Puasa secara bahasa artinya adalah menahan (الإمساك), yaitu
الإمساك عن المفطر على وجه مخصوص
“menahan diri dan meninggalkan dari melakukan sesuatu”.
Pengertian shaum yang berarti menahan ini bisa dilihat dalam ayat berikut.
فَكُلِي وَاشْرَبِي وَقَرِّي عَيْنًا فَإِمَّا تَرَيِنَّ مِنَ الْبَشَرِ أَحَدًا فَقُولِي إِنِّي نَذَرْتُ لِلرَّحْمَنِ صَوْمًا فَلَنْ أُكَلِّمَ الْيَوْمَ إِنْسِيًّا (٢٦)
“Maka makan, minum dan bersenang hatilah kamu. Jika kamu melihat seorang manusia, Maka Katakanlah: “Sesungguhnya aku telah bernazar berpuasa untuk Tuhan yang Maha pemurah, Maka aku tidak akan berbicara dengan seorang manusiapun pada hari ini”. (Qs Maryam 19:26)
Maksud dari perkataan shauman pada ayat tersebut adalah menahan diri untuk tidak berbicara. Istilah shaum terdapat dalam satu ayat yaitu di surat Maryam. Sedangkan istilah shiyam disebutkan dalam buku al-Mu’jam al-Mufahras li Alfadzil Quranil Karim karya Muhammad Fuad Abdul Baqi (1882-1968 M), bahwa kata shaum tersebut satu kali dalam Al-Qur’an, yaitu pada Surat Maryam: 26, sedangkan kata shiyam diulang sebanyak delapan kali. Kata shiyam tersebar di Surat al-Baqarah: 184, 187, 196 (dua kali), an-Nisa: 92, al-Maidah: 89 dan 95, serta al-Mujadilah: 4.
Sebaran kata shiyam ini memiliki tujuan yang beragam, baik sebagai kewajiban membayar fidiah, diat, atau kafarat. Sementara itu, kata shiyam yang merujuk kepada puasa Ramadhan terdapat pada Surat al-Baqarah 184 dan 187. Ayat 184 menyatakan kewajiban puasa Ramadhan, sedangkan ayat 187 menjelaskan aturan aktivitas puasa.
Selain dua kata tersebut, Al-Qur’an juga memuat derivasi lain dari kata shaum dan shiyam, yaitu tashûmû (al-Baqarah: 185) dan falyasumh (al-Baqarah: 185), yang termasuk kategori fiil mudhari’, kata kerja bermakna sedang atau akan, serta asshâimin dan as-Shâimât (Alahzab: 95) yang merujuk pada pelaku puasa bentuk plural untuk pria dan perempuan. Lihat penjelasan perbedaan shaum dan shiyam ini disini.
Secara etimologi, sebagaimana dalam kamus al-’Ayn, kamus pertama dalam peradaban Islam karya Khalil bin Ahmad Al-Farahidi (718 – 789 M), shaum ataupun shiyam terbentuk dari akar kata صام – يصوم yang berarti imsâk (menahan), shamt (diam tidak bicara), rukûd (diam tidak bergerak), dan wuqûf (berhenti).
Jadi kedua kata tersebut secara bahasa berarti meninggalkan atau tidak makan-minum, tidak berbicara, dan tidak melakukan aktivitas apapun. Makna harfiah ini kemudian menjadi makna pakem yang melekat pada istilah shaum dan shiyam sampai saat ini, sebagaimana yang termaktub dalam kamus kontemporer al-Mu’jam al-Wasîth karya Majma’ul Lughah al-Arabiyah Mesir.
Jika dua kata di atas memiliki rujukan makna literal yang sama, mengapa Al-Qur’an lebih memilih kata syiam untuk menunjukkan makna aktivitas kewajiban puasa pada Surat al-Baqarahayat 184 dan 187? Dalam disiplin ilmu shorof atau morfologi Arab, ada teori yang mengatakan bahwa زيادة المعنى تدلّ على زيادة المعنى (bentuk kata menunjukkan karakter makna). Kata صوم memiliki tiga huruf, sedangkan صيامterdiri dari empat huruf.
Oleh karena itu, kata shiyam memiliki makna yang lebih dalam daripada kata shaum. Bahkan ada sebagian kalangan yang membedakan kandungan arti kedua kata tersebut. Sebagimana dikutip oleh Alhasan bin Abdillah bin Sahl bin Said, yang terkenal dengan panggilan Abu Hilal Al’askari (920 – 1005 M) dalam al-Furuq fi al-Lughah, kata shiyam memiliki arti menahan diri dari hal-hal yang membatalkan (makan, minum, jimak) dengan dibarengi niat, sedangkan kata shaum bermakna meninggalkan hal-hal yang membatalkan puasa atautidak berbicara. Perbedaan ini berdasar pada Surat Maryam ayat 26
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.