1, Pengantar
Dalam syariah Islam, penanggalan hijriyah yang berbasis kepada hilal memiliki peran penting untuk menentukan waktu dan ibadah kaum muslimin. Diantaranya adalah sebagai tanda waktu bagi manusia dan untuk pelaksanaan ibadah haji.
يَسْأَلُونَكَ عَنِ الأهِلَّةِ قُلْ هِيَ مَوَاقِيتُ لِلنَّاسِ وَالْحَجِّ وَلَيْسَ الْبِرُّ بِأَنْ تَأْتُوا الْبُيُوتَ مِنْ ظُهُورِهَا وَلَكِنَّ الْبِرَّ مَنِ اتَّقَى وَأْتُوا الْبُيُوتَ مِنْ أَبْوَابِهَا وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ (١٨٩)
“Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah: "Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadat) haji; dan bukanlah kebajikan memasuki rumah-rumah dari belakangnya, akan tetapi kebajikan itu ialah kebajikan orang yang bertakwa. dan masuklah ke rumah-rumah itu dari pintu-pintunya; dan bertakwalah kepada Allah agar kamu beruntung. (QS Al-Baqarah 2: 189).
Pada masa jahiliyah, orang-orang yang berihram di waktu haji, mereka memasuki rumah dari belakang bukan dari depan. hal ini ditanyakan pula oleh para sahabat kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka diturunkanlah ayat diatas.
Penentuan waktu berdasar hilal bisa dilakukan karena bulan mempunyai fase-fase dari sabit sampai kembali menjadi sabit yang tipis seperti pelepah kering dengan periode yang tertentu.
وَالْقَمَرَ قَدَّرْنَاهُ مَنَازِلَ حَتَّى عَادَ كَالْعُرْجُونِ الْقَدِيمِ (٣٩)
“Dan telah Kami tetapkan bagi bulan manzilah-manzilah, sehingga (setelah Dia sampai ke manzilah yang terakhir) Kembalilah Dia sebagai bentuk tandan yang tua”. (QS Yasin 36:39).
Maksudnya: bulan-bulan itu pada awal bulan, kecil berbentuk sabit, kemudian sesudah menempati manzilah-manzilah, dia menjadi purnama, kemudian pada manzilah terakhir kelihatan seperti tandan kering yang melengkung.
Dalam satu tahun, paling tidak ada tiga momentum kegiatan ibadah kaum muslimin yang terkait langsung dengan hilal, yaitu pelaksanaan shaum Ramadhan yang mulai dilaksanakan pada 1 Ramadhan, pelaksanaan Shalat Idul Fithri yang dilaksanakan pada 1 Syawal dan pelaksanaan Haji serta Shalat Idul Adha yang dilaksanakan pada bulan Dzulhijjah.
2. Methode Penentuan Waktu
Untuk menentukan hilal ada 2 (dua) methode yang digunakan
a, Methode Ru’yatul Hilal
Rukyat adalah aktivitas mengamati visibilitas hilal, yakni penampakan bulan sabit yang nampak pertama kali setelah terjadinya ijtimak (konjungsi). Rukyat dilakukan dengan mata telanjang. Rukyat dilakukan setelah Matahari terbenam. Hilal hanya tampak setelah Matahari terbenam (maghrib), intensitas cahaya hilal sangat redup dibanding dengan cahaya Matahari, juga ukurannya sangat tipis.
Apabila hilal terlihat, maka pada petang (maghrib) waktu setempat telah memasuki bulan (kalender) baru Hijriyah. Apabila hilal tidak terlihat maka awal bulan ditetapkan mulai maghrib hari berikutnya. Dalil-dalil yang menjadi dasar cara ini adalah :
فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ
“Barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, Maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu”. (Qs Al Baqarah 2:185)
Maksud dari syahida pada ayat diayat diatas adalah melihat hilal.
