Berkaitan dengan bagaimana hukum mengambil upah dari dakwah, ulama terbagi dalam beberapa pandangan. Dalam hal ini, ulama terpecah menjadi beberapa kelompok padangan:
1. Ulama-ulama klasik dari kalangan madzhab Hanafi berpendapat bahwa mengambil upah dari murid atas pengajaran Al-Quran dan ilmu lainnya tidak diperbolehkan.
Dan ini juga menjadi pendapat yang masyhur di kalangan Hanabilah.
2. Madzhab Maliki berpendapat bahwa boleh mengambil upah atas pengajaran Al-Quran. Akan tetapi untuk ilmu lain, upah yang diambil dari situ hukumnya makruh.
3. Madzhab Syafi’i membolehkan mengambil upah untuk pengajaran Al-Qur’an. Tapi untuk ilmu lain, madzhab ini tidak membolehkan kecuali memang jika si pengajar sudah ditentukan dan materinya yang akan diajarkan juga sudah ditetapkan sebelumnya.
4. Madzhab Zohiri berpandangan bahwa boleh mengambil upah atas pengajaran Al-Quran dan juga ilmu lainnya.
Pendapat ini juga dipegang oleh ulama komtemporer dari kalangan madzhab Hanafi[7], dan juga salah satu riwayat Imam Ahmad bin Hanbal dari Abu Al-Khatthab Al-Hanbali.
Kita akan coba bahas dua perbedaan pandangan antara dua kelompok tersebut.
Pertama, adalah kelompok yang mengharamkan mengambil upah dari dakwah. Kelompok ini berpegang kepada dalil-dalil berikut:
1. Sabda Nabi shallallahu alaih wa sallam yang dirwayat Imam Ahmad dalam Musnadnya bahwa beliau shallahu alaih wa sallam melarang mengambil upah dari Al-Qur’an:
اقْرَءُوا الْقُرْآنَ وَلَا تَأْكُلُوا بِهِ وَلَا تَسْتَكْثِرُوا بِهِ
“Bacalah Al-Quran dan janganlah kalian makan dari itu, dan jangan juga kalian memperbanyak kekayaaan dari itu,…..” (HR Imam Ahmad dan Imam Al-Baihaqi dalam Syuabul-Iman)
2. Dalam sunan Ibnu Majah, beliau meriwayatkan:
عَنْ أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ قَالَ عَلَّمْتُ رَجُلًا الْقُرْآنَ فَأَهْدَى إِلَيَّ قَوْسًا فَذَكَرْتُ ذَلِكَ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ إِنْ أَخَذْتَهَا أَخَذْتَ قَوْسًا مِنْ نَارٍ فَرَدَدْتُهَا
Sahabat Ubai bin Kaab pernah berkata: “Aku pernah mengajarkan Quran kepada seseorang, kemudian aku diberikan sebuah busur (panah). Lalu aku kabarkan kepada Nabi Muhammad shallallahu alaih wa sallam, lalu beliau berkata: ‘jika kau mengambilnya, itu berarti kau telah mengambil sebuah busur dari neraka’, lalu aku kembalikan busur itu” (HR. Ibnu Majah)
Allah Azza wa Jalla berfirman:
قُلْ مَآأَسْئَلُكُمْ عَلَيْهِ مِنْ أَجْرٍ وَمَآأَنَا مِنَ الْمُتَكَلِّفِينَ {86} إِنْ هُوَ إِلاَّ ذِكْرٌ لِلْعَالَمِينَ وَلَتَعْلَمُنَّ نَبَأَهُ بَعْدَ حِينٍ
Katakanlah (hai Muhammad): “Aku tidak meminta upah sedikitpun kepadamu atas dakwahku, dan bukanlah aku termasuk orang-orang yang mengada-adakan. Al Qur`an ini tidak lain hanyalah peringatan bagi semesta alam. Dan sesungguhnya kamu akan mengetahui (kebenaran) berita Al Qur`an setelah beberapa waktu lagi”. [Shad/38:86-88]
Sufyan Ats Tsauri berkata dari Al A’masy dan Manshur, dari Abudh Dhuha, bahwa Masruq bekata: Kami mendatangi Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu anhu. Lalu dia berkata: “Wahai sekalian manusia, barangsiapa mengetahui sesuatu, maka hendaklah ia mengatakannya. Dan barangsiapa tidak mengetahuinya, maka katakanlah Allahu a’lam (Allah lebih mengetahui). Karena sesungguhnya termasuk bagian dari sebuah ilmu, bahwa seseorang mengatakan ‘Allahu a’lam (Allah lebih mengetahui)’ apa yang diketahuinya”. Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman kepada nabi kalian
قُلْ مَآأَسْئَلُكُمْ عَلَيْهِ مِنْ أَجْرٍ وَمَآأَنَا مِنَ الْمُتَكَلِّفِينَ
(Katakanlah (hai Muhammad): “Aku tidak meminta upah sedikitpun kepadamu atas dakwahku, dan bukanlah aku termasuk orang-orang yang mengada-adakan)”. [HR Al Bukhari, no. 4809, Tafsir Ibnu Katsir IV/ 47].
