Dalam kamus Lisaanul ‘Arab, kata riba diambil dari kata رَبَا. Jika seseorang berkata رَبَا الشَّيْئُ يَرْبُوْ رَبْوًا وَرَبًا artinya sesuatu itu bertambah dan tumbuh. Jika orang menyatakan أَرْبَيـْتُهُ artinya aku telah menambahnya dan menumbuhkannya.
Dalam al-Qur-an disebutkan:
وَيُرْبِي الصَّدَقَاتِ
“…Dan menyuburkan sedekah…” QS. [Al-Baqarah/2: 276]
Dari kata itu diambillah istilah riba yang hukumnya haram, Allah Ta’ala berfirman:
وَمَا آتَيْتُمْ مِنْ رِبًا لِيَرْبُوَ فِي أَمْوَالِ النَّاسِ فَلَا يَرْبُو عِنْدَ اللَّهِ
“Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia menambah pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah…” [QS. Ar-Ruum/30: 39]
Maka dikatakan, رَبَا الْمَالُ (Harta itu telah bertambah). Sehingga secara bahasa riba berarti bertambah dan tumbuh (zaada wa namaa). (Lihat Al-Qamus Al-Muhith, 3: 423)
Sedangkan secara terminologi, para ulama berbeda-beda dalam mengungkapkannya. Di antara definisi riba yang bisa mewakili definis yang ada adalah definisi dari Muhammad Asy Syirbiniy. Riba adalah,
عَقْدٌ عَلَى عِوَضٍ مَخْصُوصٍ غَيْرِ مَعْلُومِ
التَّمَاثُلِ فِي مِعْيَارِ الشَّرْعِ حَالَةَ الْعَقْدِ أَوْ مَعَ تَأْخِيرٍ فِي الْبَدَلَيْنِ أَوْ أَحَدِهِمَا
“Suatu akad/transaksi pada barang tertentu yang ketika akad berlangsung tidak diketahui kesamaannya menurut ukuran syari’at, atau adanya penundaan penyerahan kedua barang atau salah satunya.” (Mughni Al-Muhtaj, 6: 309)
Ada pula definisi lainnya seperti yang dikemukakan oleh Ibnu Qudamah, riba adalah:
الزِّيَادَةُ فِي أَشْيَاءَ مَخْصُوصَةٍ
“Penambahan pada barang dagangan/komoditi tertentu.” (Al-Mughni, 7: 492)
TAHAPAN PENGHARAMAN RIBA
Syekh Jalaluddin as-Suyuthi dalam kitabnya, al-Itqân fi UlûmiL Qurân menukil sebuah hadits riwayat Imam Bukhari, mengatakan bahwa ayat terakhir yang diturunkan oleh Allah subhanahu wata’ala adalah ayat tentang keharaman riba. Hadits yang sama juga diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Ibnu Majah, Imam Baihaqi dengan menyan-darkan sanad pada Umar bin Khathab radliyallahu ‘anhu.
Ibnu Mardawaih juga meriwayatkan hadits dengan sanad dari Abu Saīd al-Khudri, dan dari Said bin Jubair dan dari Ibnu ‘Abbâs. Sementara an-Nasai meriwayatkan hadits dari dua jalur sanad yaitu dari Ikrimah dan dari Ibnu ‘Abbâs radliyallahu ‘anhum.
Semua riwayat hadits ini sepakat bahwa ayat terakhir yang diturunkan adalah ayat tentang riba, yaitu Al-Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 278. Allah subhanahu wata’ala berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَذَرُوا مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبَا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ
Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kalian kepada Allah dan tinggalkanlah apa yang tersisa dari riba!” (QS Al-Baqarah: 278)
Ayat ini berisikan perintah meninggalkan riba. Yang artinya Allah subhanahu wata’ala secara tegas menyatakan keharaman riba.
Perlu diketahui bahwa, tahapan ayat yang berbicara soal hukum riba adalah menyerupai tahapan pengharaman khamr. Menurut Syekh Ahmad Musthafa al-Maraghî dalam Tafsîr al-Marâghî, ada empat tahapan pengharaman riba. Tahap pertama, Allah subhanahu wata’ala hanya menunjukkan sisi negatif dari riba, sebagaimana dalam Surat ar-Rûm ayat 39, “Dan sesuatu Riba (tambahan) yang kamu berikan agar Dia bertambah pada harta manusia, Maka Riba itu tidak menambah pada sisi Allah. dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, Maka (yang berbuat demikian) Itulah orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya).” Ayat ini turun sebelum hijrah Nabi ke Yatsrib.
