامِ فَرَأَيْتُ الْهِلالَ لَيْلَةَ الْجُمُعَةِ ثُمَّ قَدِمْتُ الْمَدِينَةَ فِي آخِرِ الشَّهْرِ فَسَأَلَنِي عَبْدُ اللهِ بْنُ عَبَّاسٍ ، ثُمَّ ذَكَرَ الْهِلالَ فَقَالَ: مَتَى رَأَيْتُمْ الْهِلالَ ؟ فَقُلْتُ : رَأَيْنَاهُ لَيْلَةَ الْجُمُعَةِ ، فَقَالَ : أَنْتَ رَأَيْتَهُ ؟ فَقُلْتُ: نَعَمْ ، وَرَآهُ النَّاسُ وَصَامُوا وَصَامَ مُعَاوِيَةُ ، فَقَالَ: لَكِنَّا رَأَيْنَاهُ لَيْلَةَ السَّبْتِ فَلا نَزَالُ نَصُومُ حَتَّى نُكْمِلَ ثَلاثِينَ أَوْ نَرَاهُ ، فَقُلْتُ : أَلا تَكْتَفِي بِرُؤْيَةِ مُعَاوِيَةَ وَصِيَامِهِ ؟ فَقَالَ: لا ، هَكَذَا أَمَرَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ.
Dari Kuraib: “Sesungguhnya Ummu Fadl binti al-Harits telah mengutusnya menemui Mu’awiyah di Syam. Berkata Kuraib:” Lalu aku datang ke Syam, terus aku selesaikan semua keperluannya. Dan tampaklah olehku (bulan) Ramadlan, sedang aku masih di Syam, dan aku melihat hilal (Ramadlan) pada malam Jum’at. Kemudian aku datang ke Madinah pada akhir bulan (Ramadlan), lalu Abdullah bin Abbas bertanya ke padaku (tentang beberapa hal), kemudian ia menyebutkan tentang hilal, lalu ia bertanya; “Kapan kamu melihat hilal (Ramadlan)?” Jawabku : “Kami melihatnya pada malam Jum’at”.Ia bertanya lagi : “Engkau melihatnya (sendiri) ?” Jawabku: “Ya! Dan orang banyak juga melihatnya, lalu mereka puasa dan Mu’awiyah Puasa”. Ia berkata: “Tetapi kami melihatnya pada malam Sabtu, maka senantiasa kami berpuasa sampai kami sempurnakan tiga puluh hari, atau sampai kami melihat hilal (bulan Syawal) “. Aku bertanya: “Apakah tidak cukup bagimu ru’yah (penglihatan) dan puasanya Mu’awiyah?” Jawabnya : “Tidak! Begitulah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, telah memerintahkan kepada kami (HR Muslim)
Pendapat Ibnu Abidin Tentang Perbedaan Qurban karena Berbeda Mathla’
يُفْهَمُ مِنْ كَلَامِهِمْ فِي كِتَابِ الْحَجِّ أَنَّ اخْتِلَافَ الْمَطَالِعِ فِيهِ مُعْتَبَرٌ فَلَا يَلْزَمُهُمْ شَيْءٌ لَوْ ظَهَرَ أَنَّهُ رُئِيَ فِي بَلْدَةٍ أُخْرَى قَبْلَهُمْ بِيَوْمٍ وَهَلْ يُقَالُ كَذَلِكَ فِي حَقِّ الْأُضْحِيَّةِ لِغَيْرِ الْحُجَّاجِ؟ لَمْ أَرَهُ وَالظَّاهِرُ نَعَمْ؛ لِأَنَّ اخْتِلَافَ الْمَطَالِعِ إنَّمَا لَمْ يُعْتَبَرْ فِي الصَّوْمِ لِتَعَلُّقِهِ بِمُطْلَقِ الرُّؤْيَةِ، وَهَذَا بِخِلَافِ الْأُضْحِيَّةِ فَالظَّاهِرُ أَنَّهَا كَأَوْقَاتِ الصَّلَوَاتِ يَلْزَمُ كُلَّ قَوْمٍ الْعَمَلُ بِمَا عِنْدَهُمْ فَتُجْزِئُ الْأُضْحِيَّةُ فِي الْيَوْمِ الثَّالِثَ عَشَرَ وَإِنْ كَانَ عَلَى رُؤْيَا غَيْرِهِمْ هُوَ الرَّابِعَ عَشَرَ وَاَللَّهُ أَعْلَمُ
Difahami dari perkataan mereka dalam kitab Haji bahwa perbedaan mathla’ dianggap sebagai faktor yang diterima, maka tidak diwajibkan konsekuensi apapun bagi mereka jika negara lain melihat hilal sehari sebelum hari di Mekkah. Dan apakah bisa dianggap hal serupa untuk kasus udhiyyah bagi selain yang berhaji? Aku kira demikian secara dhahir. Karena perbedaan mathla’ tidak dianggap dalam puasa kecuali karena keterkaitannya dengan ru’yah. Dan ini tak berbeda dengan udhiyyah, dan yang jelas bahwasanya hal tersebut sama seperti waktu shalat, dimana diwajibkan bagi setiap kaum melakukannya sesuai waktu yang berlaku di tempatnya, maka boleh berkurban di hari ke tiga belas sekalipun dalam ru’yah negara lain adalah hari ke empat belas. Wallahu a’lam .
