Haidh


 

1. Pengertian 

Kata haidh (الحیض) dalam bahasa Arab berarti mengalir. Dan makna (حاض الوادي) haadhal wadhi adalah bila air mengalir pada suatu wadi.  

Sedangkan haidh secara syariah punya beberapa pengertian lewat definisi para ulama yang meski beragam, namun pada hakikatnya masih saling terkait dan saling melengkapi. 

 Al-Hanafiyah mengatakan bahwa pengertian haidh adalah darah yang terlepas dari rahim wanita yang sehat dari penyakit dan sudah bukan anak kecil lagi.  

Al-Malikiyah mendefiniskan haidh sebagai darah yang dibuang oleh rahim di luar kehamilan dan bukan darah melahirkan.  

Asy-Syafi'iyah menegaskan bahwa haidh adalah darah yang keluar dari ujung rahim seorang wanita setelah baligh karena keadaannya yang sehat tanpa penyebab tertentu dan keluar pada jadwal waktu yang sudah dikenal.  

Al-Hanabilah menyebutkan bahwa haidh adalah darah asli yang keluar dimana wanita itu sehat bukan karena sebab melahirkan.  

Intinya bisa kita simpulkan secara sederhana bahwa haidh adalah darah yang keluar dari kemaluan wanita atau tepatnya dari dalam rahim wanita bukan karena kelahiran atau karena sakit selama waktu masa tertentu. Biasanya berwarna hitam, panas, dan beraroma tidak sedap.  

Di dalam Al-Quran Al-Kariem dijelaskan tentang masalah haid ini dan bagaimana menyikapinya.  

`Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: `Haidh itu adalah suatu kotoran`. Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci . Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.(QS. Al-Baqarah : 222)  

Demikian juga di dalam hadis Bukhari dan Muslim.  

Dari Aisyah r.a berkata ; `Bahwa Rasulullah SAW bersabda tentang haid, `Haid adalah sesuatu yang telah ditetapkan oleh Allah kepada anak-anak wanita Nabi Adam (HR. Bukhari Muslim)  

2. Darah Wanita  

Dalam kaca mata fiqih, darah yang keluar dari kemaluan wanita ada tiga macam: dengan masingmasing status hukum yang tersendiri.  

2.1. Darah Haid 

Darah haid adalah darah yang keluar dari dalam rahim wanita dalam keadaan sehat. Artinya bukan darah karena penyakit dan juga karena melahirkan. 

2.2.Darah Nifas 

Darah nifas adalah darah yang keluar bersama anak bayi atau melahirkan. Darah yang keluar sebelum waktu melahirkan tidak dikatakan sebagai dasar nifas.  

2.3. Darah Istihadhah 

Darah istihadhah adalah darah yang keluar dari rahim wanita, lantaran wanita itu dalam keadan sakit. 

3. Syarat Darah Haidh 

Untuk membedakan antara darah haidh dengan darah lainnya, para ulama menetapkan beberapa syarat, antara lain : 

  • Darah yang keluar itu berasal dari dalam rahim dalam keadaan sehat. Bila darah itu keluar dari dubur, maka itu bukan darah haidh. Demikian juga bila darah itu berasal dari penyakit tertentu yang mengakibatkan pendarahan di kemaluan wanita, maka darah itu bukan darah haidh. 
  • Darah itu keluar bukan karena sebab melahirkan bayi. Bila darah itu keluar dari sebab melahirkan, maka darah itu disebut dengan darah nifas. 
  • Sebelum keluar darah haidh, harus didahului kondisi suci dari haidh (الطھر), meski pun hanya hukumnya saja bukan fisiknya. Masa suci dari haidh sendiri nanti akan dibahas 
  • Masa rentang waktu keluarnya darah itu setidaknya memenuhi batas minimal. 
  • Darah yang keluar itu terjadi pada seorang wanita yang memang sudah memasuki masa haidh dan sebelum masuk ke masa tidak mungkin haidh lagi. 