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَكَرَ رَمَضَانَ فَقَالَ لَا تَصُومُوا حَتَّى تَرَوْا الْهِلَالَ وَلَا تُفْطِرُوا حَتَّى تَرَوْهُ فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدُرُوا لَهُ
Dari 'Abdullah bin 'Umar radliallahu 'anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menceritakan tentang bulan Ramadhan lalu Beliau bersabda: "Janganlah kalian berpuasa hingga kalian melihat hilal dan jangan pula kalian berbuka hingga kalian melihatnya. Apabila kalian terhalang oleh awan maka perkirakanlah jumlahnya (jumlah hari disempurnakan) ". (HR Bukhari No.1773 dan Muslim No.1795)
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا أَبُو أُسَامَةَ حَدَّثَنَا عُبَيْدُ اللَّهِ عَنْ نَافِعٍ عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَكَرَ رَمَضَانَ فَضَرَبَ بِيَدَيْهِ فَقَالَ الشَّهْرُ هَكَذَا وَهَكَذَا وَهَكَذَا ثُمَّ عَقَدَ إِبْهَامَهُ فِي الثَّالِثَةِ فَصُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ أُغْمِيَ عَلَيْكُمْ فَاقْدِرُوا لَهُ ثَلَاثِينَ
Telah menceritakan kepada kami Abu Bakar bin Abu Syaibah telah menceritakan kepada kami Abu Usamah telah menceritakan kepada kami Ubaidullah dar Nafi' dari Ibnu Umar radliallahu 'anhumaa bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan bulan Ramadhan dan beliau menepukkan kedua tangannya seraya bersabda: "Hitungan bulan itu begini, bigini dan begini (beliau menekuk jempolkan pada kali yang ketiga). Karena itu, berpuasalah kalian setelah melihat (hilal) -nya, dan berbukalah pada saat kaliat melihatnya (terbit kembali). Dan jika bulan tertutup dari pandanganmu, maka hitunglah menjadi tiga puluh hari." (HR Muslim No1796)
Jumhur dan ijma’ para ulama dari berbagai mahdzab telah menetapkan bahwa untuk menetapkan bulan Ramadhan adalah dengan ru’yatul hilal. Namun methode rukyat ini memiliki beberapa kelemahan diantaranya karena banyaknya halangan medan antara mata dengan hilal, seperti debu, awan, kabut dan lain sebagainya. Bahkan kondisi fisik tubuh perukyat juga bisa mempengaruhi penglihatannya.
Seorang tabi’in yaitu Iyas bin Muawiyah al-Muazanni pernah dibuat bingung oleh pengakuan sahabat Anas bin Malik radhialla ̅hu ‘anhu yang ketika itu sudah sangat tua berusia hampir 100 tahun, bahwa dirinya telah melihat hilal, padahal yang lain termasuk iyas bin Muawiyah sendiri yang berada di lokasi yang sama bahkan tidak melihat hilal tersebut.
Kemudian Iyas berjalan menuju Anas radhialla ̅hu ‘anhu lantas beliau menyibakkan (menghilangkan) uban dari alis sayidina Anas, setelah itu beliau Anas radhialla ̅hu ‘anhu untuk melihat kembali. Ternyata sekarang Anas radhialla ̅hu ‘anhu mengatakan bahwa ia tidak melihat hilal itu. Jadi ternyata yang disangka hilal oleh Anas bin Malik adalah uban pada alis matanya yang menghalangi pandangannya. Kisah diatas menunjukkan bahwa faktor usia termasuk yang mempengaruhi kemampuan seseorang melihat hilal.
Oleh karena itu pihak yang berpegang kepada methode ru’yatul hilal kemudian ada yang menggunakan alat bantu optik seperti teleskop untuk memperjernih pandangan sehingga bisa lebih tajam melihat hilal. Disini sudah mulai memasukkan unsur teknologi untuk memperjelas ru’yatul hilal.
b. Methode Hisab
Hisab adalah perhitungan secara matematis dan astronomis untuk menentukan posisi bulan dalam menentukan dimulainya awal bulan hijriyah. Pihak yang berpegangan kepada methode hisab berpegangan kepada dalil-dalil sebagai berikut :
Penciptaan langit dan bumi serta silih bergantinya siang dan malam merupakan tanda-tanda bagi ulil albab. Ayat di bawah ini menekankan penggunaan akal untuk mencermati penciptaan alam semesta dan fenomena pergiliran malam dan siang.
إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ وَاخْتِلافِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ لآيَاتٍ لأولِي الألْبَابِ (١٩٠)
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal,” (Qs. Ali Imran 3:190)
Peredaran langit dan bumi dalam manzilahnya telah diciptakan Allah subhaanahu wa ta‘aala sebagai sunnatullah (hukum) di alam semesta ini.
