Dalam kondisi tertentu Syariah Islam memberikan keringanan kepada orang-orang tertentu untuk tidak shaum dan dipandang tidak berdosa. Sebagaimana secara nyata disebutkan dalam ayat berikut ini.
أَيَّامًا مَعْدُودَاتٍ فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ فَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌ لَهُ وَأَنْ تَصُومُوا خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ (١٨٤)
“(yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka Barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), Maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi Makan seorang miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, Maka Itulah yang lebih baik baginya. dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui (Qs Al Baqarah 2:184)
1. Orang yang sakit
Orang yang sakit boleh tidak berpuasa pada bulan Ramadhan, namun ia harus menggantinya di bulan-bulan lain sejumlah hari yang ditinggalkan. Tidak seluruh penyakit yang diberikan keringanan dalam syariat, hanya penyakit yang bisa berakibat fatal saja yang bisa dijadikan alasan rukhsah. Kalau cuma sekedar sakit biasa yang tidak berakibat fatal maka tidak termasuk penyakit yang dimaksud dengan rukhshah ini.
Disini dilihat dari apakah penyakit tersebut dikhawatirkan bisa semakin parah jika tetap berpuasa atau apakah penyakit tersebut lebih lambat sembuhnya jika tetap berpuasa. Jika kedua kondisi itu terjadi maka itu termasuk kategori orang yang sakit.
وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ
“ ... dan Barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), Maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. ...” (Qs Al Baqarah 2:185)
Selain itu juga dilihat apakah dengan kondisi sakit, seseorang masih bisa tetap berpuasa dan tidak terlalu berpengaruh kepada kondisi kesehatannya. Maka jika itu yang terjadi, seseorang bisa tetap berpuasa.
2. Orang yang sedang dalam perjalanan
Musafir boleh tidak berpuasa, berdasar dalil-dalil berikut.
وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ
“ ... dan Barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), Maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. ...” (Qs Al Baqarah 2:185)
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يُوسُفَ أَخْبَرَنَا مَالِكٌ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُتْبَةَ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَرَجَ إِلَى مَكَّةَ فِي رَمَضَانَ فَصَامَ حَتَّى بَلَغَ الْكَدِيدَ أَفْطَرَ فَأَفْطَرَ النَّاسُ قَالَ أَبُو عَبْد اللَّهِ وَالْكَدِيدُ مَاءٌ بَيْنَ عُسْفَانَ وَقُدَيْدٍ
Telah menceritakan kepada kami 'Abdullah bin Yusuf telah mengabarkan kepada kami Malik dari Ibnu Syihab dari 'Ubaidullah bin 'Abdullah bin 'Utbah dari Ibnu 'Abbas radliallahu 'anhuma bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pergi menuju Makkah dalam bulan Ramadhan dan Beliau berpuasa. Ketika sampai di daerah Kadid, Beliau berbuka yang kemudian orang-orang turut pula berbuka. Abu 'Abdullah Al Bukhariy berkata: "Kadid adalah tempat mata air yang terletak antara 'Usfan dan Qudaid". (HR Bukhari No.1808)
Yang dimaksud dengan perjalanan dalam syariah dijelaskan lebih rinci sebagai berikut:
Bahwa perjalanan itu adalah keluar dari rumah dan telah melewati batas kota atau batas tempat tinggalnya. Pada masa Rasululla ̅h shallalla ̅hu ‘alaihi wa sallam batas kota yang dimaksud adalah Madinah Al Munawwarah yaitu sebuah wilayah hukum Islam yang dipimpin oleh Amirul Mukminin.
Bahwa perjalanan tersebut cukup jauh sehingga sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Rusyd makna yang masuk akal dari kebolehan tidak berpuasa dalam safar ini karena keberatan (masyaqqah). Dan masyaqqah ini hanya terjadi jika jarak perjalanannya cukup jauh, sejauh diperbolehkannya mengqashar shalat. Namun para ulama berbeda pendapat tentang jarak yang dimaksud sehingga disebut dengan safar. Berikut adalah ringkasannya:
Jumhur ulama menetapkan jarak itu adalah jarak yang ditempuh pada masa lalu sejauh perjalanan kaki selama dua hari. Namun yang menjadi ukuran adalah bukan lamanya perjalanan melainkan jauhnya perjalanan itu sendiri yaitu sejauh 88.704 KM, ini menurut Wahbah Zuhaili dalam kitabnya Fiqih Islam wa Adillatuhu. Dasarnya adalah hadits berikut.