4. Pada Usia Berapakah Mulai dan Berakhirnya Haid.  

Haid itu dimulai pada masa balighnya seorang wanita kira-kira usia 9 tahun menurut hitungan tahun hijriyah. Atau secara hitungan hari 354 hari.  

Dan haid itu akan berakhir hingga memasuki sinnul ya`si. Maka bila ada darah keluar sebelum masa rentang waktu ini bukanlah darah haid tetapi darah penyakit.  

Para ulama berbeda pendapat tentang sinnul ya`si. Abu Hanifah mengatakan : bahwa sinnul ya`si itu usia 50 tahun. Sedangkan Al-Malikiah mengatakan 70 tahun. As-Syafi`iyah mengatakan tidak ada akhir sehingga selama hidup masih berlangsung bagi seorang wanita tetaplah dianggap haid bila keluar darah. Dan Al-Hanabilah mengatakan 50 tahun dengan dalil :  

`Bila wanita mencapai usia 50 keluarlah dia dari usia haid (HR. Ahmad).  

 4. Lama Haid Bagi Seorang Wanita  

Al Hanafiyah mengatakan bahwa paling cepat haid itu terjadi selama tiga hari tiga malam, dan bila kurang dari itu tidaklah disebut haid tetapi istihadhah. Sedangkan paling lama menurut madzhab ini adalah sepuluh hari sepuluh malam, kalau lebih dari itu bukan haid tapi istihadhah.  

Dasar pendapat mereka adalah hadis beriut ini :  

`Dari Abi Umamah bahwa Rasulullah SAW bersabda: `Haid 

itu paling sepat buat perawan dan janda tiga hari. Dan paling lama sepuluh hari. (HR. Tabarani dan Daruquthni dengan sanad yang dhaif)  

Al Malikiyah mengatakan paling cepat haid itu sekejap saja, bila seorang wanita mendapatkan haid dalam sekejap itu, batallah puasanya, salatnya dan tawafnya. Namun dalam kasus `iddah dan istibra` lamanya satu hari.  

As-Syafi`iyah dan Al-Hanabilah mengatakan bahwa paling cepat haid itu adalah satu hari satu malam. Dan umumnya enam atau tujuh hari. Dan paling lama lima belas hari lima belas malam. Bila lebih dari itu maka darah istihadhah. Pendapat ini sesuai dengan ucapan Ali bin Abi Thalib r.a yang berkata :  

Paling cepat haid itu sehari semalam, dan bila lebih dari lima belas hari menjadi darah istihadhah.`  

5. Lama Masa Suci  

Masa suci adalah jeda waktu antara dua haid yang dialami oleh seorang wanita. Masa suci memiliki dua tanda, pertama; keringnya darah dan kedua; adanya air yang berwarna putih pada akhir masa haid.   

Untuk masa ini, Jumhur ulama selain AlHanabilah mengatakan bahwa masa suci itu paling cepat lima belas hari. Sedangkan Al-Hanabilah mengatakan bahwa : `Masa suci itu paling cepat adalah tiga belas hari. 

  

6. Perbuatan Yang Haram Dilakukan Karena Haid 

6.1. Shalat  

Seorang wanita yang sedang mendapatkan haidh diharamkan untuk melakukan shalat. Begitu juga haram untuk mengqada` shalat. Sebab seorang wanita yang sedang mendapat haid telah gugur kewajibannya untuk melakukan salat.  

Dalilnya adalah hadis berikut ini :  

Dari Aisyah ra berkata,"Fatimah binti Abi Hubaisy mendapat darah istihadha, maka Rasulullah SAW bersabda kepadanya,"Darah haidh itu berwarna hitam dan dikenali. Bila yang yang keluar seperti itu, janganlah shalat. Bila sudah selesai, maka berwudhu'lah dan lakukan shalat. (HR. Abu Daud dan An-Nasai) . 

