“Tidak Ada Wasiat Yang Boleh Diberikan Setelah Kematian Pemilik Hartanya Kecuali Wasiat Tsabit Bin Qais”
Tsabit bin Qais Al Anshary adalah seorang pemuka suku Khajraj yang terpandang. Dan ia juga salah seorang pemuka kota Yatsrib. Lebih dari itu ia adalah orang yang memiliki akal yang cerdas, berpikiran cerdas, pandai berbicara, dan bersuara lantang. Jika ia berbicara, maka ia akan mengalahkan semua lawan bicaranya. Jika ia berkhutbah, maka ia mampu untuk menyihir para pendengarnya.
Khajraj adalah sebuah kabilah yang berasal dari Yaman yang datang ke Madinah dan menetap di sana. Kabilah ini dan kabilah Aus adalah dua kabilah terbesar di Madinah.
Dia adalah salah seorang penduduk Yatsrib yang lebih dahulu masuk Islam. Karena begitu ia mendengar ayat-ayat Dzikrul Hakim (Al Qur’an) yang dibacakan oleh seorang da’I muda dari Mekkah yang bernama Mus’ab bin Umair dengan suara dan intonasinya yang tenang, bacaan tersebut membuat telinganya tertegun mendengarkan keindahan susunannya. Hatinya terpaut dengan kehebatan penjelasannya. Sanubarinya terenggut oleh semua petunjuk dan syariat yang ada di dalamnya. Maka Allah Swt melapangkan dada Tsabit untuk menerima iman, kemudian Ia meninggikan posisi dan sebutan namanya dengan mengajak diri Tsabit untuk bergabung di bawah panji Nabi Al Islam.
Begitu Rasulullah Saw tiba di Madinah sebagai seorang muhajir, Tsabit bin Qais menyambut Beliau bersama dengan serombongan besar penunggang kuda dari kaumnya dengan sebuah penyambutan yang mulia. Tsabit menyambut Rasul dan Abu Bakar dengan cara yang paling indah. Tsabit lalu berkhutbah dengan begitu cakap dihadapan Rasul Saw yang ia mulai dengan memuji Allah dan shalawat serta salam kepada Nabi-Nya… kemudian ia menutup khutbahnya dengan berkata: “Kami berjanji kepadamu, ya Rasulullah untuk melindungi dirimu sebagaimana kami melindungi diri kami, anak-anak kami dan istri-istri kami. Apa balasannya bagi kami?” Rasul Saw lansung menjawab: “Balasannya adalah surga.”
Begitu kata ‘surga’ hinggap di telinga mereka, maka menjadi cerialah wajah mereka karena merasa bahagia, dan mereka berkata:“Kami rela, ya Rasulullah… Kami rela, ya Rasulullah!” Sejak saat itu Rasulullah Saw menjadikan Tsabit bin Qais menjadi khatib Beliau, sebagaimana Beliau juga menjadikan Hassan bin Tsabit sebagai penyair Beliau.
Maka jika Rasul Saw kedatangan para utusan bangsa Arab untuk mengajak Rasul Saw bertanding dengan bahasa Arab yang fashih lewat para orator dan penyair mereka, maka Rasulullah Saw akan meminta Tsabit bin Qais untuk berhadapan dengan para orator tadi, sedangkan Hassan bin Tsabit untuk menghadapi para penyairnya.
Tsabit bin Qais adalah seorang yang memiliki iman yang mendalam, memiliki ketaqwaan yang sesungguhnya. Amat takut kepada Tuhannya. Amat khawatir terhadap segala hal yang dapat mendatangkan murka Allah Swt.
Rasulullah Saw pernah mendapatinya suatu hari sedang ketakutan dengan dadanya yang gemetar. Rasul Saw bertanya kepadanya: “Apa yang terjadi denganmu, wahai Abu Muhammad (pent. Panggilan Tsabit bin Qais)?” Ia menjawab: “Aku takut kalau aku binasa, ya Rasulullah.” Rasul bertanya: “Memangnya kenapa?” Ia menjawab: “Allah Swt telah melarang kita untuk suka dipuji atas apa yang belum kita perbuat. Dan aku mendapati diriku adalah orang yang suka dipuji. Ia juga melarang kita untuk sombong, dan aku mendapati diriku adalah orang yang terlalu percaya diri.”