يَاأَهْلَ مَكَّةَ لاَتَقْصُرُوا فِي أَقَلِّ مِنْ أَرْبَعَةِ بَرْدٍ مِنْ مَكَّةَ إِلَى عُسْفَان
Dari Ibnu Abbas radhialla ̅hu ‘anhu, bahwa Rasululla ̅h shallalla ̅hu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Wahai penduduk Mekkah, janganlah kalian mengqashaar shalat bila kurang dari 4 burud, dari Mekkah ke Usfan”. (HR Ad-Daruqithny)
حَدَّثَنِي عَنْ مَالِك عَنْ نَافِعٍ عَنْ سَالِمِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ رَكِبَ إِلَى ذَاتِ النُّصُبِ فَقَصَرَ الصَّلَاةَ فِي مَسِيرِهِ ذَلِكَ قَالَ مَالِك وَبَيْنَ ذَاتِ النُّصُبِ وَالْمَدِينَةِ أَرْبَعَةُ بُرُدٍ
Telah menceritakan kepadaku dari Malik dari Nafi' dari Salim bin Abdullah bahwa Abdullah bin Umar berkendara menuju Dzatin Nushub. Lalu ia mengqashar shalat dalam perjalanan tersebut." Malik berkata, "Jarak Dzatin Nushub dan Madinah sekitar empat Burud." (HR Malik No.308)
Mahzab Al-Hanafiyah bahwa jarak perjalanan itu minimal adalah jarak perjalanan yang bisa ditempuh dengan berjalan kaki atau naik unta selama tiga hari tiga malam. Dasarnya adalah dengan mengambil dalil kebolehan musafir untuk selalu mengusap khuffnya selama tiga hari perjalanan.
أَخْبَرَنَا قُتَيْبَةُ قَالَ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنْ عَاصِمٍ عَنْ زِرٍّ عَنْ صَفْوَانَ بْنِ عَسَّالٍ قَالَ رَخَّصَ لَنَا النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا كُنَّا مُسَافِرِينَ أَنْ لَا نَنْزِعَ خِفَافَنَا ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ وَلَيَالِيَهُنَّ
Telah mengabarkan kepada kami Qutaibah dia berkata, telah menceritakan kepada kami Sufyan dari 'Ashim dari Zirr dari Shafwan bin Assal, dia berkata; " Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam memberi keringanan kepada kami bila dalam perjalanan, untuk tidak melepas khuf (sepatu-sepatu) kami selama tiga hari tiga malam." (HR Nasai No.126)
حَدَّثَنَا أَبُو سَعِيدٍ مَوْلَى بَنِي هَاشِمٍ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَنِ الْحَكَمِ وَغَيْرِهِ عَنِ الْقَاسِمِ بْنِ مُخَيْمِرَةَ عَنْ شُرَيْحِ بْنِ هَانِئٍ قَالَ سَأَلْتُ عَائِشَةَ عَنْ الْمَسْحِ عَلَى الْخُفَّيْنِ فَقَالَتْ سَلْ عَلِيًّا رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ فَسَأَلْتُهُ فَقَالَ ثَلَاثَةُ أَيَّامٍ وَلَيَالِيهِنَّ يَعْنِي لِلْمُسَافِرِ وَيَوْمٌ وَلَيْلَةٌ لِلْمُقِيمِ
Telah menceritakan kepada kami Abu Sa'id mantan budak Bani Hasyim Telah menceritakan kepada kami Syu'bah dari Al Hakam dan yang lainnya, dari Al Qasim Bin Mukhaimirah dari Syuraih Bin Hani` dia berkata; aku bertanya kepada Aisyah tentang mengusap kedua khuf, maka dia menjawab; "Tanyakan kepada Ali." Ketika aku tanyakan kepadanya, dia menjawab; "Tiga hari tiga malam yaitu untuk musafir dan satu hari satu malam untuk orang yang mukim." (HR Ahmad No.741)
Apabila dihitung maka jaraknya sekitar 1,5 kali jarak dua hari perjalanan yaitu sekitar 132.611 KM.
