Pembagian Najasah

 


Secara bahasa, an-najasah bermakna kotoran 

(القذارة). Disebut (تَنَجَّ سَ الشَّ يْْء) maknanya sesuatu menjadi kotor. 

Asy-Syafi'iyah mendefinisikan najasah dengan 

makna : (مستقذرة یمنع الصلاة حیث لا مرخص), kotoran yang menghalangi shalat.  

Sedangkan Al-Malikiyah mendefinisikan annajasah sebagai : ( صفة حكمیة توجب لموصفھا منع استباحة الصلاة بھ أو

فیھ), sesuatu yang bersifat hukum yang mewajibkan dengan sifat itu penghalangan atas shalat dengan sifat itu atau di dalam sifat itu.   

An-Najasah dalam bahasa Indonesia sering dimaknai dengan najis. Meski pun secara bahasa Arab tidak identik maknanya. Najis sendiri dalam bahasa Arab ada dua penyebutannya.  

Pertama : Najas (نجََس)  maknanya adalah benda yang hukumnya najis.  

Kedua : Najis (نجِس) maknanya adalah sifat najisnya.  

An-Najasah (najis) itu lawan dari thaharah yang maknanya kesucian.  

2. Pembagian Najasah  

Jenis-jenis najis oleh mazhab Asy-Syafi'i dibedakan berdasarkan tingkat kesulitan dalam mensucikan atau menghilangkannya.  

Ada yang sangat mudah untuk menghilangkan, bahkan meski secara fisik sebenarnya belum hilang tapi secara hukum sudah dianggap suci, cukup dengan melakukan ritual tertentu.  

Dan sebaliknya, ada yang sangat berat, bahkan meski secara fisik sebenarnya najis itu sudah hilang, tetapi masih tetap dianggap najis bila belum dilakukan ritual tertentu. Dan yang ketiga, najis yang berada di tengah-tengah. 

2.1. Najis Ringan 

Najis ringan sering juga diistilahkan dengan mukhaffafah (مخففة). Disebut ringan, karena cara mensucikannya sangat ringan, yaitu tidak perlu najis itu sampai hilang. Cukup dilakukan ritual sederhana sekali, yaitu dengan memercikkannya dengan air, dan tiba-tiba benda najis itu berubah menjadi suci. 

Satu-satunya najis ini adalah air kencing bayi lakilaki yang belum makan apa pun kecuali air susu ibu. Bila bayi itu perempuan, maka air kencingnya tidak termasuk ke dalam najis ringan, tetapi tetap dianggap najis seperti umumnya. Demikian juga bila bayi laki-laki itu sudah pernah mengkonsumsi makanan yang selain susu ibu, seperti susu kaleng buatan pabrik, maka air kencingnya sudah tidak lagi bisa dikatakan najis ringan. 

Semua ini tidak ada alasan ilmiyahnya, karena semata-mata ketentuan ritual dari Allah SWT. Allah SWT sebagai Tuhan, maunya disembah dengan cara itu. 

Dasarnya adalah hadits berikut ini : 

عن أِﹶِبِيِ اﹶلسمِحِ  قﹶالﹶ: قﹶالﹶ اﹶلنِبِي  يغسلﹸ مِِن بولِ اﹶلﹾجارِِيةِ 

ويرش مِن بول اﹶلﹾغلامِلام   

Dari As-Sam'i radhiyallahu anhu berkata bahwa Nabi SAW bersabda,"Air kencing bayi perempuan harus dicuci sedangkan air kencing bayi laki-laki cukup dipercikkan air saja. (HR. Abu Daud, An-Nasai dan Al-Hakim) 

2.2. Najis Berat 

Najis berat sering diistilahkan sebagai najis mughalladzhah (مُغََّ لظة). Disebut najis yang berat karena tidak bisa suci begitu saja dengan mencuci dan menghilangkannya secara fisik, tetapi harus dilakukan praktek ritual tertentu. 

Ritualnya adalah mencuci dengan air sebanyak tujuh kali dan salah satunya dengan tanah. Pencucian 7 kali ini semata-mata hanya upacara ritual. Demikian juga penggunaan tanah, sama sekali tidak dikaitkan dengan manfaatnya. Penggunaan tanah itu tidak diniatkan misalnya untuk membunuh bakteri, virus atau racun tertentu yang terkandung pada najis itu. Tetapi semata-mata hanya ritual dimana Allah SWT ingin disembah dengan cara itu. 

Maka penggunaan tanah tidak bisa diganti dengan sabun, deterjen, pemutih, pewangi atau bubuk-bubuk kimawi lainnya yang didesain mengandung zat ini dan itu.  

Dasar dari semua ini adalah hadits Rasulullah SAW : 

عن أِﹶِبِي هِريرةﹶ  قﹶالﹶ: قﹶالِﹶ رسولﹸ اﹶللَّ هِ  طﹶهور إِنِاءِ أﹶحدِِِكﹸم إِذﹾ ولﹶغﹶ فيه اﹶلﹾكﹶلﹾب أﹶنﹾ يغسِلﹶه سبع مراتاتٍ أﹸولاهن بِالتراب - أﹶخرجه مسلِم  

sucinya wadah air kalian yang diminum anjing adalah dengan mencucinya tujuh kali, salah satunya dengan air. (HR. Muslim) 

Dalam mazhab Asy-Syafi'i, najis berat hanya dua saja, yaitu anjing dan babi. 

2.3. Najis Pertengahan 

Najis yang pertengahan sering disebut dengan mutawassithah (متوسطة). Disebut pertengahan lantaran  posisinya yang ditengah-tengah antara najis ringan dan najis berat.  

Untuk mensucikan najis ini cukup dihilangkan secara fisik 'ain najisnya, hingga 3 indikatornya sudah tidak ada lagi. Ketiga indikator itu adalah : warna (لون), rasa (طعم) dan aroma (ریح). 

Semua najis yang tidak termasuk ke dalam najis yang berat atau ringan, berarti secara otomatis termasuk ke dalam najis pertengahan ini.  

Referensi:
Ahmad Sarwat, Fiqih Thaharah, DU Centre Press, 2010.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.