Sejarah Singkat Berdirinya Nahdlatul Ulama 1)
Setibanya di Tebuireng, santri As’ad (KHR As’ad Syamsul Arifin Situbondo) menyampaikan tasbih yang dikalungkan oleh dirinya dan mempersilakan KH Hasyim Asy’ari untuk mengambilnya sendiri dari leher As’ad. Bukan bermaksud As’ad tidak ingin mengambilkannya untuk Kiai Hasyim Asy’ari, melainkan As’ad tidak ingin menyentuh tasbih sebagai amanah dari KH Cholil Bangkalan kepada KH Hasyim Asy’ari. Sebab itu, tasbih tidak tersentuh sedikit pun oleh tangan As’ad selama berjalan kaki dari Bangkalan ke Tebuireng.
Setelah tasbih diambil, Kiai Hasyim Asy’ari bertanya kepada As’ad: “Apakah ada pesan lain lagi dari Bangkalan?” Kontan As’ad hanya menjawab: “Ya Jabbar, Ya Qahhar”, dua asmaul husna tarsebut diulang oleh As’ad hingga tiga kali sesuai pesan sang guru. Setelah mendengar lantunan itu, Kiai Hasyim Asy’ari kemudian berkata, “Allah SWT telah memperbolehkan kita untuk mendirikan jam’iyyah”. (Choirul Anam, 2010: 72)
Riwayat tersebut merupakan salah satu tanda atau petunjuk di antara sejumlah petunjuk berdirinya Nahdlatul Ulama (NU). Akhir tahun 1925 santri As’ad kembali diutus Mbah Cholil untuk mengantarkan seuntai tasbih lengkap dengan bacaan Asmaul Husna (Ya Jabbar, Ya Qahhar. Berarti menyebut nama Tuhan Yang Maha Perkasa) ke tempat yang sama dan ditujukan kepada orang sama yaitu Mbah Hasyim.
Petunjuk sebelumnya, pada akhir tahun 1924 santri As’ad diminta oleh Mbah Cholil untuk mengantarkan sebuah tongkat ke Tebuireng. Penyampaian tongkat tersebut disertai seperangkat ayat Al-Qur’an Surat Thaha ayat 17-23 yang menceritakan Mukjizat Nabi Musa as.
Awalnya, KH Abdul Wahab Chasbullah (1888-1971) sekitar tahun 1924 menggagas pendirian Jam’iyyah yang langsung disampaikan kepada Kiai Hasyim Asy’ari untuk meminta persetujuan. Namun, Kiai Hasyim tidak lantas menyetujui terlebih dahulu sebelum ia melakukan sholat istikharah untuk meminta petunjuk kepada Allah SWT. Sikap bijaksana dan kehati-hatian Kiai Hasyim dalam menyambut permintaan Kiai Wahab juga dilandasi oleh berbagai hal, di antaranya posisi Kiai Hasyim saat itu lebih dikenal sebagai Bapak Umat Islam Indonesia (Jawa).
Kiai Hasyim juga menjadi tempat meminta nasihat bagi para tokoh pergerakan nasional. Peran kebangsaan yang luas dari Kiai Hasyim Asy’ari itu membuat ide untuk mendirikan sebuah organisasi harus dikaji secara mendalam. Hasil dari istikharah Kiai Hasyim Asy’ari dikisahkan oleh KH As’ad Syamsul Arifin.
Kiai As’ad mengungkapkan, petunjuk hasil dari istikharah Kiai Hasyim Asy’ari justru tidak jatuh di tangannya untuk mengambil keputusan, melainkan diterima oleh KH Cholil Bangkalan, yang juga guru Mbah Hasyim dan Mbah Wahab. Dari petunjuk tersebut, Kiai As’ad yang ketika itu menjadi santri Mbah Cholil berperan sebagai mediator antara Mbah Cholil dan Mbah Hasyim.
Ada dua petunjuk yang harus dilaksanakan oleh Kiai As’ad sebagai penghubung atau washilah untuk menyampaikan amanah Mbah Cholil kepada Mbah Hasyim. Dari proses lahir dan batin yang cukup panjang tersebut menggamabarkan bahwa lika-liku lahirnya NU tidak banyak bertumpu pada perangkat formal sebagaimana lazimnya pembentukan organisasi. NU lahir berdasarkan petunjuk Allah SWT. Terlihat di sini, fungsi ide dan gagasan tidak terlihat mendominasi. Faktor penentu adalah konfirmasi kepada Allah SWT melalui ikhtiar lahir dan batin.
