Sholat dengan cara jama’ dan qashar ketika sedang dalam perjalanan merupakan sunnah Rasulullah SAW. Abdullah bin Umar Ra pernah menemani Rasulullah SAW bepergian dan beliau SAW tidak pernah menambah sholatnya melebihi dua raka’at, begitu pula ketika Ibnu Umar menemani Abu Bakar Ra, Umar bin Khattab Ra dan Utsman bin Affan RA
عَنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَاقَالَ : صَحِبْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَكَانَ لاَيَزِيْدُ فِى السَّفَرِ عَلَى رَكْعَتَيْنِ, وَاَبَابَكْرٍ, وَعُمَرَ, وَعُثْمَانَ, كَذَالِكَ. متفق عليه
Dari Ibnu Umar Ra, ia berkata, “Aku pernah menemani Rasulullah SAW sedang dalam bepergian, ia tidak pernah menambah sholatnya melebihi dua raka’at, demikian juga Abu Bakar, Umar dan Utsman”. (HR Ahmad, Bukhari dan Muslim)
Kebolehan mengqashar dan menjama’ sholat ini merupakan shodaqoh dari Allah Swt kepada ummat Islam.
وَعَنْ يَعْلَى بْنِ أُمَيَّةَ قَالَ: قُلْتُ لِعُمَرَبْنِ الْخَطَّابِ: (فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ َاَنْ تَقْصُرُوْا مِنَ الصَّلاَةِ اِنْ خِفْتُمْ اَنْ يَفْتِنَكُمُ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا) فَقَدْأَمِنَ النَّاسَ. فَقَالَ: عَجِبْتُ مِمَّاعَجِبْتَ مِنْهُ, فَسَأَلْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ ذَلِكَ, فَقَالَ: صَدَقَةٌ تَصَدَّقَ اللهُ بِهَاعَلَيْكُمْ, فَاقْبَلُوْا صَدَقَتَهُ.رواه الجماعة إلاالبخارى
Dan dari Ya’la bin Umayah, ia berkata, Aku pernah bertanya kepada Umar bin Khattab (tentang firman Allah yang artinya),”Maka tidaklah mengapa kamu mengqasharkan sholatmu jika kamu kuatir diserang orang-orang kafir (Annisa : 101), sedang manusia sungguh sudah dalam keadaan aman”. Kemudian Umar menjawab, “Aku (juga) heran tentang apa yang kamu herankan itu lalu aku bertanya kepada Rasulullah SAW tentang hal tersebut, kemudian ia menjawab, “Itu adalah sedekah yang diberikan Allah kepadamu, maka terimalah sedekah-Nya itu”. (HR Jamaah kecuali Bukhari)
Sekalipun menjama’ dan mengqashar merupakan shodaqoh, Allah Swt senang apabila shodaqoh ini dijalankan.
وَعَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ "إِنَّ اللهَ يُحِبُّ اَنْ تُؤْتَي رُخَصُهُ كَمَايَكْرَهُ اَنْ تُؤْتَي مَعْصِيَتُهُ" رواه احمد
Dan dari Ibnu Umar, ia berkata: Rasulullah SAW. Bersabda: Sesungguhnya Allah senang keringanan-keringanan hokum-Nya itu diamalkan, sebagaimana ia benci larangan-Nya itu dikerjakan. HR. Ahmad
Secara historis, pada awalnya sholat fardhu yang diwajibkan pada periode Makiyyah setelah diturunkan pada peristiwa Isra Mi’raj hanya berjumlah dua raka’at-dua raka’at, dan Rasulullah SAW menetapkannya sebagai sholat safar.
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا قَالَتْ: ( أَوَّلُ مَا فُرِضَتْ اَلصَّلَاةُ رَكْعَتَيْنِ , فَأُقِرَّتْ صَلَاةُ اَلسَّفَرِ وَأُتِمَّتْ صَلَاةُ اَلْحَضَرِ ) مُتَّفَقٌ عَلَيْه
“'Aisyah Ra berkata, “Sholat itu awalnya diwajibkan dua raka’at, lalu ia ditetapkan sebagai sholat dalam perjalanan, dan sholat di tempat disempurnakan (ditambah)”. (HR Bukhari dan Muslim)
Setelah turun perintah hijrah ke Madinah, maka pelaksanaan 5 (lima) sholat fardhu ditambah raka’atnya, dimana sholat Isya, Zhuhur dan Ashar menjadi empat raka’at. Sedangkan sholat maghrib menjadi tiga raka’at dan sholat shubuh tetap dua roka’at. Adapun sholat safar (dalam perjalanan) ditetapkan kembali kepada kondisi semula yaitu dua raka’at.
وَلِلْبُخَارِيِّ: ( ثُمَّ هَاجَرَ, فَفُرِضَتْ أَرْبَعًا, وَأُقِرَّتْ صَلَاةُ اَلسَّفَرِ عَلَى اَلْأَوَّلِ )
Menurut riwayat Bukhari: Kemudian beliau hijrah, lalu diwajibkan sholat empat raka’at, dan sholat dalam perjalanan ditetapkan seperti semula
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.