Renovasi Struktur Kekhalifahan

 

Renovasi Struktur Kckhalifahan adalah istilah yang digunakan oleh Abu Irfan, untuk menunjuk kepada usaha-usaha penyaluran risalah agung dan suci setelah terjadinya kudeta berdarah yang dilakukan oleh Mu awiyah bin Abi Sufyan yang juga memelopori pembentukan rezim Umayyah pasca Khulafaur Rasyidin. Rezim Umayyah dan rezim-rezim setelahnya secara formal telah terputus "benang merah"-nya dari sejarah panjang perjuang Islam yang telah dilabuhkan pertama kali oleh Adam As hingga Khulafaur Rasyidin. Dengan mengutip Qs. 5:19 

Abu Irfan dalam sebuah dirasahnya pada bulan Ramadhan 1420 H menjelaskan bahwa setelah masa Khulafaur Rasyidin terjadi masa "fathraun minar rusul" yaitu sebuah masa dimana tiadanya satupun institusi yang sah secara syari'at yang muncul dari suatu Syuro Ummah sebagaimana "Syuro Baitus Saqifah" dan menjadi penanggung jawab misi kekhalifahan diwilayah dimana institusi tersebut diproklamirkan. 

Kondisi ini sama nalnya pernah muncul pada saat terjadinya kekosongan penanggung jawab institusi Nubuwah pasca Nabi Isa As sampai kemudian datang Muhammad Saw sebagai penanggung jawab institusi kepemimpinan bermanhaj Nubuwwah selanjurnya. Kudeta dilakukan Mu awiyah dengan jalan menggusur dan merebut kekuasaan secara paksa dari Khalifah yang sah yaitu Ah bin Abi Thalib. 

Upaya ini telah menjadikan Rezim Umayyah dan rezim setelannya kehilangan legalitas secara hukum Islam. Pada masa Mulkan 'Adhon inilah (rezim Umayyah, Abasiyah, Faumiyah, Utsmaniyah) muncul raja-raja otoriter yang menyembelih, membunuh dan memberangus siapa-siapa saja yang mencoba untuk mengembalikan Uminat Islam kepada Struktur Kekhalifahan yang legal secara hukum. 

Jangankan berbicara tentang Khilafah bermanhaj Nubuwah, sekedar berbeda pendapat dengan penguasa saja dengan mempertaruhkan nyawa. Abu Irfan selanjurnya menjelaskan bahwa pada masa-masa Mulkan 'Adhon dan ditindaklanjuti dengan masa Mulkan Jabbar inilah muncul literatur-literatur yang disusun dan dibuat oleh penulis-penulis besar yang hampir semuanya tidak secara tuntas dan transparan menjelaskan tentang pentingnya dan caranya melakukan sebuah renovasi struktur kekhalifahan sesuai manhaj nubuwwah yang dengannya ummat dan pimpinan negara akan terbimbing pada jalan yang haq. 

Tafsir-tafsir besar dan kitab-kitab fiqih induk yang dibuat pada masa-masa tersebut, yang kemudian dikutip, diikuti dan dikembangkan oleh penulis setelahnya, tidak memaparkan masalah renovasi struktur kekhalifahan ini. Bisa disebutkan mulai dari Imam Hanafi (80-150 H/699-767 M) yang hidup pada masa Bani Umayyah, Imam Maliki (93-179 H/712-798 M), Imam Syafi'i (150204 H/767-820 M) dan Imam Hambali (164-241 H/780-855 M) yang hidup pada masa Bani Abasiyah, kitab-kitab fiqih yang mereka tulis tidak banyak menyebutkan masalah pentingnya dan caranya melakukan sebuah Renovasi Struktur Kekhalifahan. 

Ini terjadi bukan karena mereka tidak mengerti pentingnya untuk mengembalikan ummat kepada Khilafah yang sesuai dengan manhaj nubuwwah, mengembalikan ummat kepada tatanan hukum Islam yang sesuai dengan manhaj nubuwwah dan uswah Rasulullah dan Khulafaur Rasyidin, namun karena mereka menulis kitab-kitab tersebut dalam bayang-bayang ketakutan dan ancaman dari penguasa, baik itu teror fisik, penjara, penyiksaan, bahkan pembunuhan. 