Namun, tidak bisa dipungkiri bahwa berdirinya NU merupakan rangkaian panjang dari sejumlah perjuangan. Karena berdirinya NU merupakan respons dari berbagai problem keagamaan, peneguhan mazhab, serta alasan-alasan kebangsaan dan sosial-masyarakat. Digawangi oleh KH Wahab Chasbullah, sebelumnya para kiai pesantren telah mendirikan organisasi pergerakan Nahdlatul Wathon atau Kebangkitan Tanah Air pada 1916 serta Nahdlatut Tujjar atau Kebangkitan Saudagar pada 1918.
Kiai Wahab Chasbullah sebelumnya, yaitu 1914 juga mendirikan kelompok diskusi yang ia beri nama Tashwirul Afkar atau kawah candradimuka pemikiran, ada juga yang menyebutnya Nahdlatul Fikr atau kebangkitan pemikiran. Dengan kata lain, NU adalah lanjutan dari komunitas dan organisasi-organisasi yang telah berdiri sebelumnya, namun dengan cakupan dan segmen yang lebih luas.
Komite Hijaz Embrio lahirnya NU juga berangkat dari sejarah pembentukan Komite Hijaz. Problem keagamaan global yang dihadapi para ulama pesantren ialah ketika Dinasti Saud di Arab Saudi ingin membongkar makam Nabi Muhammad SAW karena menjadi tujuan ziarah seluruh Muslim di dunia yang dianggap bid’ah. Selain itu, Raja Saud juga ingin menerapkan kebijakan untuk menolak praktik bermadzhab di wilayah kekuasaannya. Karena ia hanya ingin menerapkan Wahabi sebagai mazhab resmi kerajaan.
Rencana kebijakan tersebut lantas dibawa ke Muktamar Dunia Islam (Muktamar ‘Alam Islami) di Makkah. Bagi ulama pesantren, sentimen anti-mazhab yang cenderung puritan dengan berupaya memberangus tradisi dan budaya yang berkembang di dunia Islam menjadi ancaman bagi kemajuan peradaban Islam itu sendiri. Choirul Anam (2010) mencatat bahwa KH Wahab Chasbullah bertindak cepat ketika umat Islam yang tergabung dalam Centraal Comite Al-Islam (CCI)--dibentuk tahun 1921--yang kemudian bertransformasi menjadi Centraal Comite Chilafat (CCC)—dibentuk tahun 1925--akan mengirimkan delegasi ke Muktamar Dunia Islam di Makkah tahun 1926. Sebelumnya, CCC menyelenggarakan Kongres Al-Islam keempat pada 21-27 Agustus 1925 di Yogyakarta. Dalam forum ini, Kiai Wahab secara cepat menyampaikan pendapatnya menanggapi akan diselenggarakannya Muktamar Dunia Islam.
Usul Kiai Wahab antara lain: “Delegasi CCC yang akan dikirim ke Muktamar Islam di Mekkah harus mendesak Raja Ibnu Sa’ud untuk melindungi kebebasan bermadzhab. Sistem bermadzhab yang selama ini berjalan di tanah Hijaz harus tetap dipertahankan dan diberikan kebebasan”. Kiai Wahab beberapa kali melakukan pendekatan kepada para tokoh CCC yaitu W. Wondoamiseno, KH Mas Mansur, dan H.O.S Tjokroamonoto, juga Ahmad Soorkatti.
Namun, diplomasi Kiai Wahab terkait Risalah yang berusaha disampaikannya kepada Raja Ibnu Sa’ud selalu berakhir dengan kekecewaan karena sikap tidak kooperatif dari para kelompok modernis tersebut. Hal ini membuat Kiai Wahab akhirnya melakukan langkah strategis dengan membentuk panitia tersendiri yang kemudian dikenal dengan Komite Hijaz pada Januari 1926.
Pembentukan Komite Hijaz yang akan dikirim ke Muktamar Dunia Islam ini telah mendapat restu KH Hasyim Asy’ari. Perhitungan sudah matang dan izin dari KH Hasyim Asy’ari pun telah dikantongi. Maka pada 31 Januari 1926, Komite Hijaz mengundang ulama terkemuka untuk mengadakan pembicaraan mengenai utusan yang akan dikirim ke Muktamar di Mekkah. Para ulama dipimpin KH Hasyim Asy’ari datang ke Kertopaten, Surabaya dan sepakat menunjuk KH Raden Asnawi Kudus sebagai delegasi Komite Hijaz.
