الشُّورَ الْمُشَاوَرَةُ الْمَشْوَرَةُ adalah bentuk mashdar dari kata kerja (شَاوَرَ). Dijelaskan dalam kamus Lisanul Arab, di sebutkan
شَارَ اْعَسَلُ يُشَوِّرُهُ شَوْرًا شِيَارَةً وَمُشَارَةً
Artinya “mengeluarkan madu dari sarang lebah dan memilikinya”.37
Abu Ubaid menjelaskan شُرْةُ الْعَسَلُ وَاشْتَرَتْهُ artinya aku memanen dan mengambil madu dari tempatnya. Di sebutkan pula أَشْرَنِي عَلَة الْعَسَلِ artinya bantulah aku mengambil madu, شُرْبُ الدَّبَّةُ شَوْرًا artinya aku memerlihatkan hewan untuk dijual.38
Dengan demikian makna asli (الشُّورى) adalah mengeluarkan (al-istikharaaj), menampakkan dan membantu untuk itu. Bentuk mashdarnya adalah اَلْمَشُورَةُ (masyurah) dan الْمَشْوَرَةُ (masywarah), ada dua bahasa. Ibnu Hajar mengatakan "yang pertama lebih rajih".39
Dalam Mu'jamul Wasith di sebutkan bahwa, "Syuro adalah memusyawarahkan pertentangan pendapat atas sesuatu untuk melahirkan kebaikan-kebaikan yang ada di dalamnya". Imam Suyuthi menunjukkan hal itu berdasarkan firman Allah subhanahu wa ta'ala, maksud perkataan wasyawirhum fil amr di dalam Qs Ali Imran 3:159 adalah, "menarik kesimpulan dari pendapat-pendapat mereka (istahraaj aaaraa-ahum)".40
Syuro sebagaimana di sebutkan dalam pengertian lughoh di atas adalah menarik kesimpulan dari pendapat-pendapat yang ada untuk menentukan yang terbaik sebagai solusinya. Suatu ketika untuk menentukan kesimpulan atau pendapat terbaik dibutuhkan dukungan mayoritas. Inilah salah satu makna sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam berikut.
اِنَّ اُمَّتِي لاَ تَجْمَعُ عَلَى ضَلَالٍ فَإِذَا رَأيْتُم اخْتِلَافًا فَعَلَبْكُمْ بِالسَّوَادِ الْاَعْظَمِ
"Sesungguhnya ummatku tidak akan bersatu dalam kesesatan, maka jika kamu menemukan perselisihan, ambillah suara terbanyak". (HR Anas bin Malik)41
Setelah mempertimbangkan banyak pendapat dari para ulama, Husein bin Muhsin bin Ali Jabir mengatakan,
"Berdasarkan alasan-alasan di atas, pendapat terbanyak di kalangan anggota majelis syuro lebih kuat untuk di ambil. Sedang pendapat minoritas harus rujuk pada yang mayoritas walau yang minoritas itu Amir atau Khalifah".42
Dalam hal di mana kesimpulan atau hasil syuro bertentangan dengan ketentuan Al Quran dan Sunnah yang sudah qaht’i, maka ketentuan Al Quran dan Sunnah-lah yang harus didahulukan, termasuk ketika ada perbedaan dalam penafsiran dalil-dalil, maka Amir atau Khalifah bisa mengambil keputusan dengan tidak memperhatikan hasil syuro, dengan memperhatikan kemaslahatan umum, sebagaimana yang bisa kita lihat dalam sikap Khalifah Abu Bakar yang tetap memerangi kaum muslimin yang tidak membayar zakat.
Husein bin Muhsin bin Ali Jabir dalam tesisnya Ath-Thoriqi ila Jama'atil Muslimin, menyebutkan bahwa Syuro adalah rukun kedua dari tiga rukun yang membentuk Haikal (Kerangka) Jama'atul Muslimin.43
Dalam thesisnya tersebut, Husein bin Muhsin bin Ali Jabir mengatakan,
"Memilih musyawarah dalam membuat aturan hukum, memelihara persatuan jama'ah serta menunaikan urusan masyarakat menurut ulama Islam adalah wajib bagi setiap penguasa Islam, di setiap tempat dan waktu."44
Syuro merupakan tabiat manusia, siapapun mereka dan apapun kedudukan dan jabatannya di masyarakat. Ayat Al Quran menerangkan sebagai berikut.
a. Ratu Balqis dari Kerajaan Saba' bermusyawarah dengan para pembesarnya untuk menjawab surat dari Sulaiman AS (Qs. 27:32-33).
b. Firaun Ramses II melakukan musyawarah dengan para pembesarnya untuk membahas kekuatan Musa AS yang mulai membesar (Qs. 26:34-37).
c. Allah subhanahu wa ta'ala mengutus seorang wazir (pembantu) kepada Musa untuk diajak bertukar flkiran (Qs. 20:29-33).
d. Para tokoh Quraisy bermusyawarah di Damn Nadwah untuk membicarakan makar dalam menghadapi gerakan dakwah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam (Qs. 8:30).