Mahzab Al Hanabilah menetapkan bahwa safar itu tidak dengan jarak minimal, tetapi dengan kebiasaan masyarakat yang menyebut bahwa itu adalah safar, jika disebut safar maka berapapun jaraknya maka sudah boleh berbuka puasa. Hal ini sebagaimana disebutkan Ibnu Qudamah dalam Al Mughni bahwa Al Quran hanya menyebutkan musafir boleh tidak berpuasa, tanpa menyebutkan jarak minimalnya.
Selain itu ada pula hadits shahih tentang kebolehan mengqashar shalat yaitu sejauh tiga mil atau tiga farsakh.
و حَدَّثَنَاه أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ وَمُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ كِلَاهُمَا عَنْ غُنْدَرٍ قَالَ أَبُو بَكْرٍ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ غُنْدَرٌ عَنْ شُعْبَةَ عَنْ يَحْيَى بْنِ يَزِيدَ الْهُنَائِيِّ قَالَ سَأَلْتُ أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ عَنْ قَصْرِ الصَّلَاةِ فَقَالَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا خَرَجَ مَسِيرَةَ ثَلَاثَةِ أَمْيَالٍ أَوْ ثَلَاثَةِ فَرَاسِخَ شُعْبَةُ الشَّاكُّ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ
Dan telah menceritakan kepada kami Abu bakar bin Abu Syaibah dan Muhammad bin Basyar keduanya dari Ghundar. Abu Bakr mengatakan; telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ja'far yatiu Ghundar dari Syu'bah dari Yahya bin Zaid Al Huna'i, katanya; "Aku pernah bertanya kepada Anas bin Malik tentang mengqashar shalat. Dia menjawab; "Jika Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam keluar sejauh tiga mil, atau tiga farsakh -Syu'bah ragu- maka beliau melakukan shalat dua rakaat." (HR Muslim No.1116)
Apabila diperhatikan jarak kebolehan mengqashar shalat sebagaimana disebukan hadits ini hanya tiga farsakh atau tiga mil, namun tidak kemudian dengan jarak yang sama disebut dengan safar yang menjadi rukhshah shaum. Sebab jarak yang pendek tersebut tidak menjadi keberatan (musyaqqah) untuk ditunaikannya kewajiban shaum.
Status musafir ini akan berakhir apabila seseorang sudah tiba di rumahnya, sudah berniat menetap dan menjadi penduduk di suatu daerah atau sudah berhenti lebih dari empat hari di suatu daerah. Untuk berhenti lebih dari empat hari hal Ini merupakan pendapat jumhur ulama dari kalangan asy-Syafiiyah, al-Malikiyah dan al-Hanabilah. Hal ini didasarkan kepada perbuatan Rasululla ̅h shallalla ̅hu ‘alaihi wa sallam yang selalu mengqashar shalatnya selama empat hari ketika beliau mengerjakan haji sejak tanggal 9 sampai 12 Dzulhijjah. Sedangkan pendapat al-Hanafiyah menetapkan batasnya adalah 15 hari.
Sekalipun seseorang sudah dipandang safar karena perjalanannya, para ulama berbeda pendapat mana yang lebih utama, apakah ia mengambil rukhshah dengan membatalkan puasanya atau lebih baik melanjutkan puasanya. Jumhur ulama di kalangan asy-Syafiiyah, al-Malikiyah dan al-Hanafiyah cenderung kepada pendapat bahwa puasa lebih baik terus dijalankan sekalipun mendapat keringanan untuk tidak berpuasa. Hal ini didasarkan kepada dalil berikut.