Namun setelah KH Raden Asnawi terpilih, timbul pertanyaan siapa atau institusi apa yang berhak mengirim Kiai Asnawi? Maka lahirlah Jam’iyah Nahdlatul Ulama (nama ini atas usul KH Mas Alwi bin Abdul Aziz) pada 16 Rajab 1344 H yang bertepatan dengan 31 Januari 1926 M. Riwayat-riwayat tersebut berkelindan satu sama lain, yaitu ikhtiar lahir dan batin. Peristiwa sejarah itu juga membuktikan bahwa NU lahir tidak hanya untuk merespons kondisi rakyat yang sedang terjajah, problem keagamaan, dan problem sosial di tanah air, tetapi juga menegakkan warisan-warisan kebudayaan dan peradaban Islam yang telah diperjuangkan oleh Nabi Muhammad dan para sahabatnya.
Setiap tahun, Harlah NU diperingati dua kali, 31 Januari dan 16 Rajab.
PERJALANAN SINGKAT NAHDHATUL ULAMA 2)
Pendiri resmi NU adalah Hadratus Syeikh KH. M. Hasyim Asyari, pengasuh Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang, Jawa Timur. Sedangkan yang bertindak sebagai arsitek dan motor penggerak adalah KH. Abdul Wahab Chasbullah, pengasuh Pondok Pesantren Bahrul ‘Ulum Tambakberas, Jombang. Kiai Wahab adalah salah seorang murid utama Kiai Hasyim. Ia lincah, energik dan banyak akal.
Syuriah:
Rais Akbar : KH. M. Hasyim Asy’ari (Jombang)
Wakil rais Akbar : KH. Dahlan Ahyad, Kebondalem (Surabaya)
Katib Awal : KH. Abdul Wahab Chasbullah (Jombang)
Katib Tsani : KH. Abdul Chalim (Cirebon)
A’wan : KH. Mas Alwi Abdul Aziz (Surabaya)
: KH. Ridwan Abdullah (Surabaya)
: KH. Said (Surabaya)
: KH. Bisri Syansuri (Jombang)
: KH. Abdullah Ubaid (Surabaya)
: KH. Nahrowi (Malang)
: KH. Amin (Surabaya)
: KH. Masykuri (Lasem)
: KH. Nahrowi (Surabaya)
Mustasyar : KH. R. Asnawi (Kudus)
: KH. Ridwan (Semarang)
: KH. Mas Nawawi, Sidogiri (Pasuruan)
: KH. Doro Muntoho (Bangkalan)
: Syeikh Ahmad Ghonaim al-Misri (Mesir)
: KH. R. Hambali (Kudus)
Tanfidziyyah:
Ketua : H. Hasan Gipo (Surabaya)
Penulis : M. Sidiq Sugeng Judodiwirjo (Pemalang)
Bendahara : H. Burhan (Gresik)
Pembantu : H. Soleh Sjamil (Surabaya)
: H. Ichsan (Surabaya)
: H. Dja’far Alwan (Surabaya)
: H. Utsman (Surabaya)
: H. Ahzab (Surabaya)
: H. Nawawi (Surabaya)
: H. Dachlan (Surabaya)
: H. Mangun (Surabaya)
Organisasi Nahdltul Ulama’ didirikan dengan tujuan untuk melestarikan, mengembangkan dan mengamalkan ajaran Islam Ahlussunnah Wal Jama’ah dengan menganut salah satu dari empat madzhab (Hanafi, Maliki, Syafi’I dan Hambali).
Bahkan dalam Anggaran Dasar yang pertama (1927) dinyatakan bahwa organisasi tersebut bertujuan untuk memperkuat kesetiaan kaum muslimin pada salah satu madzhab empat.
1. Memperkuatpersatuan ulama’ yang masih setia kepada madzhab.
2. Memberikkan bimbingan tentang jenis-jenis kitab yang diajarkan pada lembaga-lembaga pendidikan Islam.
3. Penyebaran ajaran Islam yang sesuai dengan tuntunan madzhab empat.
4. Memperluas jumlah madrasah dan memperbaiki organisasinya.
5. Membantu pembangunan masjid-masjid, langgar dan pondok pesantren.
6. Membantu anak-anak yatim piatu dan fakir miskin.
Dalam pasal 3 Statuten Perkumpulan NU (1933) disebutkan:
“Mengadakan perhubungan diantara ulama’-ulama’ yang bermadzhab, memeriksa kitab-kitab apakah itu dari kitab Ahlussunnah Waljama’ah atau kitab-kiitab ahli bid’ah, menyiarkan agama Islam dengan cara apa saja yang halal; berikhtiar memperbanyak madrasah, masjid, surau dan pondok pesantren, begitu juga dengan hal ikhwalnya anak yatim dan orang-orang fakir miskin, serta mendirikan baddan-badan untuk memajukan urusan pertanian, perniagaan, yang tidak dilarang oleh syara’ agama Islam”.