Dari Abu Darda’ Radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
7- مَنْ أَخَذَ عَلىَ تَعْلِيْمِ القُرْانِ قَوْسًا. قَلَّدَهُ اللهُ قَوْسًا مِنْ نَارٍ يَوْمَ الْقِيَامَةِ.
“Barangsiapa mengambil sebuah busur sebagai upah dari mengajarkan Al Qur`an, niscaya Allah akan mengalungkan kepadanya busur dari api neraka pada hari Kiamat”. [Hasan lighairihi, diriwayatkan oleh Ibnu ‘Asakir dalam kitab Tarikh Dimasyq (II/427), Al Baihaqi dalam Sunan-nya (VI/126) dari jalur Utsman bin Sa’id Ad Darimi, dari Abdurrahman bin Yahya bin Isma’il bin Ubaidillah, dari Al Walid bin Muslim, dari Sa’id bin Abdul ‘Aziz, dari Ismail bin Ubaidillah, dari Ummu Darda’ Radhiyallahu ‘anha]
Catatan hadits ini: Kemudian Al Baihaqi meriwayatkan dari Utsman bin Sa’id Ad Darimi, dari Duhaim, ia (Al Baihaqi) berkata: “Hadits Abu Darda’, dari Rasulullah yang berbunyi ‘Barangsiapa yang mengambil sebuah busur sebagai upah dari mengajarkan Al Qur`an’ tidak ada asalnya”.
Namun perkataan Al Baihaqi itu dibantah oleh Ibnu At Turkimani sebagai berikut: “Imam Al Baihaqi telah meriwayatkannya dengan sanad yang shahih. Saya kurang mengerti, mengapa ia mendhaifkannya dan mengatakan tidak ada asalnya!?”
Al Hafizh Ibnu Hajar mengatakan: “Diriwayatkan oleh Ad Darimi dengan sanad yang sesuai syarat Muslim, akan tetapi gurunya, yakni Abdurrahman bin Yahya bin Ismail, tidak dipakai oleh Imam Muslim. Abu Hatim telah berkomentar tentangnya ’Tidak ada masalah dengannya’.”
Dalam sanadnya terdapat dua cacat. Pertama, Sa’id bin ‘Abdul ‘Aziz rusak hafalannya di akhir usianya. Saya belum dapat memastikan, apakah ia mendengar hadits ini setelah hafalannya rusak atau sebelumnya. Kedua , Al Walid bin Muslim adalah seorang mudallis tadlis taswiyah (bentuk tadlis yang paling buruk). Dia belum menyatakan penyimakannya dalam seluruh tingkatan sanad tersebut. Akan tetapi hadits berikut dapat menguatkannya. Lihat Silsilah Ahadits Ash Shahihah, no. 256 dan Mausu’ah Al Manahi Asy Syar’iyyah, I/212.