Dari ayat-ayat di atas, kita bisa menyimpulkan bahwa watak musyawarah sudah menjadi tabiat dasar manusia, terlebih ketika menghadapi sebuah persoalan pelik.
Ketika masih hidup, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menjalankan pemerintahannya, atas dasar wahyu dan bimbingan Allah subhanahu wa ta'ala, namun Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam juga berkali-kali bermusyawarah dengan para sahabat dalam berbagai urusan pemerintahan. Seperti yang dilakukan Rasulullah ketika perang Badar dan Uhud. Bahkan Rasulullah adalah orang yang paling banyak bermusyawarah dengan sahabatnya.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ مَا رَأَيْتُ أَحَدًا أَكْثَرَ مَشُورَةً لِأَصْحَابِهِ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
"Telah diriwayatkan pula dari Abu Hurairah, ia berkata, "Aku tidak pernah melihat seseorang yang paling sering bermusyawarah dengan para sahabat selain dari pada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam." (HR Tirmidzi No. 1636)
Di antara kisah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bermusyawarah dengan sahabatnya adalah:45
a. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bermusyawarah dengan para sahabat saat hendak Perang Badar terkait strategi untuk memerangi kaum musyrikin.
b. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bermusyawarah dengan para sahabat sebelum Perang Uhud, apakah tetap bertahan di Madinah ataukah keluar menghadapi musuh.
c. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bermusyawarah dengan para sahabat terkait tawanan perang Badar.
d. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam meminta pendapat Sa'ad bin Mu'adz dan Sa'ad bin Ubadah saat Perang Khandaq, keduanya mengusulkan untuk tidak berdamai dengan musuh agar mereka pergi meninggalkan madinah dengan kompensasi menyerahkan sebagian hasil bumi Madinah. Akhirnya Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menerapkan pendapat mereka berdua.
e. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bermusyawarah dengan para sahabat saat peristiwa Hudaybiah.
f. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bermusyawarah dengan para sahabat terkait pengepungan Thaif.
g. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam meminta pendapat Ali bin Abi Thalib dan Usamah bin Zaid terkait Aisyah RA dalam kisah Ifki (dusta),
h. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam meminta pendapat terkait hukum an untuk orang-orang munafik yang telah menyakiti keluarga beliau. Beliau berkata, "Apa pendapat kalian terkait suatu kaum yang mencela keluargaku ?"
AsySyafi'i menegaskan bahwa Al Hasan berkata,
"Sesungguhnya Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam tidak butuh musyawarah. Akan tetapi, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menginginkan agar (hal itu) dijadikan Sunnah (diikuti) oleh para penguasa setelahnya".46
Perkatan Hasan, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam tahu, beliau tidak memerlukan pendapat para sahabat. Namun beliau ingin untuk dijadikan teladan oleh orang-orang setelah beliau".47
Para sahabat dalam mendirikan khilafah setelah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam wafat juga melaksanakan musyawarah antara sesama mereka. Demikian pula para khalifah, dalam menjalankan pemerintahannya, selain tunduk kepada Al-Quran dan Sunnah yang ditinggalkan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam juga melaksanakan musyawarah dengan para sahabat.
Seperti halnya Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, para khalifah melakukan musyawarah dalam berbagai urusan. Permusyawaratan saat itu telah menjadi dasar terpenting negara Islam. Kegiatan-kegiatan seperti itu terwujud dalam berbagai hubungan antara pemimpin negara dengan kaum Muslimin. Sehingga, sebagai dikatakan oleh Umar : 'Tidak ada khilafah kecuali berdasarkan musyawarah".48
Abul A'la Maududi menyebutkan bahwa ciri-ciri khalifah rasyidah yang adil dan benar itu diantaranya adalah pemerintah berdasarkan musyawarah. Maududi menyebutkan,
"Keempat khalifah tersebut tidak memutuskan suatu perkara yang berkaitan dengan pemerintahan atau perundang-undangan atau lain-lainnya kecuali dengan musyawarah dengan kaum cendekiawan di antara kaum muslimin".49
Demikian pentingnya soal musyawarah (syura) dalam pandangan Islam, Allah subhanahu wa ta'ala menurunkan dua ayat Al-Quran yang berkaitan dengan masalah ini.
