Prinsip Pelantikan Kepemimpinan



Prinsip Pelantikan Kepemimpinan (Bai'at). Bai’at diartikan dengan janji setia. Menurut kamus Lisanul Arab-nya Ibnu Mandhur, disebutkan bai’at memiliki beberapa arti: 

a. ash-shafqatu ‘ala ijabi al-bai’i (uluran tangan sebagai tanda persetujuan transaksi jual beli)

b. al-mubaya’ah wa ath-tho’ah (pemberian kekuasaan dan ketaatan)

c. wa qad tabaaya’uu ‘ala al-amri (sungguh mereka telah sepakat memberikan kekuasaan atas perkara itu)

d. ‘aahada (membuat perjanjian dengan)

e. wa qad sumiyat bidzalika tasybiihan bi al-mu’aawadhah al-maliyah (sungguh bai’at dinamakan dengan itu karena serupa dengan menerima dan memberi harta benda). 


Al Quran dan Hadits Rasulullah SAW menyebutkan pengertian bai’at ini diantaranya:

إِنَّ اللَّهَ اشْتَرَى مِنَ الْمُؤْمِنِينَ أَنْفُسَهُمْ وَأَمْوَالَهُمْ بِأَنَّ لَهُمُ الْجَنَّةَ يُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَيَقْتُلُونَ وَيُقْتَلُونَ وَعْدًا عَلَيْهِ حَقًّا فِي التَّوْرَاةِ وَالإنْجِيلِ وَالْقُرْآنِ وَمَنْ أَوْفَى بِعَهْدِهِ مِنَ اللَّهِ فَاسْتَبْشِرُوا بِبَيْعِكُمُ الَّذِي بَايَعْتُمْ بِهِ وَذَلِكَ هُوَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ (١١١)

“Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mukmin diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. mereka berperang pada jalan Allah; lalu mereka membunuh atau terbunuh. (Itu telah menjadi) janji yang benar dari Allah di dalam Taurat, Injil dan Al Quran. dan siapakah yang lebih menepati janjinya (selain) daripada Allah? Maka bergembiralah dengan jual beli yang telah kamu lakukan itu, dan Itulah kemenangan yang besar. (Qs. 9:111)

إِنَّ الَّذِينَ يُبَايِعُونَكَ إِنَّمَا يُبَايِعُونَ اللَّهَ يَدُ اللَّهِ فَوْقَ أَيْدِيهِمْ فَمَنْ نَكَثَ فَإِنَّمَا يَنْكُثُ عَلَى نَفْسِهِ وَمَنْ أَوْفَى بِمَا عَاهَدَ عَلَيْهُ اللَّهَ فَسَيُؤْتِيهِ أَجْرًا عَظِيمًا (١٠)   

“Bahwasanya orang-orang yang berjanji setia kepada kamu Sesungguhnya mereka berjanji setia kepada Allah. tangan Allah di atas tangan mereka, Maka Barangsiapa yang melanggar janjinya niscaya akibat ia melanggar janji itu akan menimpa dirinya sendiri dan Barangsiapa menepati janjinya kepada Allah Maka Allah akan memberinya pahala yang besar. (Qs 48:10)

لَقَدْ رَضِيَ اللَّهُ عَنِ الْمُؤْمِنِينَ إِذْ يُبَايِعُونَكَ تَحْتَ الشَّجَرَةِ فَعَلِمَ مَا فِي قُلُوبِهِمْ فَأَنْزَلَ السَّكِينَةَ عَلَيْهِمْ وَأَثَابَهُمْ فَتْحًا قَرِيبًا (١٨)

“Sesungguhnya Allah telah ridha terhadap orang-orang mukmin ketika mereka berjanji setia kepadamu di bawah pohon, Maka Allah mengetahui apa yang ada dalam hati mereka lalu menurunkan ketenangan atas mereka dan memberi Balasan kepada mereka dengan kemenangan yang dekat (waktunya)[1400]. (Qs. 48:18)


Diriwayatkan dari Abdulah bin Umar ra bahwa Rasulullah SAW bersabda:

مَنْ خَلَعَ يَدًا مِنْ طَاعَةٍ لَقِيَ اللهَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ لَا حُجَّةَ لَهُ وَمَنْ مَاتَ وَلَيْسَ فِي عُنُقِهِ بَيْعَةٌ مَاتَ مِيتَةً جَاهِلِيَّةً

“Barangsiapa melepaskan ketaatannya maka dia bertemu Allah dalam keadaan tidak memiliki hujjah dan barangsiapa yang mati dalam keadaan tidak berbai’at maka dia mati seperti mati jahiliah.” (HR. Muslim no. 1851)

Berkaitan dengan makna mati jahiliyyah pada hadits di atas kita bisa merujuknya kepada apa yang difahami oleh Zubair bin Awwam, ketika dia berkata pada hari berlangsungnya musyawarah di Saqifah, 

“Seandainya batas-batas Allah yang telah mewajibkan beberapa kewajiban kepada-Nya, yang menentukan kewajiban-kewajiban itu harus dijalankan oleh yang berhak, dan yang menajdikan kewajiban-kewajiban itu hidup tidak mati (terus berlaku) itu tidak ada, niscaya lari dari kekuasaan merupakan sesuatu yang terpelihara (boleh). Namun kewajiban kami pada Allah adalah memenuhi panggilannya, menampakkan as-Sunnah agar kami tidak mati seperti matinya orang-orang sesat, dan agar kami tidak sesat sebagaimana sesatnya orang-orang Jahiliyah”. 

Zubair bin Awwam dengan demikian mengibaratkan orang yang mati jahiliyyah itu adalah seperti orang-orang yang tidak memiliki Imam (pemimpin), dan Zubair sangat khawatir sekali akan munculnya kondisi semacam ini.

Secara istilah para ulama menyebutkan pengertian bai’at sebagai berikut. Ibnu Atsir mengatakan:

اَلْبَيْعَةُ هُوَ عِبَارَةٌ عَنِ الْمُعَاقَدَةِ عَلَيْهِ وَ الْمُعَاهَدَةُ كَاَنَّ كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا بَايَعَ مَاعِنْدَهُ مِنْ صَاحِبِهِ وَاَعْطَاهُ خَالِصَةَ نَفْسِهِ وَطَاعَتَهُ وَدَخِيْلَةَ اَمْرِهِ

“Baiat adalah suatu ungkapan dari saling mengikat atau saling berjanji, seolah-olah masing-masing dari keduanya telah menjual apa yang ada pada dirinya kepada saudaranya dan ia telah memberikan ketulusan hatinya, ketaatannya dan urusan internalnya.  

Sedangkan Ibnu Khaldun mengatakan:

اِعْلَمُ اَنَّ الْبَيْعَةُ هِيَ الْعَهْدُ عَلَى الطَّاعَةِ كَاَنَّ الْمُبَايِعَ يُعَاهِدُ أَمِيْرَهُ عَلَى أَنَّهُ يُسْلِمُ لَهُ النَّظْرَ فِي أَمْرِ نَفْسِهِ وَأُمُوْرِ اْلمُسْلِمِيْنَ لاَيُنَازِعُهُ فِي شَيْئٍ  

“Ketahuilah, bai’at itu adalah perjanjian untuk taat, seolah-olah orangyang berbai’at mengadakan kontrak dengan pemimpinnya, dengan mengerahkan segenap urusannya dan urusan kaum muslimin  pada umumnya kepadanya tanpa ada keinginan sedikitpun untuk merebutnya. Ia akan tunduk dan patuh kepada semua tugas yang diperintahkan pemimpinnya kepadanya, baik yang menyenangkan maupun yang susah”. 

Ibnu Khaldun juga menjelaskan, 

“Apabila mereka telah menyatakan ikrar setia kepada seorang pemimpin dan mengadakan kontrak, maka mereka meletakkan tangan-tangan mereka pada tangannya untuk memperkuat ikrar tersebut. Hal ini menyerupai aktifitas penjual dan pembeli. Karena itulah, ikrar setia ini dinamakan bay’ah, bentuk infinitif dari ba’a. Sehingga al-bai’ah mempunyai pengertian berjabat tangan. Inilah terminologi bai’ah dan diterima oleh syari’at”. 