اللَّهُ الَّذِي رَفَعَ السَّمَاوَاتِ بِغَيْرِ عَمَدٍ تَرَوْنَهَا ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ وَسَخَّرَ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ كُلٌّ يَجْرِي لأجَلٍ مُسَمًّى يُدَبِّرُ الأمْرَ يُفَصِّلُ الآيَاتِ لَعَلَّكُمْ بِلِقَاءِ رَبِّكُمْ تُوقِنُونَ (٢)
“Allah-lah yang meninggikan langit tanpa tiang (sebagaimana) yang kamu lihat, kemudian Dia bersemayam di atas 'Arasy, dan menundukkan matahari dan bulan. masing-masing beredar hingga waktu yang ditentukan. Allah mengatur urusan (makhluk-Nya), menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya), supaya kamu meyakini pertemuan (mu) dengan Tuhanmu. (Qs. Ar-Raad 13:2)
Matahari dan bulan beredar dalam garis orbit yang pasti
وَسَخَّرَ لَكُمُ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ دَائِبَيْنِ وَسَخَّرَ لَكُمُ اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ (٣٣)
“Dan Dia telah menundukkan (pula) bagimu matahari dan bulan yang terus menerus beredar (dalam orbitnya); dan telah menundukkan bagimu malam dan siang. Qs. Ibrahim 14:33
وَهُوَ الَّذِي خَلَقَ اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ وَالشَّمْسَ وَالْقَمَرَ كُلٌّ فِي فَلَكٍ يَسْبَحُونَ (٣٣)
“Dan Dialah yang telah menciptakan malam dan siang, matahari dan bulan. masing-masing dari keduanya itu beredar di dalam garis edarnya. (Qs. Al-Ambiya 21:33)
Dengan keteraturan peredarannya, matahari dan bulan dapat digunakan untuk perhitungan waktu dan penentuan bilangan tahun (QS Yunus 10:5, 55:5).
هُوَ الَّذِي جَعَلَ الشَّمْسَ ضِيَاءً وَالْقَمَرَ نُورًا وَقَدَّرَهُ مَنَازِلَ لِتَعْلَمُوا عَدَدَ السِّنِينَ وَالْحِسَابَ مَا خَلَقَ اللَّهُ ذَلِكَ إِلا بِالْحَقِّ يُفَصِّلُ الآيَاتِ لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ (٥)
“ Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu). Allah tidak menciptakan yang demikian itu melainkan dengan hak”. (QS Yunus 10:5)
وَجَعَلْنَا اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ آيَتَيْنِ فَمَحَوْنَا آيَةَ اللَّيْلِ وَجَعَلْنَا آيَةَ النَّهَارِ مُبْصِرَةً لِتَبْتَغُوا فَضْلا مِنْ رَبِّكُمْ وَلِتَعْلَمُوا عَدَدَ السِّنِينَ وَالْحِسَابَ وَكُلَّ شَيْءٍ فَصَّلْنَاهُ تَفْصِيلا (١٢)
“Dan Kami jadikan malam dan siang sebagai dua tanda, lalu Kami hapuskan tanda malam dan Kami jadikan tanda siang itu terang, agar kamu mencari kurnia dari Tuhanmu, dan supaya kamu mengetahui bilangan tahun-tahun dan perhitungan. dan segala sesuatu telah Kami terangkan dengan jelas. ( Qs. Al-Isra 17:12)
الشَّمْسُ وَالْقَمَرُ بِحُسْبَانٍ (٥)
“Matahari dan bulan (beredar) menurut perhitungan.” (Qs.Ar-Rahman 55:5)
“Dia menyingsingkan pagi dan menjadikan malam untuk beristirahat, dan (menjadikan) matahari dan bulan untuk perhitungan. Itulah ketentuan Allah yang Maha Perkasa lagi Maha mengetahui. (Qs. Al-An’am 6:96)
Tidaklah mungkin bagi matahari mendapatkan bulan dan malam pun tidak dapat mendahului siang, karena masing-masing beredar pada garis edarnya.
لا الشَّمْسُ يَنْبَغِي لَهَا أَنْ تُدْرِكَ الْقَمَرَ وَلا اللَّيْلُ سَابِقُ النَّهَارِ وَكُلٌّ فِي فَلَكٍ يَسْبَحُونَ (٤٠)
“Tidaklah mungkin bagi matahari mendapatkan bulan dan malampun tidak dapat mendahului siang. dan masing-masing beredar pada garis edarnya.” (Qs. Yasin 36:40)
Kepastian garis edar (manzilah) tersebut di atas akan menjadi tolak ukur bagi manusia untuk melakukan perhitungan secara astronomis tentang posisi benda-benda langit, khususnya posisi bulan yang merupakan sentral kajian tentang hilal.
Namun keberdaan methode hisab ini menimbulkan perselisihan di kalangan ulama. Jumhur ulama menyatakan tidak boleh menggunakan methode ini dalam penentuan awal Ramadhan dan Syawwal. Jumhur menyatakan bahwa teknis penetapan ru’yat sudah dijelaskan dengan rinci dalam sunnah yaitu dengan melihat langsung hilal (ru’yat). Kalaupun tidak terlihat barulah dihitung dengan menggenapkan sampai 30 hari pada Sya’ban.
Namun ini juga menjadi dilema karena jika jumlah hari dalam sya’ban harus digenapkan, maka awal sya’ban juga mestinya sudah ditetapkan karena tidak mungkin menghitung 30 hari kalau tidak ditetapkan dulu tanggal 1 Sya’bannya. ini pula yang secara tersirat diungkap dalam hadits ini.
حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ بْنُ دَاوُدَ الْعَتَكِيُّ حَدَّثَنَا حَمَّادٌ حَدَّثَنَا أَيُّوبُ عَنْ نَافِعٍ عَنْ ابْنِ عُمَرَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الشَّهْرُ تِسْعٌ وَعِشْرُونَ فَلَا تَصُومُوا حَتَّى تَرَوْهُ وَلَا تُفْطِرُوا حَتَّى تَرَوْهُ فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدُرُوا لَهُ ثَلَاثِينَ قَالَ فَكَانَ ابْنُ عُمَرَ إِذَا كَانَ شَعْبَانُ تِسْعًا وَعِشْرِينَ نَظَرَ لَهُ فَإِنْ رُئِيَ فَذَاكَ وَإِنْ لَمْ يُرَ وَلَمْ يَحُلْ دُونَ مَنْظَرِهِ سَحَابٌ وَلَا قَتَرَةٌ أَصْبَحَ مُفْطِرًا فَإِنْ حَالَ دُونَ مَنْظَرِهِ سَحَابٌ أَوْ قَتَرَةٌ أَصْبَحَ صَائِمًا قَالَ فَكَانَ ابْنُ عُمَرَ يُفْطِرُ مَعَ النَّاسِ وَلَا يَأْخُذُ بِهَذَا الْحِسَابِ حَدَّثَنَا حُمَيْدُ بْنُ مَسْعَدَةَ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْوَهَّابِ حَدَّثَنِي أَيُّوبُ قَالَ كَتَبَ عُمَرُ بْنُ عَبْدِ الْعَزِيزِ إِلَى أَهْلِ الْبَصْرَةِ بَلَغَنَا عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَحْوَ حَدِيثِ ابْنِ عُمَرَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَادَ وَإِنَّ أَحْسَنَ مَا يُقْدَرُ لَهُ أَنَّا إِذَا رَأَيْنَا هِلَالَ شَعْبَانَ لِكَذَا وَكَذَا فَالصَّوْمُ إِنْ شَاءَ اللَّهُ لِكَذَا وَكَذَا إِلَّا أَنْ تَرَوْا الْهِلَالَ قَبْلَ ذَلِكَ
Telah menceritakan kepada kami Sulaiman bin Daud Al 'Ataki, telah menceritakan kepada kami Hammad, telah menceritakan kepada kami Ayyub, dari Nafi' dari Ibnu Umar, ia berkata; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: "Satu bulan adalah dua puluh sembilan, maka janganlah kalian berpuasa hingga melihatnya dan janganlah berbuka (berhari raya) hingga melihatnya, kemudian apabila tertutup awan maka hitunglah tiga puluh." Sulaiman berkata; dan Ibnu Umar apabila Bulan Sya'bah adalah dua puluh sembilan maka ia berpuasa, apabila terlihat maka itulah Ramadhan, dan apabila tidak terlihat dan tidak terhalangi oleh awan serta debu maka pagi harinya ia dalam keadaan berbuka, dan apabila terhalang awan atau debu untuk melihatnya maka di pagi hari dalam keadaan berpuasa. Ia berkata; dan Ibnu Umar berbuka bersama orang-orang dan tidak mengambil perhitungan ini. Telah menceritakan kepada kami Humaid bin Mas'adah, telah menceritakan kepada kami Abdul Wahhab, telah menceritakan kepadaku Ayyub, ia berkata; Umar bin Abdul Aziz menulis surat kepada penduduk Bashrah mengatakan; telah sampai kepada kami dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam …. Seperti hadits tersebut Ibnu Umar, dari Nabi shallalla ̅hu ‘alaihi wa sallam. Ia menambahkan; dan sesungguhnya sebaik-baik hitungan adalah apabila kami melihat Hilal Sya'ban demikian dan demikian maka puasa insya Allah demikian dan demikian, kecuali apabila kalian melihat Hilal sebelum itu.(HR Abu Daud No.1976)
Sebenarnya maksud dan tujuan dari rukyat adalah untuk mengetahui secara pasti kapan tanggal satu dalam bulan hijriyah, itu intinya. Adapun methode yang digunakan saat itu baru memungkinkan dengan cara melihat langsung (rukyat), karena pengetahuan masyarakat Arab ketika itu tentang hisab atau astronomi masih sangat terbatas.