بَاب حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يُوسُفَ حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ حَمْزَةَ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ يَزِيدَ بْنِ جَابِرٍ أَنَّ إِسْمَاعِيلَ بْنَ عُبَيْدِ اللَّهِ حَدَّثَهُ عَنْ أُمِّ الدَّرْدَاءِ عَنْ أَبِي الدَّرْدَاءِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ خَرَجْنَا مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي بَعْضِ أَسْفَارِهِ فِي يَوْمٍ حَارٍّ حَتَّى يَضَعَ الرَّجُلُ يَدَهُ عَلَى رَأْسِهِ مِنْ شِدَّةِ الْحَرِّ وَمَا فِينَا صَائِمٌ إِلَّا مَا كَانَ مِنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَابْنِ رَوَاحَةَ
Telah menceritakan kepada kami 'Abdullah bin Yusuf telah menceritakan kepada kami Yahya bin Hamzah dari 'Abdurrahman bin YAzid bin Jabir bahwa Isma'il bin 'Ubaidullah menceritakan kepada kami dari Ummu Ad-Darda' dari Abu Ad-Darda' radliallahu 'anhu berkata; Kami pernah bepergian bersama Nabi shallallahu 'alaihi wasallam pada sebagian perjalanan Beliau pada hari yang sangat panas sehingga ada seseorang yang meletakkan tangannya diatas kepalanya karena amat panasnya dan tidak ada diantara kami yang berpuasa kecuali Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dan Ibnu Ruwahah. (HR Bukhari dan Muslim)
Namun kalangan al-Hanabilah lebih berpendapat bahwa berbuka lebih utama, hal ini didasarkan kepada dalil berikut.
عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللهِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمْ قَالَ كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي سَفَرٍ فَرَأَى زِحَامًا وَرَجُلًا قَدْ ظُلِّلَ عَلَيْهِ فَقَالَ مَا هَذَا فَقَالُوا صَائِمٌ فَقَالَ لَيْسَ مِنْ الْبِرِّ الصَّوْمُ فِي السَّفَرِ
“Dari Jabir bin 'Abdullah radhialla ̅hu ‘anhu berkata; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah dalam suatu perjalanan melihat kerumunan orang, yang diantaranya ada seseorang yang sedang dipayungi. Beliau bertanya: "Ada apa ini?" Mereka menjawab: "Orang ini sedang berpuasa". Maka Beliau bersabda: "Tidak termasuk kebajikan berpuasa dalam perjalanan". (HR Bukhari No. 1810(
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ وَمُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى وَابْنُ بَشَّارٍ جَمِيعًا عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ جَعْفَرٍ قَالَ أَبُو بَكْرٍ حَدَّثَنَا غُنْدَرٌ عَنْ شُعْبَةَ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ سَعْدٍ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَمْرِو بْنِ الْحَسَنِ عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي سَفَرٍ فَرَأَى رَجُلًا قَدْ اجْتَمَعَ النَّاسُ عَلَيْهِ وَقَدْ ظُلِّلَ عَلَيْهِ فَقَالَ مَا لَهُ قَالُوا رَجُلٌ صَائِمٌ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَيْسَ مِنْ الْبِرِّ أَنْ تَصُومُوا فِي السَّفَرِ حَدَّثَنَا عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ مُعَاذٍ حَدَّثَنَا أَبِي حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ قَالَ سَمِعْتُ مُحَمَّدَ بْنَ عَمْرِو بْنِ الْحَسَنِ يُحَدِّثُ أَنَّهُ سَمِعَ جَابِرَ بْنَ عَبْدِ اللَّهِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا يَقُولُا رَأَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَجُلًا بِمِثْلِهِ و حَدَّثَنَاه أَحْمَدُ بْنُ عُثْمَانَ النَّوْفَلِيُّ حَدَّثَنَا أَبُو دَاوُدَ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ بِهَذَا الْإِسْنَادِ نَحْوَهُ وَزَادَ قَالَ شُعْبَةُ وَكَانَ يَبْلُغُنِي عَنْ يَحْيَى بْنِ أَبِي كَثِيرٍ أَنَّهُ كَانَ يَزِيدُ فِي هَذَا الْحَدِيثِ وَفِي هَذَا الْإِسْنَادِ أَنَّهُ قَالَ عَلَيْكُمْ بِرُخْصَةِ اللَّهِ الَّذِي رَخَّصَ لَكُمْ قَالَ فَلَمَّا سَأَلْتُهُ لَمْ يَحْفَظْهُ