Melihat dua madzhab besar dalam mathla’ sekiranya bisa sedikit ditarik kesimpulan bahwa pendukung pendapat yang menyatakan bahwa hari arafah adalah hari wukuf adalah mereka yang juga mendukung wihdatul mathla’ atau ru’yah global. Sementara pendukung bahwa arafah adalah sembilan Dzulhijjah adalah mereka yang meyakini ikhtilaful mathali’ alias ru’yah lokal yang berbeda-beda.
Namun ada pula pendapat ketiga yaitu
3. Hampir sama dengan pendapat yang kedua, yaitu negeri yang jaraknya berjauhan harus melihat hilal di tempat masing-masing, tidak untuk negeri yang berdekatan.
Ibnu Qudamah dalam kitab Al Mughni (IV/328) mengatakan: “Sebagian ulama mengatakan, kalau kedua negeri itu jaraknya berdekatan, maka mathla’ hilalnya tidak ada perbedaan (satu mathla’), seperti kota Baghdad dan Bashrah. Penduduk dua kota ini, wajib berpuasa bila hilal telah terlihat di salah satu dari kedua kota tersebut. Jika jarak kedua negeri itu berjauhan, seperti: Iraq, Hijaz dan Syam, maka setiap negeri melihat hilalnya masing-masing”. Diriwayatkan dari Ikrimah, bahwa beliau berkata: “Setiap penduduk negeri wajib melihat hilalnya masing-masing.” Ini merupakan Madzhab Al-Qasim, Salim dan Ishaq. Diantara para ulama mutaakhirin yang berpendapat seperti ini adalah Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin.[2]
Akan tetapi mereka berselisih pendapat dalam menetapkan jarak jauh dekatnya. Ada yang mengaitkannya dengan jarak bolehnya mengqashar shalat. Ada yang mengatakan apabila berita terlihatnya hilal dapat sampai ke tempat tersebut pada malam itu juga. Dan pendapat lainnya.
Dalil mereka adalah hadits Kuraib yang diutus oleh Ummul Fadhl binti Al Harits untuk menemui Mu’awiyah Radhiyallahu ‘anhu. Dia berkata:
أَنَّ أُمَّ الْفَضْلِ بَعَثَتْهُ إلَى مُعَاوِيَةَ بِالشَّامِ فَقَالَ : فَقَدِمْتُ الشَّامَ فَقَضَيْتُ حَاجَتَهَا وَاسْتُهِلَّ عَلَيَّ رَمَضَانُ وَأَنَا بِالشَّامِ فَرَأَيْتُ الْهِلَالَ لَيْلَةَ الْجُمُعَةِ ثُمَّ قَدِمْتُ الْمَدِينَةَ فِي آخِرِ الشَّهْرِ فَسَأَلَنِي عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عَبَّاسٍ ، ثُمَّ ذَكَرَ الْهِلَالَ فَقَالَ : مَتَى رَأَيْتُمْ الْهِلَالَ ؟ فَقُلْتُ : رَأَيْنَاهُ لَيْلَةَ الْجُمُعَةِ ، فَقَالَ : أَنْتَ رَأَيْتَهُ ؟ فَقُلْتُ : نَعَمْ ، وَرَآهُ النَّاسُ وَصَامُوا وَصَامَ مُعَاوِيَةُ ، فَقَالَ : لَكِنَّا رَأَيْنَاهُ لَيْلَةَ السَّبْتِ فَلَا نَزَالُ نَصُومُ حَتَّى نُكْمِلَ ثَلَاثِينَ أَوْ نَرَاهُ ، فَقُلْتُ : أَلَا تَكْتَفِي بِرُؤْيَةِ مُعَاوِيَةَ وَصِيَامِهِ ؟ فَقَالَ : لَا ، هَكَذَا أَمَرَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Aku tiba di Syam, dan aku laksanakan perintah Ummul Fadhl. Bertepatan munculnya hilal bulan Ramadhan, ketika aku berada di Syam. Aku melihat hilal pada malam Jum’at. Kemudian aku pulang ke Madinah di akhir bulan Ramadhan. Abdullah bin Abbas Radhiyallahu anhuma bertanya kepadaku, ia menyebut tentang hilal. Dia bertanya,”Bilakah kalian melihat hilal?” Aku menjawab,”Kami melihatnya pada malam Jum’at!” Tanya beliau lagi,”Apakah engkau menyaksikannya?” Jawabku,”Ya. Orang-orang juga melihatnya. Mereka berpuasa dan Mu’awiyah turut berpuasa!” Abdullah bin Abbas berkata,”Akan tetapi kami melihatnya pada malam Sabtu. Kami akan terus berpuasa hingga kami menyempurnakannya tiga puluh hari, atau kami melihat hilal Syawal.” Aku berkata,”Tidak cukupkah kita mengikuti ru’yat hilal Mu’awiyah dan puasanya?” Abdullah bin Abbas menjawab,”Tidak! Begitulah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kami.” [Hadits riwayat Muslim, At Tirmidzi dan Ahmad. At Tirmidzi berkata,”Hadits hasan shahih gharib.”]