حَدَّثَنَا سَعِيدُ بْنُ عَمْرٍو أَنَّهُ سَمِعَ ابْنَ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَاعَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ إِنَّا أُمَّةٌ أُمِّيَّةٌ لَا نَكْتُبُ وَلَا نَحْسُبُ الشَّهْرُ هَكَذَا وَهَكَذَا يَعْنِي مَرَّةً تِسْعَةً وَعِشْرِينَ وَمَرَّةً ثَلَاثِينَ
“Telah menceritakan kepada kami Sa'id bin 'Amru bahwa dia mendengar Ibnu 'Umar radhiallhu anhu dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda, "Kita ini adalah ummat yang ummi, yang tidak biasa menulis dan juga tidak menghitung satu bulan itu jumlah harinya segini dan segini, yaitu sekali berjumlah dua puluh sembilan dan sekali berikutnya tiga puluh hari".(HR Bukhari No.1780 dan Muslim No.1806)
3. Antara Tujuan dan Sarana
Methode penentuan tanggal 1 pada kalender hijriyah ketika itu yang paling mudah adalah dengan melihat atau merukyat hilal. Pada intinya methode untuk merukyat adalah untuk membantu penetapan tanggal 1 Ramadhan atau 1 Syawal, jadi intinya hanya washilah saja sementara tujuannya adalah untuk mendapatkan informasi yang benar tentang hilal tersebut.
Ini sama halnya ketika kita membaca Qs Al Anfal 8:60, dimana bergetarnya musuh Allah adalah karena ada persiapan yang disanggupi dan pasukan berkuda (ribatul khayl). Tentu perlu diperhatikan mana yang menjadi washilah dan mana yang menjadi maksud dan tujuan.
وَأَعِدُّوا لَهُمْ مَا اسْتَطَعْتُمْ مِنْ قُوَّةٍ وَمِنْ رِبَاطِ الْخَيْلِ تُرْهِبُونَ بِهِ عَدُوَّ اللَّهِ وَعَدُوَّكُمْ وَآخَرِينَ مِنْ دُونِهِمْ لا تَعْلَمُونَهُمُ اللَّهُ يَعْلَمُهُمْ وَمَا تُنْفِقُوا مِنْ شَيْءٍ فِي سَبِيلِ اللَّهِ يُوَفَّ إِلَيْكُمْ وَأَنْتُمْ لا تُظْلَمُونَ (٦٠)
“Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Allah dan musuhmu dan orang orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya; sedang Allah mengetahuinya. apa saja yang kamu nafkahkan pada jalan Allah niscaya akan dibalasi dengan cukup kepadamu dan kamu tidak akan dianiaya (dirugikan).”( Qs Al Anfal 8:60)
Tentu untuk masa kini persiapan perang yang bisa menggetarkan musuh-musuh Allah itu bukan hanya dengan ribathul khayl atau pasukan kaveleri (berkuda), tetapi lebih dari itu diperlukan sistem persenjataan yang canggih dan modern serta pasukan yang memadai, mulai dari pasukan invantri, kaveleri, artileri sampai pesawat canggih. Justru menyalahi sunnatullah apabila melawan persenjataan canggih hanya dengan pasukan berkuda.
Ilustrasi ini menunjukkan bahwa yang dimaksud dengan keterangan nash adalah bahwa yang dimaksud adalah menetapkan tujuan tersebut memerlukan washilah-washilah tertentu. Washilah bisa berkembang seiring dengan perkembangan zaman, yang penting adalah tercapainya tujuan yang dimaksud. Dengan kata lain untuk menentukan tanggal 1 pada bulan-bulan Hijriyah untuk masa kini akan lebih akurat apabil menggunakan peralatan yang lebih canggih dan modern.
Namun pada kenyataannya kaum muslimin di berbagai belahan dunia pun sampai hari ini mengalami perbedaan dalam menentukan methode penentuan awal bulan Hijriyah. Lantas, bagaimana praktik penentuan awal Ramadhan pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ? Hal ini menjadi penting karena apa yang dipraktikkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam merupakan sunnah yang harus diikuti oleh umat Islam.
4. Penentuan Ramadhan dengan Keputusan Ulil Amri
Dalam praktiknya di Madinah Al Munawwaroh, semasa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam masih hidup memimpin umat Islam, jika ada kaum muslimin yang melihat (merukyat) hilal maka tidak serta merta ia melaksanakan shaum Ramadhan, tetapi yang dilakukannya adalah melaporkannya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan Bilal bin Rabbah untuk mengumumkan kepada warga Madinah, dan setelah itu barulah shaum Ramadhan dilaksanakan oleh seluruh warga Madinah secara serentak. Ibnu Hajar Asqalani dalam Bulughul Maram menyebutkan hadits-hadits berikut ini.
وَعَنِ اِبْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ: ( تَرَاءَى اَلنَّاسُ اَلْهِلَالَ, فَأَخْبَرْتُ رَسُولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم أَنِّي رَأَيْتُهُ, فَصَامَ, وَأَمَرَ اَلنَّاسَ بِصِيَامِهِ ) رَوَاهُ أَبُو دَاوُدَ,
Ibnu Umar RA berkata: “Orang-orang melihat bulan sabit, lalu aku beritahukan kepada NabiRasulullah shallallahu alaihi wa sallam bahwa aku benar-benar telah melihatnya. Lalu beliau shaum dan menyuruh orang-orang agar shaum. (HR Abu Dawud).