Perjalanan Nahdlatul Ulama’
1) 1926 – 1942
Berdiri di Surabaya atas nama perkumpulan para ulama’. Pada masa ini perjuangan dititik-beratkan pada penguatan paham Ahlussunnah Waljama’ah terhadap serangan penganut ajaran Wahabi. Diantara program kerjanya adalah menyeleksi kitab-kitab yang sesuai/tidak sesuai ajaran Ahlussunnah Waljama’ah. Di samping melakukan penguatan persatuan diantara para kyai dan pengasuh pesantren.
Pada tahun 1937, empat orang tokoh pergerakan Islam berkumpul di Surabaya untuk mendirikan federasi organisasi Islamm. Mereka adalah KH. Abdul Wahab Chasbullah dan KH. Dahhlan Ahyad (keduuanya dari NU), KH. Mas Mansur (Muhammadiyah) dan Wondoamiseno (Sarekat Islam). Pertemuan menyepakati berdirinya Majlis Islam A’la Indonesia, disingkat MIAI.
Selain KH. Abdul Wahab Chasbullah dan KH. Dahlan Ahyad yang tercatat sebagai salah seorang pendiri MIAI, dalam perjalanan selanjutnya KH. A. Wachid Hasyim terpilih sebagai Ketua Dewan MIAI – jabatan tertinggi yang ada dalam organisasi itu. Ketika putera Hadratus Syeikh KH. M Hasyim Asy’ari itu mengundurkan diri, posisinya digantikan oleh KH. M. Dahlan, yang juga tokoh NU.
Selain mereka, terdapat juga nama KH. Zainul Arifin, yang menjabat Ketua Komisi Pemberantas Penghinaan Islam dan KH. Machfudz Siddiq dalam Komisi Luar Negeri MIAI. Peranan para tokoh NU sangat dominan dalam menentukan perjalanan MIAI.
Namun ketika Jepang datang (Maret 1942), semua organisasii social kemasyarakatan dan organisasi politik di Indonesia dibekukan. Termasuk NU dan MIAI. Bahkan Rais Akbar NU KH. M. Hasyim Asy’ari dan Ketua Umum PBNU KH. Machfudz Siddiq ditahan oleh Jepang.
2) 1942 – 1945
Ketika ormas-ormas dibekukan oleh Dai Nippon, perjuangan para kiai NU difokuskan melalui jalur diplomasi. Tahun 1942, K.H. A.Wachid Hasyim dan beberapa kiai masuk sebagai anggota Chuo Sangi-In(parleman Jepang).
Lewat parlemen itu pula KH. A. Wachid Hasyim meminta agar pemerintahan balatentara Jepang mengijinkan NU dan Muhammadiyah diaktifkan kembali. Pada bulan September 1943, pemerintaan itu baru dikabulkan. NU dan Muhammadiyah bisa beraktivitas kembali seperti di masa penjajahan Belanda.
Perjuangan diplomasi terus ditingkatkan. Pada akhir Oktober 1943, atas prakarsa NU dan Muhammadiyah pula,didirikan wadah perjuangan baru bagi umat Islam bernama Majelis Syuro Muslimin Indonesia, disingkat Masyumi, dengan KH. A. Wachid Hasyim Asy’ari sebagaian pimpinan tertinggi. Sedangkan K.H.A.Wachid Hasyim duduk sebagai wakilnya. Masyumi adalah kelanjutan dari MIA yang dibubarkan oleh balatentara Jepang.
Ketika pemerintahan balatentara Jepang meminta para pemuda Islam Indonesia bergabung menjadi prajurit pembantu tentara Jepang(Heiho), KH. A. Wachid Hasyim atas nama pemimpin Masyumi, justru meminta agar jepang melatih kemiliteran pemuda Islam secara khusus dan terpisah. Pada 14 Oktober 1944, permintaan itu dikabulkan dengan dibentuknya Hizbullah. Mereka dilatih kemiliteran oleh para komandan PETA dengan pengawasan prajurit Jepang. Bertindak sebagai Panglima Tertinggi Hizbullah adalah KH. Zainul Arifin dari NU.