Ibnu Taimiyah yang menulis risalah khusus tentang Bai’at in menjelaskan, 

“Permasalahan Pertama: Bai'at seperti apakah yang disyari'atkan, yang jika ditinggalkan seorang muslim akan berdosa? Apakah yang dimaksudkan di sini adalah ber-bai'nt kepada seorang ulama (syaikh)?, atau pemimpin sebuah jama'ah Islam? Bagaimanakah caranya? Sedangka ulama dan jama'ah Islam sangat banyak dan tidfj terbilang jumlahnya! Ataukah kita ber-bai'at kepad pemimpin pemerintahan Islam yang menegakkan syariat Allah? Ada beberapa kemungkinan dalam hal ini.

Kaum Muslimin saat ini belum memiliki pemerinta yang layak diberikan bai'at syar 'iyah. Lalu apakah da kondisi seperti ini seorang muslim berdosa jika meninggalkan bai'at! Atau mereka baru bisa dikatakan berdosa jika sudah ada pemerintahan Islam yang tegak tapi mereka enggan berbai'at'?

Makna yang paling mendekati kebenaran menurut kami adalah dari banyaknya dalil bahwa bai'at yang disyariatkan adalah bai'at kepada pemimpin pemerintahan Islam. Barangsiapa yang mampu berbai'at tetapi dia tidak melaksanakannya maka dia akan berdosa. Tapi jika dia tidak mampu atau belum memenuhi syarat maka dia tak berdosa. Wallahu a'lam.

Kami tertarik membahas masalah ini, karena hadits-hadits yang bertemakan bai 'at kerap disebut-sebut dalam konteks Amal Jama 'i (kerja sama) dalam gerakan Islam, yang kebanyakan organisasi dakwah menggunakan hadits-hadits tersebut untuk mempengaruhi orang lain agar bergabung dengan mereka. Sikap ini melahirkan keyakinan sebagian dari mereka bahwa yang di luar barisan mereka atau yang tidak ber-bai'at dalam organisasi mereka hukumnya berdosa, bahkan ada keyakinan bahwa orang yang mati dan tidak berbai!at kepada mereka maka matinya seperti mati orang jahiliyyah. Ini adalah pemahaman yang salah dan akan melahirkan sikap-sikap yang kaku.”` 

Dengan demikian Bai’at yang dimaksud dalam hadits-hadits Rasulullah SAW adalah bai’at kepada Imam dalam pengertian Kepala Negara (Imam A’zham), dan bai’at jenis ini adalah wajib hukumnya bagi setiap muslim di mana di wilayahnya terdapat seorang kepala negara Islam. 

Menurut Mahmud Al-Khalidi, dalam peristiwa Syuro Saqifah Bani Saidah, terdapat dua jenis Bai’at yaitu Bai’atu al-in’iqad dan Bai’atu ath-Tha’ah (bai’atu al-‘ammah).


Dalam peristiwa bai’at terhadap Abu Bakar sebagai Khalifah, Asy-Syaukani menyebutkan,

“Sesungguhnya para sahabat ketika mereka menjadikan Abu Bakar sebagai Khalifah, maka mereka menyerahkan kekhilafahan kepada Abu Bakar berdasarkan Ijma’ (konsensus) mereka yang hadir. Diketahui bahwa diantara para sahabat ada yang absen, sebab sebelum Nabi SAW wafat mereka sudah pergi ke beberapa daerah, dan diantara orang yang ada di Madinah pun ada yang tidak ikut dalam bai’at. Meski demikian hal itu tidak menganggap tidak adanya kesepakatan mayoritas”. 