Tahap kedua, Allah subhanahu wata’ala menunjukkan isyarat keharaman riba. Pada tahap ini Allah subhanahu wata’ala mengecam praktik riba yang dilakukan oleh orang-orang Yahudi. Asal-usul kecaman adalah ditekankan pada aspek kezaliman yang terjadi akibat praktik riba tersebut. Hal ini sebagaimana diungkap dalam QS An-Nisa’ ayat 160-161, ““Maka disebabkan kedhaliman orang Yahudi, maka kami haramkan atas mereka (memakan makanan) yang baik-baik (yang dahulunya) dihalalkan bagi mereka, dan karena mereka banyak menghalangi (manusia) dari jalan Allah dan disebabkan mereka memakan riba, padahal sesungguhnya mereka telah dilarang darinya, dan karena mereka memakan harta orang dengan jalan yang batil. Dan Kami telah menjadikan untuk orang-orang kafir di antara mereka itu siksa yang pedih.” (QS an-Nisa: 160-161)
Selanjutnya setelah mengecam praktik orang Yahudi ini, Allah subhanahu wata’ala melakukan pengharaman riba secara parsial (juz’iyah). Ayat yang turun di dalam tahap ketiga ini adalah Surat Ali Imran ayat 130.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تَأْكُلُواْ الرِّبَا أَضْعَافاً مُّضَاعَفَةً وَاتَّقُواْ اللّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan”.
Ayat yang turun sebelum futuh ini secara historis mengharamkan riba yang disebut dengan riba jahiliyyah yaitu riba dalam masalah hutang piutang.
Pada tahap terakhir dinyatakan keharaman riba secara mutlak, yaitu melalui firman Allah subhanahu wata’ala pada Surat al-Baqarah ayat 278-280. Ayat ini turun pasca Futuh Makkah.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَذَرُوا مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبَاإِن كُنتُم مُّؤْمِنِينَفَإِن لَّمْ تَفْعَلُوا فَأْذَنُوا بِحَرْبٍ مِّنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ ۖ وَإِن تُبْتُمْ فَلَكُمْ رُءُوسُ أَمْوَالِكُمْ لَا تَظْلِمُونَ وَلَا تُظْلَمُونَوَإِن كَانَ ذُو عُسْرَةٍ فَنَظِرَةٌ إِلَىٰ مَيْسَرَةٍ ۚ وَأَن تَصَدَّقُوا خَيْرٌ لَّكُمْ ۖ إِن كُنتُمْ تَعْلَمُونَ
Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, tinggalkanlah apa yang tersisa dari riba, jika kalian adalah orang-orang yang beriman. Maka jika kalian tidak meninggalkan, maka umumkanlah perang kepada Allah dan Rasul-Nya. Maka jika kalian bertaubat, maka bagi kalian adalah pokok harta kalian. Tidak berbuat dhalim lagi terdhalimi. Dan jika terdapat orang yang kesulitan, maka tundalah sampai datang kemudahan. Dan bila kalian bersedekah, maka itu baik bagi kalian, bila kalian mengetahui.” (QS al-Baqarah: 278-280).
Dari penjelasan diatas, maka kita bisa menarik kesimpulan ada beberapa tahapan turunnya ayat tentang riba, antara lain adalah sebagai berikut:
1. Riba dicela disebabkan karena keberadaan unsur negatif yang dikandungnya (QS ar-Rûm: 39)
2. Selanjutnya riba dicela disebabkan karena adanya unsur zalim (aniaya) di dalam praktik riba orang yahudi (QS an-Nisa’: 160-161)
3. Selanjutnya riba dicela disebabkan karena keberadaan ziyadah yang berlipat-lipat dalam praktik riba masyarakat jahiliyah (QS Ali Imran: 130-132)
4. Terakhir, riba mutlak diharamkan, (QS. Al-Baqarah: 278-280).
Dari proses pentahapan tersebut bisa difahami bahwa pelarangan riba, sebagaimana halnya pelarangan khamar, ternyata tidak dilakukan dalam satu ayat atau satu perintah. Ini memerlukan proses pembinaan moral hukum terlebih dahulu sebelum ada keputusan tentang pengharaman riba yang diputuskan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam selaku ulil amri di Madinah.