Fakta ini sangat jelas bisa dibaca dari kitab-kitab sejarah yang menyebutkan keadaan pada masa-masa tersebut, terlebih masa Bani Abasiah - masa dimana kitab-kitab tafsir dan kitab-kitab fiqh induk dibuat. Dari segi tafsir Al-Quran pun demikian halnya. Mufassir-mufassir agung yang menulis kitab-kitab tafsir induk yang menjadi rujukan mufassir setelahnya juga tidak bisa berbuat banyak dalam membuat sebuah tafsir yang bisa mengembalikan ummat kepada manhaj yang sesungguhnya, yaitu khilafah rasyidah sesuai dengan tuntunan Rasulullah dan Khulafaur Rasyidin. 

Bukan karena mereka tidak tahu akan masalah ini. mereka jelas mengusai Al-Qur'an. Hadits-Hadits Shohih dan Shiroh Nabawiyah yang secara gamblang menyebutkan pentingnya ummat untuk dipimpin oleh Imamah Uzhma yang 'adil dan dinaungi oleh Daulah Islamiyah yang menjaga Diin dan siyasah dunia. Namun mereka berada pada masa yang sangat represif dan mtimidatif dimana ancaman pedang mengiringi huruf demi huruf dari kitab-kitab yang mereka tulis.

Bisa disebutkan para mufassir agung tersebut seperti gurunya para mufassir yaitu Ibnu Jarir Ath-Thabary dengan ensiklopedi tafsirnya yang terkenal adalah Jami' Al-Bayan Fi Tafsiri Al-Our'an (wafat 311 H/ 923 M), Taqiyudin Ibnu Taiymiyah (661-728 H/1263-1328 M) dan muridnya yang juga dipenjara bersamanya yaitu Ibnul Qayyim al-Jauziyah (691-751 H), Ibnu Katsir (Tafsir Al-Our'anil Azhim), dan lain sebagainya. 

Intimidasi, penyiksaan, teror dan pembunuhan yang dilakukan oleh penguasa-penguasa rezim Mulkan Adhon diatas terhadap para penulis-penulis agung tersebut menjadi preseden yang buruk bagi penulis-penulis tafsir dan fiqih serta aktifis-aktifis harakah selanjutnya. Dan inilah yang kemudian yang ditiru oleh penguasa-penguasa rezim Mulkan Jabbar untuk melestarikan kekuasaan diktatorial. 

Seperti yang terjadi pada kasus-kasus pembantaian di Mesir dimana aktifis-aktifis harakah yang ingin mengembalikan Umat Islam kepada jalan yang benar dibantai dan dibunuh semena-mena, seperti yang terjadi pada Sayyid Qutb, Aminah Qutb dan lain-lain. Di negeri-negeri lain pun sama pula keadaanya seperti di Negara pecahan Uni Sovyet, Aljazair, Philipina, Turki, Palestina, dan termasuk di Indonesia yang sampai rezim terakhir masih berlangsung.

Bisa dikatakan bahwa setelah berakhirnya Bani Utsmaniyah pada tahun 1924 M. saat itu umat Islam telah diselimuti tabir demi tabir kegelapan, polusi-polusi Kemusyrikan, tirai-tirai yang menutup tashowwur dan 'aqidah Islam yang sedemikian pekat sehingga generasi-generasi selanjutnya semakin kabur dan sulit menemukan kembali gambaran-gambaran tentang Khilafah Islamiyah 'Ala Manhaj Nubuwwah. 

