Gua Hira (غار حراء) ialah sebuah gua yang terletak kira-kira 3.2 km dari Makkah, di atas sebuah gunung bernama Jabal al-Nur di wilayah Hijaz di Arab Saudi. Gua itu sendiri berukuran 3.7 m panjang dan 1.60 m lebarnya. Tinggi gua itu ialah 270 m dan bisa didaki dengan kira-kira 600 anak tangga. Yang paling unik dari gua hira adalah dari dalamnya kita bisa melihat dengan cukup jelas ke arah Mekkah. Sehingga tempat itu memang tempat yang paling cocok untuk merenung dan bertafakkur kepada Allah tentang kondisi masyarakat sekitar.
Apa yang dilakukan Rasulullah di gua HIra? Ada beberapa riwayat yang menjelaskan tentang cara ibadah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada masa itu. Az-Zarqani dalam kitab Syarh Al-Mawahib berkata, “Tidak ada kejelasan tentang cara ibadah beliau di gua Hira, maka secara umum dipahami bahwa sebatas menyendiri dan menjauhi masyarakatnya yang jahiliyah dan itulah bentuk ibadahnya. Selain itu, Ibnu Al-Murabith serta lainnya mengatakan bahwa beliau beribadah dengan tafakkur, dan ini sesuai dengan pendapat jumhur (mayoritas ulama).”
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah dalam Tafsir Juz ‘Amma (hlm. 260) menyatakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam naik ke gua Hira kemudian ber-takhannuts (bersembunyi) dan beribadah kepada Allah Ta’ala sesuai dengan petunjuk Allah kepada beliau.
Namun dalam haditsnya, Rasulullah pernah menyatakan bahwa ibadah orang-rang terdahulu diantaranya adalah shalat lail.
عَلَيْكُمْ بِقِيَامِ اللَّيْلِ فَإِنَّهُ دَأْبُ الصَّالِحِيْنَ قَبْلَكُمْ وَهُوَ قُرْبَةٌ إِلَى رَبِّكُمْ وَمُكَفِّرَةٌ لِلسَّيِّئَاتِ وَمَنْهَاةٌ عَنِ الإِثْمِ
“Hendaklah kalian melaksanakan qiyamul lail (shalat malam) karena shalat malam adalah kebiasaan orang shalih sebelum kalian dan membuat kalian lebih dekat pada Allah. Shalat malam dapat menghapuskan kesalahan dan dosa.” (HR. Al-Hakim, Al-Baihaqi)
ibadah atau Syariat pada masa sebelum Nabi daam syariat dikenal dengan istilah Syar’un Man Qablanaa (syari’at sebelum kita). Ada beberapa macam bentuk syar’un man qablanaa, yaitu:
Pertama: Ada hukum yang disyari’atkan kepada umat sebelum kita, lalu Al-Qur’an dan As-Sunnah menyetujuinya. Contoh, syari’at puasa sebagaimana disebutkan dalam ayat,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (QS. Al-Baqarah: 183)
Kedua: Hukum yang disyari’atkan pada umat sebelum kita, lalu Al-Qur’an dan As-Sunnah menghapusnya, maka hukum tersebut tidak menjadi hukum untuk kita.
Contoh, penghormatan di masa Nabi Yusuf dengan bersujud sebagaimana disebutkan dalam ayat,
وَرَفَعَ أَبَوَيْهِ عَلَى الْعَرْشِ وَخَرُّوا لَهُ سُجَّدًا
“Dan ia menaikkan kedua ibu-bapanya ke atas singgasana. Dan mereka (semuanya) merebahkan diri seraya sujud kepada Yusuf.” (QS. Yusuf: 100)
Perbuatan di atas dihapus dalam syari’at kita dengan dalil berikut. Yaitu dari Qais bin Sa’ad, ia berkata bahwa ia pernah mendatangi Hirah, ia melihat bahwa orang-orang pada sujud kepada pemimpin mereka. Ia berkata bahwa kita lebih layak sujud kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka ketika itu Qais mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menceritakan yang ia saksikan tadi, maka Rasul bersabda setelah itu,
فَلاَ تَفْعَلُوا لَوْ كُنْتُ آمِرًا أَحَدًا أَنْ يَسْجُدَ لأَحَدٍ لأَمَرْتُ النِّسَاءَ أَنْ يَسْجُدْنَ لأَزْوَاجِهِنَّ لِمَا جَعَلَ اللَّهُ لَهُمْ عَلَيْهِنَّ مِنَ الْحَقِّ
“Janganlah lakukan seperti itu. Andai aku mau memerintah untuk sujud kepada yang lain tentu aku akan menyuruh istri untuk sujud kepada suaminya karena kewajiban yang besar bagi wanita yang telah Allah tetapkan kepadanya.” (HR. Abu Daud, no. 2140. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan)
Ketiga: Hukum umat sebelum kita yang tidak terdapat dalil penyebutan dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah, kita hanya tahu dari mereka, namun syari’at kita tidak membatalkannya. Seperti ini tidaklah menjadi syari’at kita tanpa ada beda pendapat di antara para ulama.
Seperti orang sebelum kita dari Ahli Kitab membaca Taurat dengan bahasa Ibrani, lantas mereka tafsirkan dalam bahasa Arab untuk orang Islam. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan ketika itu,
لاَ تُصَدِّقُوا أَهْلَ الْكِتَابِ وَلاَ تُكَذِّبُوهُمْ ، وَقُولُوا ( آمَنَّا بِاللَّهِ وَمَا أُنْزِلَ ) الآيَةَ
“Janganlah kalian benarkan apa yang diberitakan oleh Ahli Kitab dan jangan pula mendustakannya. Katakanlah, ‘Kami beriman kepada Allah dan apa yang ia turunkan.’” (QS. Al-Baqarah: 136). (HR. Bukhari, no. 4485)
Keempat: Hukum yang disebutkan dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah, namun tidak ada dalil yang menyatakan hukumnya menjadi syari’at bagi kita ataukah tidak. Para ulama beda pendapat dalam hal ini, ada yang menjadikan itu sebagai syari’at kita dan ada yang tidak.
Sumber tulisan disini
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.