Kesepakatan tersebut bisa dilakukan sekalipun tidak dihadiri oleh mayoritas penduduk Madinah, hal ini memungkinkan karena mereka yang hadir di Saqifah adalah tokoh-tokoh besar sahabat, pendapat mereka dihormati, mereka terlibat penuh dalam membantu kepemimpinan Rasulullah SAW sebelumnya. Dalam kisah pengangkatan Abu Bakar sebagai khalifah juga di catat bahwa sejumlah besar sahabat tidak ikut dalam Syuro Saqifah karena sedang berada dalam pasukan Usamah bin Zaid yang akan menaklukkan Kerajaan Ghassani.

An-Nawawi berkata, “Akad penyerahan imamah (kekhilafahan) dilaksanakan dengan bai’at, dan yang lebih baik dilaksanakan dengan bai’at Ahlul Halli wal Aqdi yang mereka itu mudah untuk berkumpul”. 

Abi Ya'la berkata, 

"Apabila Ahlul Halli wal Aqdi telah berkumpul untuk memilih (Khalifah), mereka meneliti dengan teliti keadaan ahlul imamah (kandidat Khalifah), mana di antara mereka yang telah memenuhi syarat-syaratnya, lalu mereka mengajukan bai'at kepada salah seorang dari mereka yang memiliki lebih banyak keutamaan dan paling sempurna per-syaratannya. Apabila berdasarkan ijtihad mereka telah jelas mana di antara kandidat Khalifah itu yang layak, maka mereka memilihnya dan mengajukan bai'at kepadanya. Sehingga apabila dia mengabulkan permin-taan mereka untuk dibai'at, maka mereka membai'at-nya. Dengan demikian, selesailah akad penyerahan imamah (kekhilafahan) kepadanya dengan melalui bai'at mereka.  

Ini sejalan dengan pendapat al-Mawardi mengenai eksistensi Ahlul Ikhtiyar: "Mereka dapat dijadikan hujjah, dan dengan bai'at mereka dis rahkan kekhilafahan."   yakni "Imamah itu diserahkan oleh orang yang berhak menyerahkannya kepada orang yang layak untuk menduduki imamah."      

Demikianlah pendapat-pendapat ulama bahwa kekhilafahan itu diserahkan melalui bai'at Ahlul Halli wal Aqdi, dan yang sebagian lagi menamakan mereka dengan Ahlul Ikhtiyar. Dengan demikian, bai'at in'iqad terbatas pa-da jumlah tertentu di antara kaum muslimin, tidak (harus) pada seluruh kaum muslimin. Apabila bai'at in'iqad telah selesai, maka jadilah orang yang dibai'at sebagai kepala Negara Islam.   

Adapun tentang bai’at ath-tho’ah atau yang lebih dikenal dengan bai’at al’ammah sebagaimana terngkap dalam Hadits Abu Bakar dan Umar tentang Saqifah, maka Bai’at Ath-Tho’ah adalah bai’at mayoritas keum muslimin kepada orang yang telah selesai dilakukan bai’at penyerahan jabatn kekhilafahan kepadanya”. Penyerahan jabatan kekhalifahan dilakukan melalui bai’atu al in’iqad, sedangkan pernyataan kesiapan untuk taat kepada Imam Dawlah dilakukan melalui Bai’at Ath-Tho’ah. 

Bisa disimpulkan pula bahwa, Orang yang telah dipilih melalui proses Syuro Ummah tidak akan sah menjadi Kepala Negara Islam, selama yang bersangkutan belum mengikuti Bai’at al-In’iqad.

Dengan memperhatikan penjelasan tentang prinsip bai’at di atas, maka bisa disimpulkan bahwa Bai’at merupakan satu-satunya methode pengukuhan seseorang untuk menjadi Imam Dawlah (kepala negara Islam), di mana calon Imam membacakan bai’at pengukuhan (bai’at in’iqad) dihadapan Ahlu Syuro yang representatif dan memiliki legalitas untuk itu, kemudian Imam dibai’at secara umum (bai’atul ‘ammah/bai’atu tho’at) oleh warga Madinah.

Selanjutnya berkaitan dengan penerapan prinsip musyawarah dan bai’at akan kami jelaskan lebih detil pada bagian di bawah ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.