Zakat secara syariat, diturunkan pada periode Madaniyah, yaitu pada tahun kedua hijriyah, dekat dengan waktu disyari’atkannya puasa Ramadhan. Ketika itu kaum muslimin sudah memiliki wilayah dan daulah. Namun pelaksanaan zakat itu sendiri sudah dilaksanakan kaum muslimin ketika mereka masih tertindas yaitu ketika berada di Mekkah, sekalipun ketika itu baru terbatas pada jenis tanaman dan belum diatur nishab dan haulnya sebagaimana terinci dijelaskan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di Madinah.
Pada periode makiyah, Al Quran sangat memberikan perhatian yang sangat kuat atas berbagai masalah sosial seperti kemiskinan dan fakir miskin yang terjadi dikalangan muslimin yang tertindas di Mekkah.
Pada periode Makiyah, sekalipun kaum muslimin masih berjumlah sangat sedikit, tiap-tiap pribadi yang sangat membutuhkan harta, juga dengan kedudukan politik yang sangat lemah dan belum memiliki daulah (negara). Dengan kondisi tersebut, Alla ̅h subhaanahu wa ta‘aala mengajak kaum muslimin untuk tetap memperhatikan saudaranya sesama muslim dalam komunitas jamaah muslimin yang fuqoro dan miskin. Perhatikan ayat-ayat Makiyah berikut ini.
Alla ̅h subhaanahu wa ta‘ala menegaskan bahwa memberi makan orang miskin adalah realisasi Iman.
كُلُّ نَفْسٍ بِمَا كَسَبَتْ رَهِينَةٌ (٣٨) إِلا أَصْحَابَ الْيَمِينِ (٣٩) فِي جَنَّاتٍ يَتَسَاءَلُونَ (٤٠) عَنِ الْمُجْرِمِينَ (٤١) مَا سَلَكَكُمْ فِي سَقَرَ (٤٢) قَالُوا لَمْ نَكُ مِنَ الْمُصَلِّينَ (٤٣) وَلَمْ نَكُ نُطْعِمُ الْمِسْكِينَ (٤٤) وَكُنَّا نَخُوضُ مَعَ الْخَائِضِينَ (٤٥) وَكُنَّا نُكَذِّبُ بِيَوْمِ الدِّينِ (٤٦(
“Tiap-tiap diri bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuatnya, kecuali golongan kanan, berada di dalam syurga, mereka tanya menanya, tentang (keadaan) orang-orang yang berdosa, "Apakah yang memasukkan kamu ke dalam Saqar (neraka)?" mereka menjawab”Kami dahulu tidak Termasuk orang-orang yang mengerjakan shalat, dan Kami tidak (pula) memberi Makan orang miskin, dan adalah Kami membicarakan yang bathil, bersama dengan orang-orang yang membicarakannya, dan adalah Kami mendustakan hari pembalasan”. (Qs. Al Mudatstsir 74:38-46)
Yang termasuk dalam kategori memberi makan orang miskin pada ayat ini juga meliputi memberi pakaian, perumahan dan kebutuhan-kebutuhan pokoknya.