Telah menceritakan kepada kami Abu Bakar bin Abu Syaibah dan Muhammad bin Al Mutsanna dan Muhammad bin Basysyar semuanya dari Muhammad bin Ja'far - Abu Bakar berkata- Telah menceritakan kepada kami Ghundar dari Syu'bah dari Muhammad bin Abdurrahman bin Sa'd dari Muhammad bin Amru bin Al Hasan dari Jabir bin Abdullah radliallahu 'anhuma, ia berkata; Suatu ketika Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam berada dalam suatu perjalanan, lalu beliau melihat seorang laki-laki dikerumuni oleh orang banyak dan dibawa ke tempat yang teduh. Beliau bertanya, "Mengapa dia?" mereka menjawab, "Ia sedang berpuasa." Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pun bersabda: "Bukanlah termasuk kebaikan, jika kalian berpuasa saat dalam perjalanan." Telah menceritakan kepada kami Ubaidullah bin Mu'adz telah menceritakan kepada kami bapakku telah menceritakan kepada kami Syu'bah dari Muhammad bin Abdurrahman ia berkata, saya mendengar Muhamamd bin Amru bin Al Hasan menceritakan dari Jabir bin Abdullah radliallahu 'anhuma berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam melihat seorang laki-laki.., yakni serupa dengan hadits di atas. Dan telah menceritakannya kepada kami Ahmad bin Utsman An Naufali telah menceritakan kepada kami Abu Dawud telah menceritakan kepada kami Syu'bah dengan isnad ini, semisalnya. Dan ia menambahkan; Syu'bah berkata; Telah sampai kepadaku dari Yahya bin Abu Katsir bahwa ia menambahkan di dalam hadits dan isnad ini, ia berkata; "Hendaklah kalian menerima rukhshah (keringanan) dari Allah, yang Dia karuniakan kepada kalian." Ia berkata; Ketika aku tanyakan kepadanya, ia tidak menghafalnya. (HR Muslim No.1879)
Namun ada hadits shahih bahwa keringanan ini boleh diambil dan boleh pula tidak. Jadi tidak ada yang lebih utama antara yang berbuka atau tetap shaum, keduanya sama-sama diperbolehkan.
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يُوسُفَ أَخْبَرَنَا مَالِكٌ عَنْ هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ عَنْ أَبِيهِ عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا زَوْجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّ حَمْزَةَ بْنَ عَمْرٍو الْأَسْلَمِيَّ قَالَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَأَصُومُ فِي السَّفَرِ وَكَانَ كَثِيرَ الصِّيَامِ فَقَالَ إِنْ شِئْتَ فَصُمْ وَإِنْ شِئْتَ فَأَفْطِرْ
Telah menceritakan kepada kami 'Abdullah bin Yusuf telah mengabarkan kepada kami Malik dari Hisyam bin 'Urwah dari bapaknya dari 'Aisyah radliallahu 'anha, isteri Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, bahwa Hamzah bin 'Amru Al Aslamiy berkata, kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam: "Apakah aku boleh berpuasa saat bepergian? Dia adalah orang yang banyak berpuasa. Maka Beliau menawab: "Jika kamu mau berpuasalah dan jika kamu mau berbukalah". (HR Bukhari No.1807)