Melihat ketiga pendapat di atas yang berbeda-beda, muncul sebuah pendapat bahwa untuk menghindari adanya perbedaan di kalangan kaum muslimin maka kaum muslimin wajib mengikuti penetapan dari pemerintah negeri mereka masing-masing. Jika pemerintah telah mengumumkan berpuasa, maka wajib bagi mereka untuk berpuasa.
Dalil mereka adalah hadits Abu Hurairah yang kami sebutkan di atas, yaitu :
صَوْمُكُمْ يَوْمَ تَصُومُونَ وَفِطْرُكُمْ يَوْمَ تُفْطِرُونَ وَأَضْحَاكُمْ يَوْمَ تُضَحُّونَ
“Hari berpuasa adalah hari kaum muslimin berpuasa. Hari ‘Idul Fithri adalah hari kaum muslimin merayakannya. Dan hari ‘Idul Adha adalah hari kaum muslimin menyembelih kurban“.
Dari keempat pendapat tersebut, yang terpilih adalah pendapat pertama. Yaitu, jika hilal telah terlihat di satu negeri, maka wajib bagi seluruh kaum muslimin yang bermukim negeri lain untuk berpuasa. Pendapat inilah yang dipilih oleh mayoritas ulama dahulu dan sekarang, seperti Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah[3], Asy Syaukani[4], Syaikh Al Albani[5] dan ulama lainnya. Inilah pendapat yang paling selaras dengan dalil-dalil yang ada, sebagaimana yang telah kami sebutkan di depan, diantaranya hadits:
صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ غُبِّيَ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلَاثِينَ
“Berpuasalah karena melihat hilal dan berbukalah (berhari rayalah) karena melihatnya. Jika terhalang olehmu, maka genapkanlah bilangan bulan Sya’ban tiga puluh hari.
Dan hadits:
صَوْمُكُمْ يَوْمَ تَصُومُونَ وَفِطْرُكُمْ يَوْمَ تُفْطِرُونَ وَأَضْحَاكُمْ يَوْمَ تُضَحُّونَ
“Hari berpuasa adalah hari kaum muslimin berpuasa. Hari ‘Idul Fithri adalah hari kaum muslimin merayakannya. Dan hari ‘Idul Adha adalah hari kaum muslimin menyembelih kurban“.
Dan pendapat ini, juga selaras dengan kaidah umum syari’at yang menganjurkan kaum muslimin agar bersatu dan tidak berpecah-belah.
Penutup
Sebagai sebuah penutup dan kesimpulan, ini adalah sebuah bagian dari ikhtilaf dalam ranah fiqhiyyah yang sekiranya setiap orang harus mampu legowo dengan pilihan orang lain yang bisa saja berbeda. Sebagaimana penulis yang memiliki kecondongan bahwa pendapat para ulama terkait Arafah adalah hari ke sembilan dari bulan Dzulhijjah dan tidak harus berpatokan kepada hari dimana orang-orang sedang wukuf adalah lebih rajih dibanding pendapat yang lain. Wallahu a’lam bishowab
Referensi: tulisan ini diramu dari berbagai sumber seperti disini, disini, disini, disini, disini
Pembahasan tentang Rukyat Hilal Global lihat disini, disini, disini,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.