وَالَّذِيْنَ اسْتَجَابُوْا لِرَبِّهِمْ وَاَقَامُوا الصَّلٰوةَۖ وَاَمْرُهُمْ شُوْرٰى بَيْنَهُمْۖ وَمِمَّا رَزَقْنٰهُمْ يُنْفِقُوْنَ ۚ ٣٨
"Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami berikan kepada mereka". (Qs 42:38)
Dalam ayat ini, soal musyawarah di sebut setelah perintah menegakkan shalat. Hal ini berarti pelaksanaan musyawarah itu di pandang sebagai suatu yang penting dalam kehidupan ummat Islam, sehingga ayat tersebut dirangkaikan setelah perintah mengerjakan ibadah pokok.50
Dari segi munasabat, al-Rayes menjelaskan ayat tersebut dengan melihat lebih dahulu dua ayat sebelumnya. Di antara sifat-sifat orang mukmin yang akan mencapai kemenangan adalah iman yang bertawakal, menjauhi dosa-dosa besar, mendirikan shalat. dan bermusyawarah sesama mereka. Musyawarah, sebagai halnya zakat yang di sebut beriringan dengan shalat, menunjukkan akan keurgensiannya yang sangat tinggi, sehingga musyawarah termasuk suatu sifat mukmin yang asasi.51
Dari segi lain, ayat tersebut turun di Mekkah. Orang Islam saat itu hanyalah sekelompok kecil dan belum membentuk pemerintahan. Mereka menyelesaikan berbagai masalah berdasarkan petunjuk Rasulullah. Tetapi namun demikian, Allah telah menjadikan musyawarah sebagai dasar dalam pemecahan masalah-masalah umat, sehingga menjadi karakter kepribadian mukminin dalam memutuskan perkara-perkara pelik yang akan muncul kemudian.
Dengan sangat indah hal ini diketengahkan oleh Sayyid Qutb dalam Fi Zhilalil Quran sebagai berikut,52
"Ayat menegaskan bahwa seluruh persoalan mereka diputuskan melalui musyawarah supaya seluruh kehidupan diwarnai sifat ini. Ayat ini, seperti telah kami katakan, merupakan ayat Makkiyyah yang diturunkan sebelum berdirinya pemerintahan Islam. Dengan demikian, sifat ini lebih melingkupi masyarakat muslim daripada sekadar melingkupi pemerintahan. Ia merupakan karakter masyarakat Islam dalam segala kondisinya, walaupun pemerintahan dengan konsepnya yang khas belum lagi berdiri.
Kenyataannya, dalam Islam pemerintahan itu tiada lain kecuali pemunculan tabiat masyarakat dan karakteristik individunya. Masyarakatlah yang menjamin pemerintah dan mendorongnya dalam merealisasikan manhaj Islami dan melindungi kehidupan individu dan masyarakat.
Karena itu, watak musyawarah ditegakkan sejak dim dalam masyarakat. Makna musyawarah lebih luas dan dalam daripada cakupan pemerintah dan segala aspek hukumnya. Musyawarah merupakan watak substansial kehidupan Islam dan sebagai indikator istimewa masyarakat yang di pilih sebagai teladan bagi umat lain. Musyawarah merupakan sifat yang harus dimiliki dari sekian sifat keteladanan.
Setelah membentuk karakteristik syuro baynahum dalam tiap-tiap pribadi mukmin. Allah subhanahu wa ta'ala kemudian menguatkan karakteristik syuro baynahum ini ke dalam tubuh pemerintahan dan negara Islam yang di pimpin Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pada periode Madinah. Ayat yang turun di Madinah bekaitan dengan syuro adalah ayat berikut.
فَبِمَا رَحْمَةٍ مِّنَ اللّٰهِ لِنْتَ لَهُمْ ۚ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيْظَ الْقَلْبِ لَانْفَضُّوْا مِنْ حَوْلِكَ ۖ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِى الْاَمْرِۚ فَاِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللّٰهِ ۗ اِنَّ اللّٰهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِيْنَ ١٥٩
"Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu Berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu karena itu ma'afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, Maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya". Qs. 3:159
Ayat ini turun ketika Rasulullah telah hijrah ke Madinah. Bila di Mekkah, Muhammad bertugas sebagai Nabi dan Rasul, maka di Madinah Rasulullah juga menjadi seorang kepala negara (khalifatullah) dalam pengertian yang sebenarnya, yaitu kepala negara yang memiliki rakyat, pemerintahan dan wilayah yang dikuasai secara penuh.