و حَدَّثَنِي أَبُو الطَّاهِرِ وَهَارُونُ بْنُ سَعِيدٍ الْأَيْلِيُّ قَالَ هَارُونُ حَدَّثَنَا و قَالَ أَبُو الطَّاهِرِ أَخْبَرَنَا ابْنُ وَهْبٍ أَخْبَرَنِي عَمْرُو بْنُ الْحَارِثِ عَنْ أَبِي الْأَسْوَدِ عَنْ عُرْوَةَ بْنِ الزُّبَيْرِ عَنْ أَبِي مُرَاوِحٍ عَنْ حَمْزَةَ بْنِ عَمْرٍو الْأَسْلَمِيِّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّهُ قَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَجِدُ بِي قُوَّةً عَلَى الصِّيَامِ فِي السَّفَرِ فَهَلْ عَلَيَّ جُنَاحٌ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ هِيَ رُخْصَةٌ مِنْ اللَّهِ فَمَنْ أَخَذَ بِهَا فَحَسَنٌ وَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يَصُومَ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِ قَالَ هَارُونُ فِي حَدِيثِهِ هِيَ رُخْصَةٌ وَلَمْ يَذْكُرْ مِنْ اللَّهِ
Telah menceritakan kepadaku Abu Thahir dan Harun bin Sa'id Al Aili -Harun berkata- Telah menceritakan kepada kami -sementara Abu Thahir berkata- telah mengabarkan kepada kami Ibnu Wahb telah mengabarkan kepadaku Amru bin Harits dari Abul Aswad dari Urwah bin Zubair dari Abu Murawih dari Hamzah bin Amru Al Aslami radliallahu 'anhu, bahwa ia berkata, "Wahai Rasulullah, aku kuat untuk berpuasa dalam perjalanan. Berdosakah jika aku berpuasa?" Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menjawab: "Berbuka puasa saat dalam perjalanan merupakan rukhshah (keringanan) dari Allah. Siapa yang mengambilnya maka itu adalah baik, namun siapa yang lebih suka untuk berpuasa, maka tidak ada dosa atasnya." Harun berkata dalam haditsnya, "Itu adalah rukhshah." namun ia tidak menyebutkan; "Dari Allah." (HR Muslim No.1891)
Sekalipun ketika safar boleh berpuasa atau tidak, namun dalam kondisi berperang, puasa dan batalnya pasukan harus sesuai perintah dari Amir Jihad. Apabila Amir Jihad memerintahkan untuk berbuka maka pasukan wajib untuk berbuka. Sebagaimana hadits berikut ini.
عَنْ رَبِيعَةَ قَالَ حَدَّثَنِي قَزَعَةُ قَالَ أَتَيْتُ أَبَا سَعِيدٍ الْخُدْرِيَّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ وَهُوَ مَكْثُورٌ عَلَيْهِ فَلَمَّا تَفَرَّقَ النَّاسُ عَنْهُ قُلْتُ إِنِّي لَا أَسْأَلُكَ عَمَّا يَسْأَلُكَ هَؤُلَاءِ عَنْهُ سَأَلْتُهُ عَنْ الصَّوْمِ فِي السَّفَرِ فَقَالَ سَافَرْنَا مَعَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَى مَكَّةَ وَنَحْنُ صِيَامٌ قَالَ فَنَزَلْنَا مَنْزِلًا فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّكُمْ قَدْ دَنَوْتُمْ مِنْ عَدُوِّكُمْ وَالْفِطْرُ أَقْوَى لَكُمْ فَكَانَتْ رُخْصَةً فَمِنَّا مَنْ صَامَ وَمِنَّا مَنْ أَفْطَرَ ثُمَّ نَزَلْنَا مَنْزِلًا آخَرَ فَقَالَ إِنَّكُمْ مُصَبِّحُو عَدُوِّكُمْ وَالْفِطْرُ أَقْوَى لَكُمْ فَأَفْطِرُوا وَكَانَتْ عَزْمَةً فَأَفْطَرْنَا ثُمَّ قَالَ لَقَدْ رَأَيْتُنَا نَصُومُ مَعَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَعْدَ ذَلِكَ فِي السَّفَرِ