Dan juga hadits berikut ini : 

`Dari Aisyah r.a berkata : `Di zaman Rasulullah SAW dahulu kami mendapat haidh, lalu kami diperintahkan untuk mengqadha` puasa dan tidak diperintah untuk mengqadha` salat (HR. Jama`ah).  

Selain itu juga ada hadis lainnya:  

`Dari Fatimah binti Abi Khubaisy bahwa Rasulullah SAW bersabda: `Bila kamu mendapatkan haid maka tinggalkan shalat`  

6.2. Berwudu` atau mandi  

As-Syafi`iyah dan al-Hanabilah mengatakan bahwa: `wanita yang sedang mendapatkan haid diharamkan berwudu`dan mandi janabah.  

Maksudnya adalah bahwa seorang yang sedang mendapatkan haidh dan darah masih mengalir, lalu berniat untuk bersuci dari hadats besarnya itu dengan cara berwudhu' atau mandi janabah, seolaholah darah haidhnya sudah selesai, padahal belum selesai. 

Sedangkan mandi biasa dalam arti membersihkan diri dari kuman, dengan menggunakan sabun, shampo dan lainnya, tanpa berniat bersuci dari hadats besar, bukan merupakan larangan.  

6.3. Puasa  

Wanita yang sedang mendapatkan haid dilarang menjalankan puasa dan untuk itu ia diwajibkannya untuk menggantikannya dihari yang lain.  

Dari Abi Said Al-Khudhri ra berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda,"Bukankah bila wanita mendapat hatdh, dia tidak boleh shalat dan puasa?". (HR, Muttafaq 'alaihi) 

6.4.Tawaf  

seorang wanita yang sedang mendapatkan haid dilarang melakukan tawaf. Sedangkan semua praktek ibadah haji tetap boleh dilakukan. Sebab tawaf itu mensyaratkan seseorang suci dari hadas besar.  

Dari Aisyah r.a berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda: `Bila kamu mendapat haid, lakukan semua praktek ibadah haji kecuali bertawaf disekeliling ka`bah hingga kamu suci (HR. Mutafaq `Alaih)  

6.5. Menyentuh Mushaf dan Membawanya  

Allah SWT berfirman di dalam Al-Quran AlKariem tentang menyentuh Al-Quran :  

Dan tidak menyentuhnya kecuali orang yang suci.` . (QS. AlWaqi’ah ayat 79)  

Jumhur ulama sepakat bahwa orang yang berhadats besar termasuk juga orang yang haidh dilarang menyentuh mushaf Al-Quran  

6.6. Melafazkan Ayat-ayat Al-Quran  

Kecuali dalam hati atau doa / zikir yang lafznya diambil dari ayat Al-Quran secara tidak langsung.  

Rasulullah SAW tidak terhalang dari membaca Al-Quran kecuali dalam keadaan junub.  

Namun ada pula pendapat yang membolehkan wanita haidh membaca Al-Quran dengan catatan tidak menyentuh mushaf dan takut lupa akan hafalannya bila masa haidhnya terlalu lama. Juga dalam membacanya tidak terlalu banyak. Pendapat ini adalah pendapat Malik.   

6.7. Masuk ke Masjid  

Dari Aisyah RA. berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda, `Tidak ku halalkan masjid bagi orang yang junub dan haidh`. 

(HR. Bukhari, Abu Daud dan Ibnu Khuzaemah.)  

6.8. Bersetubuh  

Wanita yang sedang mendapat haid haram bersetubuh dengan suaminya. Keharamannya ditetapkan oleh Al-Quran Al-Kariem berikut ini:   

`Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: `Haidh itu adalah suatu kotoran`. Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci . Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.(QS. Al-Baqarah : 222)  

Yang dimaksud dengan menjauhi mereka adalah tidak menyetubuhinya.  