وَعَنِ اِبْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا أَنَّ أَعْرَابِيًّا جَاءَ إِلَى اَلنَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم فَقَالَ: ( إِنِّي رَأَيْتُ اَلْهِلَالَ, فَقَالَ: " أَتَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ? " قَالَ: نَعَمْ. قَالَ: " أَتَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللهِ? " قَالَ: نَعَمْ. قَالَ: " فَأَذِّنْ فِي اَلنَّاسِ يَا بِلَالُ أَنْ يَصُومُوا غَدًا" )
“Dari Ibnu Abbas RA bahwa ada seorang Arab Badui menghadap Nabi Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, lalu berkata: Sungguh aku telah melihat bulan sabit (tanggal satu). Nabi shallallahu alaihi wa sallam bertanya: "Apakah engkau bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah?" Ia berkata: Ya. Beliau bertanya: "Apakah engkau bersaksi bahwa Muhammad itu utusan Allah." Ia menjawab: Ya. Beliau bersabda: "Umumkanlah pada orang-orang wahai Bilal, agar besok mereka shaum." (HR Tirmidzi No.627, HR Ibnu Majah No.1642)
Bukan hanya penentuan awal Ramadhan, pengakhiran Shaum Ramadhan juga melalui keputusan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
حَدَّثَنَا حَفْصُ بْنُ عُمَرَ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَنْ جَعْفَرِ بْنِ أَبِي وَحْشِيَّةَ عَنْ أَبِي عُمَيْرِ بْنِ أَنَسٍ عَنْ عُمُومَةٍ لَهُ مِنْ أَصْحَابِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّ رَكْبًا جَاءُوا إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَشْهَدُونَ أَنَّهُمْ رَأَوْا الْهِلَالَ بِالْأَمْسِ فَأَمَرَهُمْ أَنْ يُفْطِرُوا وَإِذَا أَصْبَحُوا أَنْ يَغْدُوا إِلَى مُصَلَّاهُمْ
Telah menceritakan kepada kami Hafsh bin Umar telah menceritakan kepada kami Syu'bah dari Ja'far bin Abu wahsyiyah dari Abu 'Umair bin Anas dari paman-pamannya yang juga sahabat Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bahwa suatu rombongan datang kepada Nabi shallalla ̅hu ‘alaihi wa sallam, mereka bersaksi bahwa mereka telah melihat hilal kemarin. Maka beliau memerintahkan mereka (masyarakat) untuk berbuka puasa, dan keesokan harinya, mereka berpagi-pagi menuju ke tempat shalat (untuk melaksanakan shalat hari raya)." (HR Abu Daud No.977)
Abdullah bin Umar RA berkata,
أَنَّ رَكْبًا جَاءُوا إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَشْهَدُونَ أَنَّهُمْ رَأَوُا الْهِلَالَ بِالْأَمْسِ، فَأَمَرَهُمْ أَنْ يُفْطِرُوا، وَإِذَا أَصْبَحُوا أَنْ يَغْدُوا إِلَى مُصَلَّاهُمْ
“Ada seorang sambil menunggang kendaraan datang kepada Nabi shallallahu alaihi wa sallam ia bersaksi bahwa telah melihat hilal di sore hari. Lalu Nabi memerintahkan orang-orang untuk berbuka dan memerintahkan besok paginya berangkat ke lapangan” (HR. At Tirmidzi no.1557, Abi Daud no.1157)
Bahkan, dalam kondisi tertentu, seperti yang terjadi ketika Perang Futuh Mekkah, maka keputusan Ulil Amri pula yang membatalkan shaum ramadhan bagi pasukan Islam.
عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللهِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَرَجَ عَامَ الْفَتْحِ إِلَى مَكَّةَ فِي رَمَضَانَ فَصَامَ حَتَّى بَلَغَ كُرَاعَ الْغَمِيمِ فَصَامَ النَّاسُ ثُمَّ دَعَا بِقَدَحٍ مِنْ مَاءٍ فَرَفَعَهُ حَتَّى نَظَرَ النَّاسُ إِلَيْهِ ثُمَّ شَرِبَ فَقِيلَ لَهُ بَعْدَ ذَلِكَ إِنَّ بَعْضَ النَّاسِ قَدْ صَامَ فَقَالَ أُولَئِكَ الْعُصَاةُ أُولَئِكَ الْعُصَاةُ وحَدَّثَنَاه قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْعَزِيزِ يَعْنِي الدَّرَاوَرْدِيَّ عَنْ جَعْفَرٍ بِهَذَا الْإِسْنَادِ وَزَادَ فَقِيلَ لَهُ إِنَّ النَّاسَ قَدْ شَقَّ عَلَيْهِمْ الصِّيَامُ وَإِنَّمَا يَنْظُرُونَ فِيمَا فَعَلْتَ فَدَعَا بِقَدَحٍ مِنْ مَاءٍ بَعْدَ الْعَصْرِ
Dari Jabir bin Abdullah radhialla ̅hu ‘anhu, bahwa pada tahun Fathu Makkah (pembebasan kota Mekkah) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar menuju Makkah, yakni tepatnya pada bulan Ramadhan. Saat itu, beliau berpuasa hingga sampai di Kura' Al Ghamim, dan para sahabat pun ikut berpuasa. Kemudian beliau meminta segayung air, lalu beliau mengangkatnya hingga terlihat oleh para sahabat kemudian beliau meminumnya. Setelah itu dikatakanlah kepada beliau, "Sesungguhnya sebahagian sahabat ada yang terus berpuasa." Maka beliau bersabda: "Mereka adalah orang-orang yang bermaksiat, mereka adalah orang-orang yang bermaksiat." Dan telah menceritakan kepada kami Qutaibah bin Sa'id telah menceritakan kepada kami Abdul Aziz yakni Ad Darawardi, dari Ja'far dengan isnad ini, dan ia menambahkan; Lalu dikatakan kepada beliau, "Sebenarnya orang-orang merasa berat untuk melaksanakan puasa, tapi berhubung mereka melihat Tuan melaksanakannya maka merekapun berpuasa." Akhirnya beliau meminta segayung air setelah shalat 'Ashar.” (HR Muslim No.1878)
Kedudukan Ulil Amri pada bulan Ramadhan selain menentukan awal dan akhir Ramadhan, juga menutuskan berbagai pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan umat Islam berkenaan dengan shaum Ramadhan. Hal ini pernah terjadi ketika seorang sahabat Rasulullah shallallahu wa sallam melaporkan pelanggaran shaum ramadhan yang dilakukan dirinya ketika jima’ dengan istrinya pada siang hari. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian menjatuhkan sanksi kepada sahabatnya tersebut sebagai sanksi hukum.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ هَلَكْتُ يَا رَسُولَ اللهِ قَالَ وَمَا أَهْلَكَكَ قَالَ وَقَعْتُ عَلَى امْرَأَتِي فِي رَمَضَانَ قَالَ هَلْ تَجِدُ مَا تُعْتِقُ رَقَبَةً قَالَ لَا قَالَ فَهَلْ تَسْتَطِيعُ أَنْ تَصُومَ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ قَالَ لَا قَالَ فَهَلْ تَجِدُ مَا تُطْعِمُ سِتِّينَ مِسْكِينًا قَالَ لَا قَالَ ثُمَّ جَلَسَ فَأُتِيَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِعَرَقٍ فِيهِ تَمْرٌ فَقَالَ تَصَدَّقْ بِهَذَا قَالَ أَفْقَرَ مِنَّا فَمَا بَيْنَ لَابَتَيْهَا أَهْلُ بَيْتٍ أَحْوَجُ إِلَيْهِ مِنَّا فَضَحِكَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَتَّى بَدَتْ أَنْيَابُهُ ثُمَّ قَالَ اذْهَبْ فَأَطْعِمْهُ أَهْلَكَ
Dari Abu Hurairah radhialla ̅hu ‘anhu, ia berkata, “Seorang laki-laki datang menghadap Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata, "Celaka diriku wahai Rasulullah." Beliau bertanya: "Apa yang telah mencelakakanmu?" Laki-laki itu menjawab, "Saya telah menggauli isteriku di siang hari pada bulan Ramadhan." Beliau bertanya: "Sanggupkah kamu untuk memerdekakan budak?" Ia menjawab, "Tidak." Beliau bertanya lagi: "Sanggupkan kamu berpuasa dua bulan berturut-turut?" "Tidak." jawabnya, Beliau bertanya lagi: "Sanggupkah kamu memberi makan kepada enam puluh orang miskin?" Ia menjawab, "Tidak." Abu Hurairah berkata; Kemudian laki-laki itu pun duduk, sementara Nabi shallalla ̅hu ‘alaihi wa sallam diberi satu keranjang berisi kurma. Maka beliau pun bersabda: "Bersedekahlah dengan kurma ini." Laki-laki itu pun berkata, "Adakah orang yang lebih fakir dari kami. Karena tidak ada penduduk di sekitar sini yang lebih membutuhkannya daripada kami." Mendengar ucapan itu, Nabi shallalla ̅hu ‘alaihi wa sallam tertawa hingga gigi taringnya terlihat. Akhirnya beliau bersabda: "Pulanglah dan berilah makan keluargamu dengannya." (HR Muslim No.1870)
Praktik penentuan awal dan akhir shaum Ramadhan, serta pembatalan shaum Ramadhan untuk kondisi tertentu dan keputusan tentang pemberian sanksi hukum bagi pelanggar shaum, diputuskan berdasar ketetapan (maklumat) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai pimpinan tertinggi Madinah Al-Munaawarah, dan ini merupakan implementasi prinsip-prinsip kepemimpinan dalam Islam.