Musyawarah (syura) dalam hal ini semakin bertambah penting karena Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam selaku kepala negara mendapat berbagai macam persoalan yang pelik yang perlu dipecahkan bersama sahabat.
Ayat madaniyah di atas (Qs 3:159) secara tegas memberikan taujih (arahan) kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam untuk melembutkan hati dan senantiasa mengajak musyawarah kaum mukminin di Madinah dalam berbagai urusan. Sekalipun seluruh keputusan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam di bimbing oleh Allah subhanahu wa ta'ala, Rasulullah senantiasa menjadi syuro sebagai sal ah satu pertimbangan dalam pengambilan keputusan.
Berkaitan dengan Qs 3:159, Sayid Qutb berkata,53
"Dengan nash yang tegas ini, "Dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu", Islam menetapkan prinsip ini dalam sistem pemerintahan, hingga Muhammad Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. sendiri melakukannya Ini adalah nash yang pasti dan tidak meninggalkan keraguan dalam hati ummat Islam bahwa syura merupakan mabda'asasi' prinsip dasar' di mana nizham Islam tidak ditegakkan di atas prinsip lain".
Adapun bentuk syura beserta implementasinya, adalah persoalan teknis yang dapat berkembang sesuai dengan aturan yang berlaku di kalahgan umat dan kondisi yang melingkupi kehidupannya Maka, semua bentuk dan cara yang dapat merealisasikan syura, bukan sekadar simbol lahiriahnya saja, adalah dari Islam.
Nash ini datang sesudah terjadinya keputusan-keputusan syura yang kelihatannya secara lahiriah mengandung risiko yang pahit, dan pemberlakuannya secara lahiriah menyebabkan terjadinya kerusakan dalam barisan kaum muslimin, karena bersilang pendapatnya pandangan manusia.
Namun karena telah menjadi keputusan maka hal ini harus dilaksanakan. Dalam ungkapan Sayid Qutb,
"Karena Allah subhanahu wa ta'ala mengetahui bahwa musyawarah harus dilakukan bila kondisi sedang kritis54 -bagaimanapun hasilnya- meskipun berakibat merugikan, akan menyebabkan barisan terpecah belah dan berakibat nmbulnya bahaya".55
Zul Asyri mencatat bahwa perbedaan pendapat mengenai kewajiban melaksanakan syura memang terjadi di kalangan ahli fikih.56 Perbedaan tersebut terletak pada persoalan: apakah pelaksanaan syura itu termasuk suatu hal yang fardhu ataukah hanya sekedar mandubat saja. Pengertian fardhu menurut pengertian fuqaha adalah berpahala bila dikerjakan dan berdosa bila ia ditinggalkan. Sedangkan al-mandub berarti suatu perbuatan yang terpuji bila ia dikerjakan dan tidak di cela bagi yang meninggalkannya.
Pendapat yang pertama mengatakan bahwa syura adalah suatu kewajiban yang difardhukan (wajiban mafrudhan). Pendapat ini adalah yang terkuat (al-rajih). Mereka beralasan bahwa Al-Quran telah menunjuk syura dalam dua ayat.
Dalam salah satu ayat, syura terletak di antara dua rukun Islam yang di nilai penting, yakni shalat dan zakat. Sehingga syura seolah-olah terhitung sebagai salah satu sifat atau pesyaratan yang asasi bagi seorang muslim-mukmin. Tambahan lagi, Allah dalam ayat kedua telah mengkhithab Rasulullah supaya melaksanakan syura dalam bentuk suruhan (al-amr).
Selain dari pada itu, golongan ini mengemukakan alasan bahwa Rasulullah amat banyak melakukan musyawarah, yang diikuti pula oleh sahabat beliau Abu Bakar dan 'Umar. Di antara ulama Mesir yang menganut pendirian ini adalah Syekh Muhammad 'Abduh dan Syekh 'Abd al-Wahab Khallaf.
Pendapat kedua mengatakan bahwa syura itu mandubat. Mereka berpendapat bahwa perintah bermusyawarah itu bukanlah wajib melainkan hanya sunnah (li al-nadb). Perintah supaya Rasulullah bermusyawarah dengan para sahabatnya hanyalah untuk menggembirakan hati sahabat-sahabat tersebut Dengan jalan demikian, para sahabat akan bertambah semangamya untuk menjalankan tugas-tugas yang mereka emban.