فَطَافَ عَلَيْهَا طَائِفٌ مِنْ رَبِّكَ وَهُمْ نَائِمُونَ (١٩) فَأَصْبَحَتْ كَالصَّرِيمِ (٢٠) فَتَنَادَوْا مُصْبِحِينَ (٢١) أَنِ اغْدُوا عَلَى حَرْثِكُمْ إِنْ كُنْتُمْ صَارِمِينَ (٢٢) فَانْطَلَقُوا وَهُمْ يَتَخَافَتُونَ (٢٣)أَنْ لا يَدْخُلَنَّهَا الْيَوْمَ عَلَيْكُمْ مِسْكِينٌ (٢٤) وَغَدَوْا عَلَى حَرْدٍ قَادِرِينَ (٢٥)فَلَمَّا رَأَوْهَا قَالُوا إِنَّا لَضَالُّونَ (٢٦)بَلْ نَحْنُ مَحْرُومُونَ (٢٧)قَالَ أَوْسَطُهُمْ أَلَمْ أَقُلْ لَكُمْ لَوْلا تُسَبِّحُونَ (٢٨)قَالُوا سُبْحَانَ رَبِّنَا إِنَّا كُنَّا ظَالِمِينَ (٢٩) فَأَقْبَلَ بَعْضُهُمْ عَلَى بَعْضٍ يَتَلاوَمُونَ (٣٠) قَالُوا يَا وَيْلَنَا إِنَّا كُنَّا طَاغِينَ (٣١) عَسَى رَبُّنَا أَنْ يُبْدِلَنَا خَيْرًا مِنْهَا إِنَّا إِلَى رَبِّنَا رَاغِبُونَ (٣٢)كَذَلِكَ الْعَذَابُ وَلَعَذَابُ الآخِرَةِ أَكْبَرُ لَوْ كَانُوا يَعْلَمُونَ (٣٣(
“Lalu kebun itu diliputi malapetaka (yang datang) dari Tuhanmu ketika mereka sedang tidur, Maka jadilah kebun itu hitam seperti malam yang gelap gulita. lalu mereka panggil memanggil di pagi hari: "Pergilah diwaktu pagi (ini) ke kebunmu jika kamu hendak memetik buahnya “. Maka Pergilah mereka saling berbisik-bisik. "Pada hari ini janganlah ada seorang miskinpun masuk ke dalam kebunmu". dan Berangkatlah mereka di pagi hari dengan niat menghalangi (orang-orang miskin) Padahal mereka (menolongnya). tatkala mereka melihat kebun itu, mereka berkata “Sesungguhnya kita benar-benar orang-orang yang sesat (jalan), bahkan kita dihalangi (dari memperoleh hasilnya)". berkatalah seorang yang paling baik pikirannya di antara mereka “Bukankah aku telah mengatakan kepadamu, hendaklah kamu bertasbih (kepada Tuhanmu)?" mereka mengucapkan “Maha suci Tuhan Kami, Sesungguhnya Kami adalah orang-orang yang zalim". lalu sebahagian mereka menghadapi sebahagian yang lain seraya cela mencela. mereka berkata “Aduhai celakalah kita Sesungguhnya kita ini adalah orang-orang yang melampaui batas". Mudah-mudahan Tuhan kita memberikan ganti kepada kita dengan (kebun) yang lebih baik daripada itu Sesungguhnya kita mengharapkan ampunan dati Tuhan kita. seperti Itulah azab (dunia). dan Sesungguhnya azab akhirat lebih besar jika mereka mengetahui.” (Qs. Al Qalam 68:19-33)
Ayat-ayat yang turun di Mekkah tidak hanya menghimbau agar muslim yang miskin diperhatikan dan diberi makan, juga mengancam bila mereka dibiarkan terlunta-lunta. Lebih dari itu Alla ̅h juga membebani dan mendorong setiap orang mukmin untuk memberi makan dan memperhatikan kaum muslimin. Qs. Al Haaqqah 69:30-34, makna “menyuruh memberi makan “ disini berarti menganjurkan, mendorong dan mendoakan.
كَلا بَل لا تُكْرِمُونَ الْيَتِيمَ (١٧) وَلا تَحَاضُّونَ عَلَى طَعَامِ الْمِسْكِينِ (١٨(
“Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya kamu tidak memuliakan anak yatim, dan kamu tidak saling mengajak memberi Makan orang miskin “ Qs. Al Fajr 89:17-18
Kata tahadh ‘saling mendorong’ dalam ayat itu mengandung arti bahu membahu, dengan demikian ayat itu mengandung seruan agar masyarakat muslim bertanggung jawab sepenuhnya dalam menangani kemiskinan.
Al Quran menegaskan bahwa ada hak peminta-minta, orang berkekurangan, miskin atau terlantar di dalam harta orang beriman. Sejak awal Al Quran diturunkan di Mekkah telah menanamkan kesadaran di dalam dada orang beriman bahwa para kerabat dan orang yang berkekurangan mempunyai hak yang pasti dalam kekayaan mereka, khususnya dalam jamaah kaum muslimin. Hak itu harus dikeluarkan tidak hanya berupa sedekah sunnah yang mereka berikan atau tidak mereka berikan bila mereka kehendaki. Lihat kembali Qs. Adz Dzariat 51:19-20, Qs Al Ma’arij 70:19-25, dan Qs. Al Isra 17:26.
Bahkan di dalam ayat Makiyah ditemukan bahwa ada hak tanaman bila dipetik, sekalipun itu tidak ditentukan besarnya berapa besar yang harus dikeluarkan. Juga belum ditentukan apakah itu namanya infaq atau zakat, tapi tetapi prinsipnya sudah jelas, yaitu siapa yang punya tanaman maka itu ada sebagian dari hasil tanaman itu harus dikeluarkan hak-nya kepada rasul sebagai kewajiban yang harus ditunaikan.