Diriwayatkan dari ‘Ubadah bin Ash Shamit Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: “Aku mengajarkan Al Qur`an dan menulis kepada ahli Shuffah. Lalu salah seoarang dari mereka menghadiahkan sebuah busur kepadaku. Kata hatiku, busur ini bukanlah harta, toh dapat kugunakan untuk berperang fi sabilillah. Aku akan mendatangi Rasulullah dan menanyakan kepada Beliau. Lalu aku pun menemui Beliau dan berkata: “Wahai Rasulullah, seorang lelaki yang telah kuajari menulis dan membaca Al Qur`an telah menghadiahkan sebuah busur kepadaku. Busur itu bukanlah harta berharga dan dapat kugunakan untuk berperang fi sabilillah”. Rasulullah bersabda:
8- إِنْ كُنْتَ تُحِبُّ أَنْ تُطَوَّقَ طَوْقًا مِنْ نَارٍ فَاقْبَلْهَا.
“Jika engkau suka dikalungkan dengan kalung dari api neraka, maka terimalah! ” [Hadits shahih, diriwayatkan oleh Abu Dawud, Bab Abwabul Ijarah Fi Kasbil Muallim (3416); Ibnu Majah (2157); Ahmad (V/315 dan 324); Al Hakim (II/41, III/356); Al Baihaqi (VI/125) dan selainnya dari dua jalur].
Diriwayatkan dari Imran bin Hushain Radhiyallahu ‘anhu, bahwa ia melihat seorang qari sedang membaca Al Qur`an lalu meminta upah. Beliau mengucapkan kalimat istirja’
(إَنَّ لِلَّهِ وَ إِنَّ إِلَيْهِ رَاجِعُوْنَ ), kemudian berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
9-مَنْ قَرَأَ الْقُرْانَ فَالْيَسْأَلِ اللهَ بِهِ, فَإِنَّهُ سَيَجِيءُ أَقْوَامٌ يَقْرَءُونَ الْقُرْانَ يَسْأَلُونَ بِهِ النَّاسَ.
“Barangsiapa membaca Al Qur`an, hendaklah ia meminta pahalanya kepada Allah. Sesungguhnya akan datang beberapa kaum yang membaca Al Qur`an , lalu meminta upahnya kepada manusia“. [Hasan lighairihi, diriwayatkan oleh At Tirmidzi (2917); Ahmad (IV/432-433,436 dan 439); Al Baghawi dalam Syarhus Sunnah (1183), dari jalur Khaitsamah, dari Al Hasan, dari Imran bin Hushain Radhiyallahu ‘anhu].
Diriwayatkan dari Abu Sa’id al Khudri Radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya ia mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
10-تَعَلَّمُوْا الْقُرْانَ, وَاسْأَلُوا اللهَ بِهِ الْجَنَّةَ قَبْلَ أَنْ يَتَعَلَّمَهُ قَوْمٌ يَسْأَلُونَ يِهِ الدُّنْيَا, فَإِنَّ الْقُرْانَ يَتَعَلَّمُهُ ثَلاَثةٌ: رَجَلٌ يُبَاهِيْ بِهِ, وَرَجُلٌ يَسْتَأْكِلُ بِهِ, وَرَجُلٌ يَقْرَأُهُ للهِ.
“Pelajarilah Al Qur`an, dan mintalah surga kepada Allah sebagai balasannya. Sebelum datang satu kaum yang mempelajarinya dan meminta materi dunia sebagai imbalannya. Sesungguhnya ada tiga jenis orang yang mempelajari Al Qur`an. Orang yang mempelajarinya untuk membangga-banggakan diri dengannya, orang yang mempelajarinya untuk mencari makan, orang yang mempelajarinya karena Allah semata“. [Hadits hasan, diriwayatkan oleh Ahmad (III/38-39); Al Baghawi (1182); Al Hakim (IV/547) dan selainnya dari dua jalur. Hadits ini hasan, Insya Allah. Lihat Silsilah Ahadits Ash Shahihah, no. 258].
Diriwayatkan dari Jabir bin Abdillah Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar menemui kami. Saat itu kami sedang membaca Al Qur`an. Di antara kami terdapat orang-orang Arab dan orang-orang ‘Ajam (non Arab). Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata :
11- اِقْرَؤُوْا فَكُلٌّ حَسَنٌ, وَسَيَجِيءُ أَقْوَامٌ يُقِيمُونَهُ كَمَا تُقَامُ القِدْحُ يَتَعَجَّلُونَهُ وَلاَ يَتَأَجَّلُونَهُ.