Pendapat ini memang dapat menarik sementara orang, tetapi sebagai dikatakan Syekh Khallaf, pendapat ini hanya akan membawa kaum muslimin untuk melalaikan pelaksanaan musyawarah. Akhirnya lambat laun, pendirian mereka ini dapat menghilangkan ruh dan semangat dari prinsip musyawarah itu sendiri.57
Sebagaimana Allah subhanahu wa ta'ala menghadapkan pembicaraan kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam- menurut sebahagian ahli tafsir-bukan karena Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam membutuhkan kepada musyawarah. Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam telah lengkap dengan usaha risalahnya. Tujuannya adalah untuk mengajar manusia agar mengikuti cara-cara yang baik dalam mengatasi berbagai persoalan dunia. Begitu pula, supaya mereka menjadikan Rasul sebagai tauladan dalam berbagai hal yang mereka dituntut melakukannya. Atau dengan ungkapan lain, sebagai dikatakan al-Thabari, "Allah memerintahkan Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam bermusyawarah dengan umatnya, adalah untuk menerangkan perkara itu kepada umatnya supaya dicontoh dalam kehidupan mereka.58
Dari sisi pandangan ini kiranya jelas, syura yang dilakukan Rasulullah adalah untuk mendidik umat agar melakukan musyawarah dalam berbagai persoalan mereka. Sebagai seorang Rasul, Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam pada hakikatnya tidak memerlukan pandangan orang lain untuk menyelesaikan berbagai persoalan.
Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam sebagai Rasul terakhir telah dipersiapkan Allah subhanahu wa ta'ala untuk menjalankan fungsinya. Oleh karena itu, Rasulullah bermusyawarah dengan para sahabatnya semata-mata untuk menggiatkan mereka dalam mengemukakan pandangan tentang hal-hal yang baik.
Berbeda dengan pandangan di atas, khithab kepada Rasulullah dalam bentuk amr itu menunjukkan bahwa syura itu wajib. Rasul seringkali bermusyawarah dengan para sahabatnya. Kemudian para sahabat senantiasa melakukan musyawah untuk memutuskan suatu perkara.
Sebagai dikemukakan al-Qurthubi, Ibn Athiah mengatakan bahwa syura itu merupakan bahagian dari ketentuan syari'at dan ketetapan hukum Islam. Orang yang tidak bermusyawarah dengan ilmuwan dan ahli agama, maka ia wajib dipecat. 59
Lebih jauh, Ibn Huwaiz Mandad mengatakan bahwa para penguasa wajib bermusyawarah dengan para 'ulama dalam hal-hal yang tidak mereka ketahui dan dalam soal-soal agama yang samar-samar, penguasa wajib mengarahkan prajurit dalam soal-soal perang dan mengarahkan orang banyak dalam soal-soal kemaslahatan. Begitu pula, penguasa wajib mengarahkan sekretaris, wazir dan para pejabat dalam hal kemaslahatan dan pengaturan negeri.60
Sehubungan dengan hal ini, Rasyid Ridha mengatakan bahwa bila Allah telah mewajibkan musyawarah atas Rasul-Nya, maka bagi selainnya lebih utama. Keistimewaan Islam menjadikan syura sebagai agama yang berdasarkan ketetapan Allah, Sunnah RasulNya, riwayat al-Khulafa' al-Rasyidun dan ijma' umat. Namun demikian, sebahagian fiiqaha berpendapat lain. Mereka memandang bahwa pelaksanaan syura itu hukumnya sunnat.61
Tegasnya, menurut jumhur ulama, syura itu wajib bagi Rasul dan umatnya dalam berbagai urusan dunia. Bahkan bagi umat, musyawarah itu merupakan kewajiban yang lebih utama, terutama bagi para hakim atau pemerintah. Demikianlah pendapat yang terkuat khususnya di kalangan ahli fikih. Dengan demikian pula, prinsip syura merupakan dasar asasi dalam tatanan pemerintahan Islam.
Demikian uraian panjang lebar tentang konsep syuro dalam pandangan Islam. Lebih spesifik lagi, bahasan syuro yang di maksud dalam estafeta kepemimpinan Islam khususnya pelegitimasian kekhalifahan pasca nubuwah maka berdasar apa yang terjadi di Syuro Saqifah balai Bani Saidah menunjukkan bahwa musyawarah politik (syuro siyasah) menjadi syarat sahnya sebuah kepemimpinan kekhalifahan pasca nubuwah harus.
Adapun legitimasi kekhalifahan Nabi dan Rasul berdasar prosedur Al-Mitsaq, sedangkan bagi lembaga kepemimpinan pelanjut estapeta Nubuwah berdasar prosedur syura as-siyasah. Melalui prosedur syuro baynahum atau syuro siyasah maka pengangkatan khalifah di dalamnya menjadi legitimate karena khalifah di angkat berdasar bai'at dari para penanggung jawab wilayah yang nadir. Khalifah menjadi sah pengangkatannya karena ia di bai'at oleh banyak orang dan bukan seseorang saja atau sekelompok kecil orang saja.