Berbicara tentang riba maka berbicara tentang dengan budaya di masyarakat Jahiliyyah dimana riba sudah menggurita sedemikian jauh sehingga memerlukan pentahapan dalam pelarangannya. Tidak beda dengan kondisi pada pada masa lalu, mungkin sekarang lebih parah kondisinya, sebagaimana disabdakan Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam,
لَيَأْتِيَنَّ عَلَى النَّاسِ زَمَانٌ لاَ يُبَالِى الْمَرْءُ بِمَا أَخَذَ الْمَالَ ، أَمِنْ حَلاَلٍ أَمْ مِنْ حَرَامٍ
“Akan datang suatu zaman di mana manusia tidak lagi peduli dari mana mereka mendapatkan harta, apakah dari usaha yang halal atau haram.” (HR. Bukhari)
RIBA SEBAGAI DOSA YANG MENGHANCURKAN
Riba termasuk dalam 7 (tujuh) dosa besar yang menghancurkan. Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang umatnya dari perbuatan riba dan menyampaikan bahwa riba termasuk tujuh perbuatan yang menghancurkan. Sebagaimana disebutkan dalam hadits:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ اجْتَنِبُوا السَّبْعَ الْمُوبِقَاتِ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَا هُنَّ قَالَ الشِّرْكُ بِاللَّهِ وَالسِّحْرُ وَقَتْلُ النَّفْسِ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلَّا بِالْحَقِّ وَأَكْلُ الرِّبَا وَأَكْلُ مَالِ الْيَتِيمِ وَالتَّوَلِّي يَوْمَ الزَّحْفِ وَقَذْفُ الْمُحْصَنَاتِ الْمُؤْمِنَاتِ الْغَافِلَاتِ
Dari Abu Hurairah Radhiyallahuanhu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Beliau bersabda, “Jauhilah tujuh (dosa) yang membinasakan!” Mereka (para sahabat) bertanya, “Wahai Rasulullah! Apakah itu?” Beliau menjawab, “Syirik kepada Allâh, sihir, membunuh jiwa yang Allâh haramkan kecuali dengan haq, memakan riba, memakan harta anak yatim, berpaling dari perang yang berkecamuk, menuduh zina terhadap wanita-wanita merdeka yang menjaga kehormatan, yang beriman, dan yang bersih dari zina”. [HR. al-Bukhari dan Muslim]
Terdapat banyak hadits dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang bahayanya riba dan akibat yang akan ditanggung oleh mereka yang masih melakukan riba.
Dari Jabir bin ‘Abdillah, beliau berkata,
لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- آكِلَ الرِّبَا وَمُوكِلَهُ وَكَاتِبَهُ وَشَاهِدَيْهِ وَقَالَ هُمْ سَوَاءٌ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat pemakan riba (rentenir), orang yang menyerahkan riba (nasabah), pencatat riba (sekretaris) dan dua orang saksinya.” Beliau mengatakan, “Mereka semua itu sama.”(HR. Muslim no. 1598)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
دِرْهَمُ رِبًا يَأْكُلُهُ الرَّجُلُ وَهُوَ يَعْلَمُ أَشَدُّ مِنْ سِتَّةِ وَثَلاَثِيْنَ زَنْيَةً
“Satu dirham yang dimakan oleh seseorang dari transaksi riba sedangkan dia mengetahui, lebih besar dosanya daripada melakukan perbuatan zina sebanyak 36 kali.” (HR. Ahmad dan Al Baihaqi)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الرِبَا ثَلاَثَةٌ وَسَبْعُوْنَ بَابًا أيْسَرُهَا مِثْلُ أَنْ يَنْكِحَ الرُّجُلُ أُمَّهُ وَإِنْ أَرْبَى الرِّبَا عِرْضُ الرَّجُلِ الْمُسْلِمِ
“Riba itu ada 73 pintu (dosa). Yang paling ringan adalah semisal dosa seseorang yang menzinai ibu kandungnya sendiri. Sedangkan riba yang paling besar adalah apabila seseorang melanggar kehormatan saudaranya.” (HR. Al Hakim dan Al Baihaqi)
Tersebarnya riba di masyarakat merupakan sebuah “izin” dari suatu kaum bahwa mereka berhak dan layak untuk mendapatkan adzab dari Allah ta’ala. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا ظَهَرَ الزِّناَ وَالرِّبَا فِي قَرْيَةٍ فَقَدْ أَحَلُّوْا بِأَنْفُسِهِمْ عَذَابَ اللهِ
“Apabila telah marak perzinaan dan praktek ribawi di suatu negeri, maka sungguh penduduk negeri tersebut telah menghalalkan diri mereka untuk diadzab oleh Allah.” (HR. Al Hakim).
Semoga Allah subhanahu wa ta’ala memberikan kekuatan dan kemampuan kepada kita untuk menjauhi riba dalam seluruh aspek hidup dan kehidupan. Amiin yaa rabbal ‘alamiin.
*dari banyak sumber
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.