“Bacalah Al Qur`an. Bacaan kalian semuanya bagus. Akan datang nanti beberapa kaum yang menegakkan Al Qur`an seperti menegakkan anak panah. Mereka hanya mengejar materi dunia dengannya dan tidak mengharapkan pahala akhirat“. [Hadits shahih, diriwayatkan oleh Abu Dawud (830) dan Ahmad (III/357dan 397) dari jalur Muhammad bin Al Munkadir dari Jabir. Sanadnya shahih. Lihat Shahih Sunan Abi Dawud, III/418 no. 783][5]
Diriwayatkan dari ‘Abdurrahman bin Syibl Al Anshari Radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Mu’awiyah berkata kepadanya: “Jika engkau datang ke kemahku, maka sampaikanlah hadits yang telah engkau dengar dari Rasulullah!” Kemudian ia berkata: Aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
12- اِقْرَؤُوْا الْقُرْانَ,وَلاَ تَأْكُلُوا بِهِ, وَلاَ تَسْتَكْثِرُوا يِهِ, وَلاَ تَجْفُوا عَنْهُ, وَلاتَغْلُوا فِيهِ.
“Bacalah Al Qur`an, janganlah engkau mencari makan darinya, janganlah engkau memperbanyak harta dengannya, janganlah engkau anggap remeh dan jangan pula terlalu berlebihan” [Hadits shahih, diriwayatkan oleh Ath Thahawi dalam Musykilul Atsar (4322) dan Ma’anil Atsar (III/18); Ahmad (III/428 dan 444) dan Thabrani dalam Mu’jamul Ausath (III/273 no. 2595) dari jalur Yahya bin Abi Katsir, dari Zaid bin Salam, dari Abu Sallam, dari Abu Rasyid Al Habrani, dari Abdurrahman bin Syibl Al Anshari. Sanad tersebut shahih dan perawinya tsiqah].
Kedua, Kelompok Yang Membolehkan Mengambil Upah
Ini adalah pendapat yang dianut oleh Jumhur ulama dari 4 madzhab Fiqih, termasuk di dalamnya madzhab Zohiri dan juga ulama kontemporer dari kalangan Madzhab Hanafi yang menyelisih pendapat pendahulu mereka dalam madzhabnya.
1. Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud, dari sahabat Sahl bin Sa’d Al-Sa’idiy diceritakan bahwa Nabi shallallahu alaih wa sallam pernah menikahkan salah seorang sahabat dengan mahar hapalan Quran yang ia miliki untuk diajarkan kepada istrinya.
قَدْ زَوَّجْتُكَهَا بِمَا مَعَكَ مِنْ الْقُرْآنِ
“Aku telah nikahkah kau dan dia dengan (mahar) apa yang kau hapal dari Qur’an” (HR Abu Daud)
Haditsnya jelas, kalau saja hapalan dan pengajaran Al-Quran punya nilai sehingga bisa menjadi mahar nikah, maka mengajarkannya atau apa yang dikandung di dalamnya juga punya nilai. Dan si pengajar berhak mendapat imbalan atau upah.
2. Sabda Nabi Muhammad shallallahu alaih wa sallam:
إِنَّ أَحَقَّ مَا أَخَذْتُمْ عَلَيْهِ أَجْرًا كِتَابُ اللَّهِ
“Sesungguhnya, yang paling layak untuk kalian ambil imbalan (ongkos) ialah Kitabullah” (HR Bukhori)
Hadits diatas dengan sangat jelas mengisyaratkan kebolehan mengambil upah atas pengajaran Al-Quran. Kalau dari Al-Quran saja seseorang dibolehkan mengambil imbalan atas itu, maka juga diperbolehkan mengambil imbalan dari apa yang dikandung oleh Al-Quran itu sendiri. Dan ilmu pengetahuan serta sains yang mnejadi kekayaan intelektual itu bersumber dari Al-Quran, maka sah-sah saja mengambil manfaat berupa imbalan materi dari itu.