Telah menceritakan kepada kami 'Abdul 'Aziz bin Abdullah telah menceritakan kepadaku Ibrahim bin Sa'd dari Shalih dari Ibnu Syihab dari Ubaidullah bin Abdullah bin Utbah bin Mas’ud dari Ibnu 'Abbas mengatakan; aku menyampaikan petuah-petuah untuk beberapa orang muhajirin yang di antara mereka adalah 'Abdurrahman bin Auf, ketika aku berada di persinggahannya di Mina dan dia bersama Umar bin Khattab, di akhir haji yang dilakukannya.
Tiba-tiba Abdurrahman bin Auf kembali kepadaku dan mengatakan; 'sekiranya engkau melihat seseorang yang menemui amirul mukminin hari ini, orang itu mengatakan; 'Wahai amirul mukminin, apakah engkau sudah tahu berita si rulan yang mengatakan; 'sekiranya Umar telah meninggal, aku akan berbaiat kepada fulan, pembaiatan Abu Bakar ash Shiddiq tidak lain hanyalah sebuah kekeliruan dan sekarang telah berakhir.' Umar serta merta marah dan berujar; 'Sungguh sore nanti aku akan berdiri menghadapi orang-orang dan memperingatkan mereka, yaitu orang-orang yang hendak mengambil alih wewenang perkara-perkara mereka.'
Abdurrahman berkata; maka aku berkata; 'Wahai amirul mukminin, jangan kau lakukan sekarang, sebab musim haji sekarang tengah menghimpun orang-orang jahil dan orang-orang bodoh, merekalah yang lebih dominan didekatmu sehingga aku khawatir engkau menyampaikan sebuah petuah hingga para musafir yang suka menyebarkan berita burung yang menyebarluaskan berita, padahal mereka tidak jeli menerima berita dan tidak pula meletakkannya pada tempatnya, maka tangguhkanlah hingga engkau tiba di Madinah, sebab madinah adalah darul hijrah dan darus sunnah yang sarat dengan ahli fikih para pemuka manusia, sehingga engkau bisa menyampaikan petuah sesukamu secara leluasa dan ahlul ilmi memperhatikan petuah-petuahmu dan meletakkannya pada tempatnya.
Umar menjawab; Demi Allah, insya Allah akan aku lakukan hal itu diawal kebijakan yang kulakukan di Madinah.' Kata ibnu Abbas, Maka kami tiba di Madinah setelah bulan Dzulhijjah, begitu hari jumat kami segera berangkat ketika matahari condong hingga kutemui Sa'id bin Zaid bin 'Amru bin Nufail yang duduk ke tiang minbar, aku duduk di sekitarnya yang lututku menyentuh lututnya, tak lama aku menunggu hingga datanglah Umar bin Khattab, begitu aku melihat dia datang, saya katakan kepada Sa'id bin Zaid dan Amru bin Nufail; 'Sore ini sungguh Umar akan menyampaikan sebuah pesan yang belum pernah ia sampaikan sebelumnya semenjak dia di angkat menjadi khalifah,.' Namun Sa'id mengingkariku dengan mengatakan; 'Semoga kamu tidak kecela, Umar menyampaikan pidato yang belum pernah ia sampaikan sebelumnya.'