Sedangkan al Hanabilah membolehkan mencumbu wanita yang sedang haid pada bagian tubuh selain antara pusar dan lutut atau selama tidak terjadi persetubuhan. Hal itu didasari oleh sabda Rasulullah SAW ketika beliau ditanya tentang hukum mencumbui wanita yang sedang haid maka beliau menjawab:  

`Dari Anas ra bahwa Orang yahudi bisa para wanita mereka mendapat haidh, tidak memberikan makanan. Rasulullah SAW bersabda,"Lakukan segala yang kau mau kecuali hubungan badan". (HR. Muslim).  

`Dari Aisyah ra berkata,"Rasulullah SAW memerintahkan aku untuk memakain sarung, beliau mencumbuku sedangkan aku dalam keadaan datang haidh". (HR. Muslim).  

Keharaman menyetubuhi wanita yang sedang haid ini tetap belangsung sampai wanita tersebut selesai dari haid dan selesai mandinya. Tidak cukup hanya selesai haid saja tetapi juga mandinya. Sebab didalam al Baqarah ayat 222 itu Allah menyebutkan bahwa wanita haid itu haram disetubuhi sampai mereka menjadi suci dan menjadi suci itu bukan sekedar berhentinya darah namun harus dengan mandi janabah, itu adalah pendapat al Malikiyah dan as Syafi`iyah serta al Hanafiyah.  

Kaffarat Menyetubuhi Wanita Haidh  

Bila seorang wanita sedang haid disetubuhi oleh suaminya maka ada hukuman baginya menurut al Hanabilah. Besarnya adalah satu dinar atau setengah dinar dan terserah memilih yang mana. Ini sesuai dengan hadis Rasulullah SAW berikut :  

`Dari Ibn Abbas dari Rasulullah SAW bersabda tentang orang yang menyetubuhi istrinya dalam keadaan haidh : `Orang yang menyetubuhi isterinya diwaktu haid haruslah bersedekah satu dinar atau setengah dinar` (HR. Khamsah)   

As-Syafi`iyah memandang bahwa bila terjadi kasus seperti itu tidaklah didenda dengan kafarat, melainkan hanya disunnahkan saja untuk bersedekah. Satu dinar bila melakukannya diawal haid, dan setengah dinar bila diakhir haid.  

Namun umumnya para ulama seperti alMalikiyah, ِAsy- Syafi`iyah dalam pendapatnya yang terbaru tidak mewajibkan denda kafarat bagi pelakunya cukup baginya untuk beristigfar dan bertaubat. Sebab hadis yang menyebutkan kafarat itu hadis yang mudahtharib sebagaimana yang disebutkan oleh al Hafidz Ibn Hajar.   

6.9. Menceraikan Istri 

Seorang yang sedang haid haram untuk bercerai. Dan bila dilakukan juga maka thalaq itu adalah thalaq bid`ah. Dalilnya adalah :  

`Hai Nabi, apabila kamu menceraikan isteri-isterimu maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat iddahnya dan hitunglah waktu iddah itu serta bertakwalah kepada Allah Tuhanmu. Janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlah mereka ke luar kecuali mereka mengerjakan perbuatan keji yang terang . Itulah hukum-hukum Allah, maka sesungguhnya dia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri. Kamu tidak mengetahui barangkali Allah mengadakan sesudah itu sesuatu hal yang baru.` (QS. AtThalaq : 1)  

Secara hukum fiqih, meski termasuk thalaq bid'ah dan berdosa, tetap jatuh talaq itu. Suami yang mentalak istrinya dalam keadaan haidh tentu berdosa, sebab hal itu termasuk larangan. Tetapi dari segi hukum talaq, tetap jatuh dan sah sebagai talaq.  

Lebih jelasnya akan dijelaskan pada kitab Fiqih Pernikahan.   

 Referensi:

Ahmad Sarwat, Fiqih Thaharah, DU Centre Press, 2010.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.