3. Ulama bersepakat atas kebolehan mengambil jatah dari baitul-maal sebagai upah atas pengajaran Al-Qur’an, atau juga pengajaran ilmu syariah lainnya seperti hadits, tafsir, fiqih dan yang lainnya. Upah yang diambil dari baitul-maal itu sejatinya bukan pembayaran atas ilmu tersebut, melainkan sebagai bentuk tolong menolong dalam ketaatan (ibadah), dan itu tidak merubah nilai ibadah pengajaran tersebut.
Dan apa yang dilakukan oleh seorang guru atau ustadz dalam mengajar ialah sebuah ketaatan dalam beribadah. Dan imbalan yang diterima sebagai bentuk saling tolong menolong dalam beribadah dari sang pembelajar kepada pengajarnya.
4. Kebutuhan yang menuntut. Seperti halnya kebolehan ulama atas memberikan upah kepada orang yang menghajikannya karena lemah fisik sehingga tidak mungkin baginya menunaikan haji kecuali dengan menyewa orang dan memberinya imbalan. Dan tidak mungkin menemukan orang yang berkenan untuk menunaikan haji tanpa imbalan. Begitu juga ibadah yang lain, termasuk pengajaran Al-Quran atau ilmu lainnya.
5. Istihsan. Ini yang dipegang oleh para ulama kontemporer madzhab Hanafi. Mereka khawatir dengan keadaan dimana para penghafal Al-Quran dan pengajar ilmu agama semakin lama semakin berkurang dan justru menghilang. Mereka bukan lagi disibukkan dengan mengajar ilmu agama, akan tetapi mereka sibuk mencari nafkah untuk menutupi kebutuhan hidup mereka sehari-hari, karena memang mereka tidak mendapatkan upah dan imbalan atas apa yang mereka usahakan dari mengajar itu.
Khawatir akan hilangnya Quran karena tidak ada yang mengajar maupun yang diajar, juga guna membangun kembali semangat keilmuan dan membangun peradaban yang lebih baik, ulama Hanafi merubah pandangan mereka yang awalnya melarang mengambil upah menjadi membolehkan pengambilan upah dan imbalan dalam mengajar Al-Quran atau ilmu yang lain. Ini dilakukan agar tercipta keseimbangan dalam membangun umat, yang mengajar terpenuhi kebutuhannya dan umatpun mendapat manfaat atas ilmu yang diberikan oleh sang guru atau ustadz.
Perubahan fatwa dan pandangan madzhab yang mereka lakukan karena memang keadaan zaman yang berubah. Dan itu biasa dalam masalah fiqih.
Setelah menguraikan dalil-dalil mereka atas kebolehan mengambil upah untuk pengajaran Al-Quran atau juga ilmu lainnya dalam berdakwah, kelompok ini juga memberikan bantahannya atas beberapa dalil yang dipakai oleh kelompok yang melarang.
Imam Al-Syaukani mengatakan dalam kitabnya Nailul-Author, bahwa hadits Ubai bin Kaab yang melarang mengambil upah tidak bisa dijadikan hujjah karena statusnya yang dhoif / lemah. Tarlebih lagi ada hadits shohih yang menyelisihinya.
Kemudian kalaupun itu sanadnya bagus, hadits itu muhtamal (mengandung banyak kemungkinan). Mungkin saja itu adalah Waqo’i A’yan (kejadian personal yang khusus) untuk Ubai bin Kaab dan Ubadah bin Shomit (dalam riwayat lain) yang tidak bisa digeneralisir untuk orang lain. Karena maknanya yang bertentangan dengan hadits shohih itu (dalil kebolehan no. 2).
Dari urain masing-masing kelompok atas apa yang mereka pegang dalam hal kebolehan atau tidaknya mengambil upah dalam mengajarkan Al-Quran atau juga ilmu lain. Bisa ditarik kesimpulan bahwa keduanya punya tujuan mulia, yaitu memotivasi agar umat tetap dekat dengan ilmu.