وَهُوَ الَّذِي أَنْشَأَ جَنَّاتٍ مَعْرُوشَاتٍ وَغَيْرَ مَعْرُوشَاتٍ وَالنَّخْلَ وَالزَّرْعَ مُخْتَلِفًا أُكُلُهُ وَالزَّيْتُونَ وَالرُّمَّانَ مُتَشَابِهًا وَغَيْرَ مُتَشَابِهٍ كُلُوا مِنْ ثَمَرِهِ إِذَا أَثْمَرَ وَآتُوا حَقَّهُ يَوْمَ حَصَادِهِ وَلا تُسْرِفُوا إِنَّهُ لا يُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ (١٤١(
“Dan Dialah yang menjadikan kebun-kebun yang berjunjung dan yang tidak berjunjung, pohon korma, tanam-tanaman yang bermacam-macam buahnya, zaitun dan delima yang serupa (bentuk dan warnanya) dan tidak sama (rasanya). makanlah dari buahnya (yang bermacam-macam itu) bila Dia berbuah, dan tunaikanlah haknya di hari memetik hasilnya (dengan disedekahkan kepada fakir miskin) dan janganlah kamu berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan “. (Qs Al An’am 6:141)
Pada periode Makiyyah belum ada ketentuan berapa besar jumlah harta yang harus dikeluarkan sebagai kewajiban muslimin. Jumlah yang harus dikeluarkan ini diserahkan kepada kadar keimanan pemilik kebun, kebutuhan orang miskin di sekelilingnya dan kebiasaan yang berlaku di tempat itu.
Bahwa zakat yang termaktub di dalam surat-surat yang turun di Mekkah tidaklah sama dengan zakat yang diwajibkan di Madinah di mana nasab dan besarnya sudah ditentukan, orang yang mengumpulkannya dan membagikannya sudah diatur dan negara bertanggung jawab mengelolanya.
Zakat di Mekkah adalah zakat yang tidak ditentukan batas dan besarnya tetapi diserahkan saja kepada rasa iman, kemurahan hati dan perasaan bertanggung jawab seorang mukmin atas mukmin lainnya. Sedikit sudah memadai tetapi bila kebutuhan menghendaki, maka zakat itu bisa lebih banyak atau lebih banyak lagi. Tidak ada ketentuan yang baku.
Zakat pada periode Makiyah ini dilaksanakan kaum muslimin untuk mencapai dua tujuan utama yaitu mencapai kebersihan harta dan penyucian jiwa serta tersalurkannya kebutuhan fakir miskin.
Berbeda dengan periode Mekkah, pada periode madinah kaum muslimin sudah memiliki negara dengan daerah, eksistensi dan pemerintahan Islam yang berdaulat penuh ke luar dan ke dalam.
Dari konteks sifat kewajibannya, maka hanya zakat yang bernilai wajib pada periode Madaniyah, ketika itu nishab dan haulnya pun sudah ditetapkan. Ini karena hanya zakat bukan sekedar ibadah tetapi sudah menjadi peraturan Negara yang harus dijalankan seluruh pimpinan dan warga Negara. Pada masa Abu Bakar ketika ada sahabat yang tidak membayar zakat, maka Abu Bakar menggunakan instrument Negara yaitu tentara untuk menegakkan peraturan negara yang dilanggar.
Adapun ayat-ayat yang turun di Madinah mempertegas wajibnya zakat itu dan memperjelas hukum-hukumnya, hal mana yang belum dilakukan pada periode Makiyah. Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam -pun bertindak menjelaskan pernyataan Al Quran yang masih samar serta menegaskan nisab, besar dan jumlah zakat itu, dan ini terjadi pada periode Madaniyah.
Dalam sejarah perundang-undangan Islam, zakat fitrah lebih dahulu diwajibkan bersamaan dengan turunnya perintah untuk puasa Ramadhan pada tahun 2 hijriyah. Setelah itu barulah zakat maal secara efektif diberlakukan dan dijalankan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat. Ayat-ayat Al Quran yang turun pada periode Madaniyah menegaskan bahwa zakat itu wajib dan secara teknis diatur pelaksanaan dan pengelolaannya oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.