Dari Rabi'ah ia berkata, telah menceritakan kepadaku Qaza'ah ia berkata; Aku pernah mendatangi Abu Sa'id Al Khudriy yang saat itu sedang dikerumuni oleh orang banyak. Ketika mereka telah membubar kan diri aku berkata kepadanya, "Aku tidak ingin menanyakan apa yang telah mereka tanyakan. Aku hanya ingin menanyakan perihal puasa dalam safar." Maka ia pun menjawab, "Kami dulu pernah bepergian ke kota Makkah bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kami saat itu sedang berpuasa. Lalu kami singgah di suatu tempat, kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: "Jarak kalian dengan musuh kalian sudah semakin dekat, dan makan (tidak berpuasa) akan dapat membuat kalian lebih kuat, dan ini adalah sebuah rukhshah (keringanan)." Maka di antara kamipun ada yang masih berpuasa dan ada pula yang tidak berpuasa. Setelah itu, kami singgah lagi pada sebuah tempat, lalu beliau bersabda: "Sesungguhnya kalian besok pagi kalian akan menghadapi musuh sedangkan berbuka akan membuat kalian lebih kuat, maka berbukalah kalian, ini adalah suatu ketetapan." Maka sesudah itu, kami pun berbuka. Abu Sa'id berkata; Sungguh, semenjak itu aku telah melihat kami berpuasa bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam perjalanan.” (HR Muslim No. 1888)
3. Orang yang tidak mampu
Orang yang tidak mampu berpuasa diperbolehkan untuk berbuka, hal ini berdasar dalil berikut:
وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ
“... dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi Makan seorang miskin. “(Qs AL Baqarah 2:184)
Orang-orang yang termasuk tidak mampu adalah:
a. Orang yang sudah lanjut usia. Disini bukan sekedar orang yang sudah tua, tetapi kondisi fisiknya tidak memungkinkan untuk berpuasa.
b. Orang yang sakit dan tidak ada kesembuhan, disini maksudnya orang yang memiliki penyakit dan tidak sembuh-sembuh atau kecil kemungkinannya untuk sembuh. Tentu bagi mereka tidak mungkin mengganti puasa dengan berpuasa lagi (qadha) namun diganti dengan membayar fidyah.
c. Wanita yang hamil dan menyusui
4. Wanita yang haidh dan nifas
Waniya yang haidh dan nifas haram berpuasa, mereka harus mengqadha di lain hari.
عَنْ مُعَاذَةَ قَالَتْ سَأَلْتُ عَائِشَةَ فَقُلْتُ مَا بَالُ الْحَائِضِ تَقْضِي الصَّوْمَ وَلَا تَقْضِي الصَّلَاةَ فَقَالَتْ أَحَرُورِيَّةٌ أَنْتِ قُلْتُ لَسْتُ بِحَرُورِيَّةٍ وَلَكِنِّي أَسْأَلُ قَالَتْ كَانَ يُصِيبُنَا ذَلِكَ فَنُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّوْمِ وَلَا نُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّلَاةِ
Dari Mu'adzah dia berkata, "Saya bertanya kepada Aisyah seraya berkata, “Kenapa gerangan wanita yang haid mengqadha' puasa dan tidak mengqadha' shalat?” Maka Aisyah menjawab, 'Apakah kamu dari golongan Haruriyah? ' Aku menjawab, 'Aku bukan Haruriyah, akan tetapi aku hanya bertanya.' Dia menjawab, 'Kami dahulu juga mengalami haid, maka kami diperintahkan untuk mengqadha' puasa dan tidak diperintahkan untuk mengqadha' shalat'." (HR Muslim No. 508)
5. Keadaan darurat
Yang dimaksud dengan keadaan darurat disini adalah keadaan yang membahayakan diri orang yang berpuasa. Apabila dengan berpuasa seseorang jatuh kepada keadaan yang membahayakan dirinya maka ia boleh tidak berpuasa.
وَلا تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ
“dan janganlah kamu membunuh dirimu” (Qs An Nisaa 4:29)
Mereka yang termasuk dalam kategori keadaan darurat ini diantaranya adalah mereka yang berprofesi dan bekerja berat secara fisik. Maka bagi mereka ini boleh berbuka namun harus mengqadha puasa di lain hari.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.