Agar ilmu bisa didapat yang kemudian berbuah kemajuan peradaban serta intelektualitas umat Islam, sekelompok ulama mengharamkan pengambilan upah atas sebuah pengajaran. Karena itu sama saja dengan menahan ilmu dan menyembunyikannya sehingga orang lain sulit untuk mengaksesnya.
Akan tetapi di sisi lain ada kesejahteraan para guru dan ulama yang seakan terabaikan dengan tidak adanya imbalan yang mereka dapat. Bagaimanapun mereka juga punya keluarga yang kebutuhannya harus terpenuhi.
Kalau mereka dibiarkan begitu saja, jangan salahkan nantinya para generasi selanjutnya tidak bisa mengakses ilmu, terlebih lagi ilmu syariah karena para ulama sibuk dengan urusan dapur mereka masing-masing, bukan dengan mengajar. Dan itu disebabkan karena mereka tidak mendapatkan upah apa-apa dari ilmu yang mereka ajarkan.
Dan kejadian seperti itu bukan sekedar ispan jempol belaka. Kita sudah melihat dengan mata kepala kita sendiri bagaimana seorang ulama yang terpinggirkan dan meninggalkan aktifitasnya sebagai ulama yang mengajarkan ilmu agama karena kebutuhan yang mendesaknya untuk meninggalkan dunia keilmuan.
Masing-masing harus tahu diri dan sadar. Para penuntut ilmu yang diajar juga harus sadar bahwa guru dan ustadz mereka punya kebutuhan dunia yang harus terpenuhi. Pun sang ustadz juga sadar diri untuk tidak menjadikan dakwah layaknya bisnis property dengan ekspektasi keuntungan berlimpah jika dapat panggilan.
Jangan akhirnya malah malah melupakan niat awal dakwah, yaitu pertanggungjawaban atas ilmu yang didapat untuk diamalkan dan diajarkan kepada mereka yang tidak mengetahui. Ulama punya kewajiban mencerdaskan umat, bukan memeras umat. Baiknya sang guru atau ustadz tidak menentukan bayarannya, tapi jika diberikan tak perlu menolak.
Jangan pula memasang tariff tinggi sehingga orang yang ingin berguru menjadi antipasti akhirnya. Nabi shallallahu alaih wa sallam bersabda:
مَنْ سُئِلَ عَنْ عِلْمٍ فَكَتَمَهُ أَلْجَمَهُ اللَّهُ بِلِجَامٍ مِنْ نَارٍ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Barang siapa yang ditanya mengenai suatu ilmu lalu ia menyembunyikannya, niscaya ia akan dipecut oleh Allah swt di hari kiamat nanti dengan tali pecut dari neraka” (HR Abu Daud, Turmudzi dan Ibnu Majah)
Dan tidak ada proses penyembunyian ilmu yang paling sarkas kecuali dengan menetapkan harga dakwah setinggi langit.
TETAP PERHATIKAN KELURUSAN NIAT DALAM BERDAKWAH
Setelah membaca penjelasan di atas, ada baiknya para da'i untuk selalu memperhatikan niatnya dalam berdakwah karena inilah yang akan menjadi penentu amal dakwahnya disisi Allah.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
14- مَنْ تَعَلَّمَ عِلْمًا مِمَّا يُبْتَغَى بِهِ وَجْهُ اللهِ,لاَيَتَعَلَّمُهُ إِلاَّ لِيُصِيْبَ بِهِ عَرَضًا مِنَ الدُّنْيَالَمْ يَجِدْ عَرْفَ الْجَنَّةِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ.
“Barangsiapa menuntut ilmu, yang seharusnya ia tuntut semata-mata mencari wajah Allah Azza wa Jalla, namun ternyata ia menuntutnya semata-mata mencari keuntungan dunia, maka ia tidak akan mendapatkan aroma wanginya surga pada hari kiamat“. [Hadits shahih riwayat Abu Dawud, 3664; Ahmad, II/338; Ibnu Majah, 252; dan Hakim, I/85 dari sahabat Abu Hurairah. Hadits ini dishahihkan oleh Imam Hakim dan disetujui oleh Imam Adz Dzahabi].
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.