Namun dari sekian banyak kaum muslimin terdapat beberapa aktifis yang mulai sadar akan pentingnya masalah besar ini dipecahkan. Bisa disebutkan seperti Sayid Jamaludin Al-Afghani (18381897 M), Muhammad Abduh (1849-1905 M) dan Muhammad Rasyid Ridha (1865-1935 M) mulai mempromosikan kembali pentingnya kaum muslimin kembali kepada jati dirinya yang sesungguhnya, kembali kepada sumber nilai Islam yang haq dan bergabung dalam suatu Gerakan Pan-Islamisme untuk menentang penjajah yang secara mayoritas menguasai negeri-negeri muslim. Mereka ini dikenal sebagai pengikut-pengikut dari pemikiran Ibnu Taymiyah

Jejak perjalanan selanjutnya terdapat beberapa penulis dan pendiri gerakan-gerakan Islam mulai melakukan napak tilas atas sejarah Daulah Islamiyah masa Rasulullah SAW dan Khulafaur Rasyidin serta yang terpenting adalah membuat tulisan-tulisan yang mencoba melakukan rekonstruksi penularan tentang Daulah Islamiyah dan mendirikan gerakangerakan Islam yang di'azamkan mengembalikan Izzul Islam Wal Muslimin berdasar rekonstruksi yang mereka lakukan. 

Bisa disebutkan seperti Hasan Al-Bana (Ikhwanul Muslimin), Abui A'la Maududi (Jami'at Islam, mendirikan pusat studi bersama Iqbal bernama Darul Islam), Taqiyudin Nabhani (Hizbut Tahrir), Fidayen Islam di Iran, HOS Cokroaminoto (SI) dan lain sebagainya. Namun pergerakan mereka tetap berada dibawah pantauan penguasa dan bahkan tidak sedikit yang berbenturan dengan kekuasan Mulkan Jabbar sehingga mendapat ancaman, teror dan lain sebagainya. 

Namun pada masa ini di Mesir lahir seorang aktifis yang melalui tulisan-tulisannya secara indah mencoba menguak tabir-demi tabir kegelapan (azlizhulumat) yang dihadapi umat Islam, baik tabir yang menutupi tashowwur, aqidah, hukum, daulah dan syariah Islam, dan mencoba memberikan sebuah wawas-pandang dan visi kedepan tentang perbaikan ummat pada tingkat yang paling fundamental. 

Beliau ialah Sayyid Qutb dengan dua buku monumentalnya yaitu Tafsir Fi Zhilail Qur'an dan Ma'alim Fith Thariq. Namun pencerahan yang dilakukan oleh Sayyid Outb ini harus dihargai dengan nyawanya sendiri, dimana ujung kehidupannya berakhir ditiang gantungan (syahiid).

Namun sekian banyak mujahid agung tersebut, belum satupun yang menyatakan proklamasi Daulah Islamiyah dimana mereka berada, baik di Mesir. Pakistan, Libanon, Turki, Aljazair, Amerika. Inggris. Jerman, Afrika, dan lain sebagainya. Diwilayah-wilayah bumi tersebut bisa dikatakan hingga hari ini masih berada dalam kondisi "fathratin minar rusul" yaitu masa dimana tiadanya satu institusipun yang menjadi penanggung jawab penerjemahan misi risalah al-Islam diwilayah tersebut. 

Dan hanya - sekali lagi dengan tanpa lebih atau dilebih-lebihkan - di Indonesia, masa "fathratin minar rusul" tersebut berakhir sejak diproklamirkannya ad-Daulah al-Islam al-Indunisiyyah, yang lahir dari Institusi Kepemirnpinan Islam : Majlis Islam. Majlis Islam sendiri lahir dari sebuah Syuro Ummah.

Melalui lembaga inilah terletak tanggung jawab misi agung dan suci yaitu penzahiran risalah al-Islam disepetak tanah ini. Sehingga setiap orang yang menyatakan dirinya sebagai kaum muslimin yang tinggal di Indonesia harus dan wajib untuk bergabung kedalam washilah tunggal ini sebagai bukti dari taqrirnya guna menjadi bekal dalam memberikan jawaban dan mempertanggung-jawabkan amal perilakunya selama ia hidup di dunia. Demikian pandangan-pandangan Abu Irfan, yang melalui dirasah-dirasahnya secara langsung maupun tidak langsung banyak mewarnai isi buku ini.  Allahummaghfirlahu warhamhu wa’afihi wa’fuanhu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.