Kemudian Umar duduk di atas mimbar. Ketika juru-juru pengumuman telah diam, Umar berdiri memanjatkan pujian yang semestinya bagi-Nya, kemudian dia berkata; 'Amma ba'du, saya sampaikan maklumat kepada kalian yang telah ditakdirkan bagiku untuk menyampaikannya, saya tidak tahu mungkin pidato ini adalah menjelang kematianku, maka barangsiapa mencermatinya dan memperhatikannya dengan baik-baik, hendaklah ia menyampaikannya hingga ke tempat-tempat hewan tunggangannya pergi, dan barangsiapa yang khawatir tidak bisa memahaminya, tidak aku halalkan kepada seorang pun untuk berdusta kepadaku Sesungguhnya Allah telah mengutus Muhammad Shallallahu'alaihiwasallam dengan membawa kebenaran, dan telah Allah turunkan al Quran kepadanya, yang di antara yang Allah turunkan adalah ayat rajam sehingga bisa kita baca, kita pahami dan kita cermati, Rasulullah Shallallahu'alaihiwasallam pernah melaksanakan hukum rajam, maka kita pun harus melakukan hukuman rajam sepeninggal beliau, aku sedemikian khawatir jika zaman sekian lama berlalu bagi manusia, ada seseorang yang berkata; Demi Allah, kami tidak menemukan ayat rajam dalam kitabullah, kemudian mereka tersesat dengan meninggalkan kewajiban yang Allah turunkan, padahal rajam menurut kitabullah adalah hak (benar) bagi orang yang berzina dan ia telah menikah baik laki-laki maupun perempuan dan bukti telah jelas, atau hamil atau ada pengakuan,
Kemudian kita juga membaca yang kita baca dari kitabullah, janganlah kalian membenci ayah-ayah kalian, sebab membenci ayah kalian adalah kekufuran -atau Umar mengatakan dengan redaksi; 'Sesungguhnya ada pada kalian kekufuran jika membenci ayah-ayah kalian- kemudian Rasulullah Shallallahu'alaihiwasallam bersabda: "janganlah kalian memujiku berlebihan sebagaimana Isa bin maryam dipuji, katakanlah bahwa aku hanyalah hamba Allah dan rasul-Nya, " kemudian sampai berita kepadaku bahwa seseorang di antara kalian berkata; 'Sekiranya Umar telah meninggal maka aku akan berbaiat kepada fulan, janganlah seseorang tertipu dengan yang mengatakan; Tianyasanya pembaiatan Abu Bakar kebetulan dan sudah selesai, ' ketahuilah, pembaiatan itu memang telah berlalu, namun Allah menjaga keburukannya, ketahuilah bahwa orang yang mempunyai kelebihan di antara kalian, yang tak mungkin terkejar kelebihannya, ia tak akan bisa menyamai kelebihan Abu Bakar, barangsiapa berbaiat kepada seseorang tanpa musyawarah kaum muslimin, berarti ia tidak dianggap dibaiat begitu juga yang membaiatnya, yang demikian karena dikhawatirkan keduanya akan di bunuh.
Di antara berita yang beresar di tengah kita adalah, ketika Allah mewafatkan Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, orang-orang anshar menyelisihi kami dan mereka semua berkumpul di Saqjfah bani Sa'idah, dan Ali serta Zubair menyelisihi kami serta siapa saja yang bersama keduanya, dan orang-orang muhajirin berkumpul kepada Abu Bakar, maka aku katakan kepada Abu Bakar; 'Wahai Abu Bakar, man kita temui kawan-kawan kita dari Anshar,' maka kami berangkat untuk menemui mereka, tatkala kami telah mendekati mereka, dua orang shalih di antara mereka menemui kami dan mengutarakan kesepakatan orang-orang, keduanya berkata; 'Kalian mau kemana wahai orang-orang muhajirin? ' kami menjawab; 'Kami akan menemui ikhwan-ikhwan kami dari anshar.'
Keduanya berkata; 'Jangan, jangan kalian dekati mereka, putuskanlah urusan kalian.' namun aku katakan; 'Demi Allah, kami harus mendatangi mereka', maka kami pun berangkat hingga mendatangi mereka di Saqifah bani Sa'idah, ternyata disana seorang laki-laki yang berselimut kain ditengah-tengah mereka, saya pun bertanya; 'Siapakah ini? ' Mereka menjawab; 'Ini Sa'd bin Ubadah.' Saya bertanya; 'kenapa dengannya? ' Mereka menjawab; 'Dia tengah sakit dan mengalami demam yang serius.'
Tatkala kami duduk sebentar, juru pidato mereka bersaksi dan memanjatkan pujian kepada Allah dengan pujian yang semestinya bagi-NYA, kemudian mengatakan; "Amma ba'd. Kami adalah penolong-penolong Allah (ansharullah) dan laskar Islam, sedang kalian wahai segenap muhajirin hanyalah sekelompok manusia biasa dan golongan minoritas dari bangsa kalian, namun anehnya tiba-tiba kalian ingin mencongkel wewenang kami dan menyingkirkan kami dari akar-akarnya." Tatkala juru pidato itu diam, aku ingin berbicara dan telah aku perindah sebuah ungkapan kata yang menjadikanku terkagum-kagum dan ingin aku ungkapkan di hadapan Abu Bakar, yang dalam beberapa batasan aku sekedar menyindirnya. Tatkala aku ingin bicara, Abu Bakar menegur; 'Sebentar! ' Maka aku tidak suka jika niatku menjadikannya marah!
Maka Abu Bakar berbicara yang dia lembut daripadaku dan lebih bersahaja. Demi Allah, tidaklah dia meninggalkan sebuah kata yang aku kagumi dalam susunan yang kubuat indah selain ia ucapkan dalam pidato dadakannya yang semisalnya atau bahkan lebih baik hingga dia diam. Kemudian dia mengatakan; "Kebaikan yang kalian sebut-sebutkan memang kalian penyandangnya dan sesungguhnya masalah kekhilafahan ini tidak dipenmtukkan selain untuk penduduk quraisy ini yang mereka adalah pertengahan dikalangan bangsa arab yang nasab dan keluarganya, dan aku telah meridhai salah satu dari dua orang ini untuk kalian, maka baiatlah salah seorang di antara keduanya yang kalian kehendaki.'