Rasul terus berusaha untuk menenangkan kesedihan Tsabit sehingga Beliau bersabda: “Ya Tsabit, apakah engkau tidak rela bila engkau akan hidup mulya, mati sebagai syahid dan masuk surga?” Maka berserilah wajah Tsabit dengan kabar gembira ini, ia langsung berkata: “Tentu aku rela, ya Rasulullah… Tentu aku rela, ya Rasulullah!” Rasulullah Saw bersabda: “Engkau akan mendapatkannya.”
Saat firman Allah Swt turun yang berkenaan tentang diri Tsabit dan berbunyi: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu meninggikan suaramu lebih dari suara Nabi, dam janganlah kamu berkata padanya dengan suara keras sebagaimana kerasnya (suara) sebahagian kamu terhadap sebahagian yang lain, supaya tidak hapus (pahala) amalanmu sedangkan kamu tidak menyadari. (QS. Al-Hujurat [49] : 2)
Tsabit langsung menghindari majlis Rasulullah Saw –meskipun ia amat cinta kepada Beliau- ia terus berada di rumahnya sehingga ia hampir tidak pernah meninggalkan rumah tersebut kecuali untuk menunaikan shalat berjamaah. Rasul Saw merasa kehilangan Tsabit dan Beliau bersabda: “Siapa yang dapat membawa kabar tentang Tsabit kepadaku?” Salah seorang dari suku Anshar: “Saya yang akan melakukannya, ya Rasulullah!”
Maka orang tersebut mendatangi rumah Tsabit dan mendapati Tsabit sedang berada di dalam rumah sambil bersedih dan menundukkan kepalanya. Orang Anshar tersebut bertanya kepada Tsabit: “Apa kabar, wahai Abu Muhammad?” Tsabit menjawab: “Kabar buruk.” Orang Anshar tadi bertanya: “Mengapa demikian?” Tsabit menjawab: “Engkau sudah tahu bahwa aku adalah orang yang bersuara keras. Seringkali suaraku melewati suara Rasulullah Saw, sedangkan Al Qur’an telah menurunkan ayat tentang hal ini sebagaimana engkau ketahui. Aku menduga bahwa seluruh amalku telah terhapus dan aku termasuk ahli neraka.”
Orang Anshar tersebut kembali menemui Rasulullah Saw dan menceri takan kepada Beliau apa yang telah ia lihat dan ia dengar. Maka Rasul Saw bersabda: “Pergi dan temuilah dia dan katakan padanya bahwa engkau bukanlah ahli neraka akan tetapi engkau ahli surga.” Dan inilah kabar gembira terhebat yang pernah didengar oleh Tsabit yang senantiasa ia harapkan semasa hidupnya.
Tsabit bin Qais turut serta dalam setiap peperangan yang dilakukan Rasulullah Saw selain Badr. Ia menyeburkan dirinya di medan perang demi mencari syahadah sebagaimana yang telah dijanjikan Rasulullah Saw kepadanya. Akan tetapi ia selalu tidak menemukannya, padahal jaraknya dengan kematian sudah amat dekat.
Hingga terjadilah peperangan melawan kemurtadan antara pasukan muslimin dan Musailamah Al Kadzzab pada masa Abu Bakar As Shiddiq ra. Pada perang tersebut Tsabit bin Qais menjadi amir pasukan suku Anshar, Salim budak Abu Hudzaifah menjadi amir pasukan suku Muhajirin sedangkan yang menjadi panglima pasukan adalah Khalid bin Walid. Ia menjadi panglima pasukan atas semua golongan baik Anshar, Muhajirin maupun orang-orang badui.
Pada saat itu pasukan Musailamah mendapatkan keunggulan atas pasukan muslimin. Sehingga mereka mampu merebut kemah Khalid bin Walid dan berniat untuk membunuh istri Khalid yang bernama Ummu Tamim. Mereka berhasil memutuskan semua tali tenda kemudian merobek-robek tenda tersebut dengan cara yang amat bengis.
Pada saat itu Tsabit bin Qais melihat kelemahan barisan muslimin yang membuat hatinya merasa sedih dan apatis. Ia mendengarkan cercaan yang mereka saling lemparkan sehingga hatinya bertambah gundah. Para orang-orang kota menuduh para orang-orang kampung sebagai penakut. Sedang orang-orang kampung mengatakan bahwa orang-orang kota tidak becus berperang.