Petunjuk Al-Qur’an adalah mengembalikan setiap perbedaan kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul-Nya (Sunnah) dan keputusan Ulil Amri, ini adalah lebih utama dan lebih baik akibatnya.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الأمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلا (٥٩)
”Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah dan Rasul, jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”. (Qs. An Nisaa 4:59).
Keputusan Ulil Amri atas masalah yang dihadapi ummat merupakan kewenangan yang diberikan Allah SWT kepada setiap Ulil Amri untuk memutuskan perkara berdasar petunjuk Allah SWT dan untuk menyatukan ummat.
يَا دَاوُدُ إِنَّا جَعَلْنَاكَ خَلِيفَةً فِي الأرْضِ فَاحْكُمْ بَيْنَ النَّاسِ بِالْحَقِّ وَلا تَتَّبِعِ الْهَوَى فَيُضِلَّكَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ إِنَّ الَّذِينَ يَضِلُّونَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ لَهُمْ عَذَابٌ شَدِيدٌ بِمَا نَسُوا يَوْمَ الْحِسَابِ (٢٦)
”Hai Daud, Sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi, Maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat dari jalan Allah akan mendapat azab yang berat, karena mereka melupakan hari perhitungan”. (Qs. Shad 38:26)
Sedang pada sisi ummat sendiri, upaya melaporkan kesalahan yang dilakukan dirinya untuk meminta sanksi dari Ulil Amri merupakan implementasi dari ketentuan taubat yang digariskan oleh Allah SWT dalam ayat-ayat berikut ini.
وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ رَسُولٍ إِلا لِيُطَاعَ بِإِذْنِ اللَّهِ وَلَوْ أَنَّهُمْ إِذْ ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ جَاءُوكَ فَاسْتَغْفَرُوا اللَّهَ وَاسْتَغْفَرَ لَهُمُ الرَّسُولُ لَوَجَدُوا اللَّهَ تَوَّابًا رَحِيمًا (٦٤)فَلا وَرَبِّكَ لا يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لا يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا (٦٥)
“Dan Kami tidak mengutus seseorang Rasul melainkan untuk ditaati dengan seizin Allah. Sesungguhnya Jikalau mereka ketika menganiaya dirinya datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah, dan Rasul pun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang. (64) Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (Qs. An Nisaa 4:64-65)
Dan sikap ummat adalah mendengar dan mentaati keputusan Ulil Amri dengan ikhlas lillahi ta’ala semata menghadap ridho Allah SWT.
إِنَّمَا كَانَ قَوْلَ الْمُؤْمِنِينَ إِذَا دُعُوا إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ لِيَحْكُمَ بَيْنَهُمْ أَنْ يَقُولُوا سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ (٥١)
“Sesungguhnya jawaban orang-orang mukmin, bila mereka dipanggil kepada Allah dan Rasul-Nya agar Rasul menghukum (mengadili) di antara mereka ialah ucapan. "Kami mendengar, dan Kami patuh". dan mereka Itulah orang-orang yang beruntung”. (Qs. An-Nur 24:51)
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلالا مُبِينًا (٣٦)
“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. dan Barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya Maka sungguhlah Dia telah sesat, sesat yang nyata”. (Qs. Al-Ahzab 33:36)
Disini jelas bahwa hanya Ulil Amri-lah yang berhak dan berwenang untuk memutuskan kapan dilaksanakan shaum Ramadhan. Sekalipun ada orang atau pihak yang merukyat atau menghisab hilal, keputusan akhirnya harus dikembalikan kepada Ulil Amri.
Al-Imam An-Nawawi dalam Syarah Shahih Muslimnya berkata: “Yang dimaksud dengan Ulil Amri adalah orang-orang yang Allah Subhanahu wa Ta’ala wajibkan untuk ditaati dari kalangan para penguasa dan pemimpin umat. Inilah pendapat mayoritas ulama terdahulu dan sekarang dari kalangan ahli tafsir dan fiqih serta yang lainnya.” Dalam sistem pemerintahan modern sekarang ini, yang dimaksud Ulil Amri bisa saja Kepala Pemerintahan atau menteri atau para pemimpin yang menjadi penanggung jawab dan pengurus kemashlahatan ummat.
Wallahu a'lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.