Kemudian Abu Bakar menggandeng tanganku dan tangan Abu Ubaidah bin Al Jarrah, dan dia duduk ditengah-tengah kami. Dan tidak ada yang aku benci dari perkataannya selainnya. Demi Allah, kalaulah saya digiring kemudian leherku dipenggal dan itu tidak mendekatkan diriku kepada dosa, itu lebih aku sukai daripada aku memimpin suatu kaum padahal disana masih ada Abu Bakar ash Shiddiq, Ya Allah, kalaulah bukan karena jiwaku membujukku terhadap sesuatu pada saat kematian yang tidak aku dapatkan sekarang, rupanya ada seorang berujar; 'Aku adalah kepercayaan anshar, berpengalaman, cerdas dan tetua yang dihormati, kami punya amir dan kalian juga punya amir tersendiri, wahai segenap quraisy!'
Spontan kegaduhan terjadi seru, suara sangat membisingkan, hingga aku memisahkan diri dari perselisihan dan kukatakan; "Julurkan tanganmu hai Abu Bakar!'
Lantas Abu Bakar menjulurkan tangannya, dan aku berbaiat kepadanya, dan orang-orang muhajirinpun secara bergilir berbaiat, kemudian orang anshar juga berbaiat kepadanya, lantas kami melompat kearah Sa'd bin Ubadah sehingga salah seorang di antara mereka berujar; 'Kalian telah membunuh Sa'd bin Ubadah? 1 Kujawab 'Allah yang membunuh Sa'ad bin Ubadah.' Umar melanjutkan; 'Demi Allah, tidaklah kami dapatkan urusan yang kami temui yang jauh lebih kuat dari pada pembaiatan Abu Bakar, kami sangat khawatir jika kami tinggalkan suatu kaum sedang mereka belum ada baiat, kemudian mereka membaiat seseorang sepeninggal kami sehingga kami membaiat mereka di atas suatu hal yang tidak kami ridhai, atau kita menyelisihi mereka sehingga terjadi kerusakan, maka barangsiapa yang membaiat seseorang dengan tanpa musyawarah kaum muslimin, janganlah diikuti, begitu juga orang yang di baiatnya, karena dikhawatirkan keduanya terbunuh. (HR Bukhari No.6238)
Perhatikan perkataan Umar bin Khattab di atas yang mengungkapkan secara gamblang prinsip musyawarah ini,
"Barangsiapa berbaiat kepada seseorang tanpa musyawarah kaum muslimin, berarti ia tidak dianggap dibaiat begitu juga yang membaiatnya, yang demikian karena dikhawatirkan keduanya akan di bunuh." Mana catatan kakinya?
Kekhawatiran Umar bin Khattab sangat beralasan, sebab pengangkatan Imam yang tidak dengan musyawarah menjadikan pengangkatan tersebut tidak sah baik secara syariah maupun politik Bahkan jika dibiarkan begitu saja dengan mudahnya seseorang mengangkat orang lain sebagai Imam, dikhawatirkan akan terjadi kekacauan di masyarakat.
Dengan memperhatikan penjelasan tentang prinsip musyawarah di atas, maka bisa disimpulkan bahwa musyawarah (Syuro Siyasah) merupakan satu-satunya proses pengesahan seseorang untuk menjadi Imam Daulah (kepala negara Islam).
Berkaitan dengan pengakuan negara lain terhadap hadirnya kekhalifahan atau daulah Islam, maka bisa disampaikan sebagai beriukt. Bahwa sebuah lembaga kepemimpinan umat, tegasnya kekhalifahan Islam hanya berdasarkan kepada legimitasi dari Maha Pemilik sumber otoritas dan legalitas, yakni Allah subhanahu wa ta'ala. Di dalam Al-Qur'an hal ini di sebut dengan di sebut "Wa kafa billahi Syahida" (Qs. 48: 28).
Lembaga kepemimpinan ummat dalam bentuk kekhalifahan Islam atau daulah Islam tidak memerlukan legitimasi atau pengakuan dari negara-negara lain, apalagi jika negara tersebut tidak berdasar Islam. Lahirnya daulah Islam tidak menjadikan pengakuan negara lain sebagai unsur deklaratif berdirinya negara, cukup Allah yang menjadi saksi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.