Pada saat itulah Tsabit bin Qais memakaikan minyak kematian pada tubuhnya dan ia mengenakan kain kafan. Dia berdiri dengan dipandangi oleh orang disekelilingnya sambil berkata: “Wahai seluruh muslimin, bukan begini cara kita dulu berperang bersama Rasulullah Saw. Alangkah buruk tindakan kalian yang telah membuat musuh berani berhadapan dengan kalian. Alangkah buruk tindakan kalian yang takluk dihadapan para musuh.”
Kemudian ia mengangkat pandangannya ke langit dan berkata: “Ya Allah, aku terlepas dari kemusyrikan yang mereka kerjakan (maksudnya adalah Musailamah dan kaumnya), dan aku juga terlepas dari apa yang diperbuat oleh mereka ini (maksudnya adalah kaum muslimin).”
Kemudian ia menyerang bagai seekor singa buas berjibaku dengan para pejuang sejati lainnya, diantaranya adalah: Al Bara’ bin Malik Al Anshary, Zaid bin Al Khattab saudara Amirul Mukminin Umar bin Khattab, Salim budak Abu Hudzaifah, dan beberapa orang lainnya yang termasuk kaum mukminin yang terdahulu.
Ia menyerang pasukan musuh dengan gagah berani yang menimbulkan semangat bagi pasukan muslimin dan membuat gentar pasukan musyrikin. Ia terus menebaskan pedangnya ke setiap arah sehingga ia terjerembab karena luka yang ada. Ia pun tersungkur di medan laga dengan bola mata yang tenang, gembira dengan apa yang Allah tetapkan baginya sebagai orang yang mati syahid sebagaimana yang telah diberitakan oleh kekasihnya yaitu Rasulullah Saw. dan ia pun bangga dengan kemenangan yang Allah tetapkan bagi pasukan muslimin.
Pada saat itu Tsabit membawa sebuah baju besi yang bagus. Salah seorang prajurit muslim menjumpai tubuh Tsabit lalu mengambil baju tersebut untuk ia kenakan. Pada keesokan hari setelah Tsabit gugur, salah seorang prajurit bermimpi melihat Tsabit yang berkata kepadanya: “Saya adalah Tsabit bin Qais, apakah engkau mengenalku?” prajurit tersebut menjawab: “Ya, aku mengenalmu.”
Tsabit berkata: “Aku akan memberimu wasiat. Jangan kau katakan bahwa ini adalah mimpi karena itu akan membuatnya sia-sia. Kemarin saat aku telah terbunuh, ada seorang prajurit muslim yang menemui tubuhku dengan sifat ini dan itu. Kemudian ia mengambil baju besiku dan membawanya ke arah kemahnya yang terletak di perkemahan terjauh di arah fulan. Kemudian ia meletakkannya di bawah tungku miliknya. Dan ia meletakkan pelana di atas tungku tersebut. Temuilah Khalid bin Walid dan katakan kepadanya agar ia mengirimkan seorang utusan kepada orang yang mengambil baju besi tersebut, selagi masih ada di tempat itu.
Aku juga berwasiat hal lain kepadamu. Janganlah engkau katakan bahwa ini adalah sebuah mimpi bunga tidur, sebab itu akan membuatnya menjadi sia-sia. Katakanlah kepada Khalid: ‘Jika engkau menghadap Khalifah Rasulullah Saw di Madinah sampaikan kepadanya bahwa Tsabit bin Qais masih memiliki hutang sejuml ah ini dan itu… dan fulan dan fulan budak Tsabit akan dibebaskan , asalkan dapat membayarkan hutangku maka kedua budak tersebut akan bebas merdeka.”
Orang tersebut terbangun. Kemudian ia menghadap Khalid bin Walid dan menyampaikan apa yang telah ia dengar dan lihat. Maka Khalid mengutus orang yang akan mengambil baju besi tersebut dari orang yang telah mengambilnya. Ternyata utusan tersebut mendapati baju besi tersebut tepat berada di tempat yang diceritakan kemudian ia membawanya sebagaimana adanya.
Begitu Khalid kembali ke Madinah, ia menceritakan kepada Abu Bakar ra tentang kisah Tsabit bin Qais dan wasiatnya. Abu Bakar pun memperkenankan semua wasiat Tsabit. Tidak ada orang sebelum dan sesudah Tsabit yang wasiatnya diperbolehkan setelah kematiannya. Semoga Allah Swt meridhai Tsabit bin Qais, dan menjadikannya termasuk orang yang berada pada surga tertinggi.
Sumber : Dr. Abdurrahman Ra’fat al-Basya 65 Orang Shahabat Rasulullah SAW
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.