Sejak itu pesantren-pesantren berubah menjadi markas pelatihan Hizbullah. Para santri menjadi prajurit dan para Gus (putra kiai) menjadi komandannya. Sedangkan para kiai sebagai penasehat spiritual sekaligus penentu kebijakannya.
Sementara di bidang politik, selain aktif dalam pucuk pimpinan masyumi, KH. A. Wahid Hasyim juga duduk sebagai Pimpinan Tertinggi Shumubu (Departemen Agama), menggantikan KH. M. hasyim Asy’ari yang berhalangan untuk berkantor di Jakarta.
3) 1945 – 1952
Ketika Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dibentuk pada 29 April 1945, KH. A. Wahid Hasyim duduk sebagai salah satu anggotanya. Begitu juga dengan KH. A. Wahab Chasbullah, KH. Masjkur dan KH. Zainul Arifin. KH. A. Wahid Hasyim bergabung sebagai anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Ia juga tercatat sebagai salah seorang perumus dasar Negara dan turut serta sebagai penanda tangan Piagam Jakarta, bersama delapan orang lainnya.
Disaat belanda datang lagi dengan membonceng tentara sekutu sambil mengultimatum agar pejuang Indonesia menyerah, NU mengeluarkan Fatwa Jihad pada 22 Oktober 1945. Fatwa yang dikenal dengan Resolusi Jihad Nahdlatul Ulama’ itu mampu membakar semangat perjuangan kaum muslimin. Mereka tidak gentar menghadapi kematian karena perang tersebut dihukumi Perang Sabil (perang agama).
b. Dalam Kabinet Syahrir III (2 Oktober 1946), KH. Fathur Rahman Kafrawi duduk sebagai Menteri Agama dan KH. A. Wahid Hasyim sebagai salah seorang Menteri Negara.
c. Dalam Kabinet Amir Syarifuddin II (1947), KH. Masjkur sebagai Menteri Agama.
d. Dalam Kabinet Hatta I, Kabinet Hatta II dan Kabinet Susanto (1948-1949), KH. Masjkur Sebagai menteri Agama.
e. Dalam Kabinet RIS (20 Desember 1949 – 3 April 1952), KH. A. Wahid Hasyim Sebagai Menteri Agama.
Sementara dalam dunia kemiliteran, sejak tahun 1947 seluruh lasykar dibubarkan pemerintah, digabung menjadi satu dalam wadah Tentara Nasional Imdonesia(TNI).banyak tokoh NU yang telah lama aktif dalam Hizbullah bergabung ke dalam TNI.mereka turut memper kuat barisan angkatan perang yang baru lahir itu
4) 1952 - 1973
Lewat Muktamar NU ke-19 di Palembang pada 1952, NU menjadi partai politik sendiri, setelah sekian lama bergabung dalam Masyumi kekuatan NU yang sebelumnya tidak diperhitungkan, ternyata muncul kekuatan yang sangat besar. Dalam pemilu pertama 1955, partai NU menduduki peringkat ketiga setelah PNI dan Masyumi
Banyak tokoh NU menduduki posisi penting dalam pemerintahan,
a. DalamKabinet Ali Sastroamijoyo I, KH. Zainul Arifin sebagai Wakil Perdana Menteri, KH. Masjkur sebagai Menteri Agama dan Muhammad Hanafiah sebagai Menteri Agraria.
b. Dalam Kabinet Burhanuddin Harahap, Sunaryo, SH menjadi Menteri Dalam Negeri dan KH. M. Ilyas sebagai Menteri Agama.
c. Dalam Kabinet Ali Sastroamijoyo II, Dr. KH. Idham Chalid sebagai Wakil Perdana Menteri, Sunaryo, SH sebagai Menteri Dalam Negeri, Mr Burhanuddin sebagai Menteri Perekonomian, Kh. Fattah yasin sebagai Menteri Sosial dan KH. Ilyas sebagai menteri Agama.
d. Dalam Kabinet Karya, Dr. KH. Idham Chalid sebagai Wakil Perdana Menteri, Prof. Drs. Sunarjo sebagai menteri Perekonomian yang kemudian digantikan oleh Drs. Rahmat Mulyomiseno, KH. M. Ilyas sebagai Menteri Agama dan Sunaryo, Sh sebagai Menteri Agraria.
e. Dalam Kabinet Kerja, KH. A. Wahib Wahab sebagai Menteri Agama kemudian digantikan oleh KH. Saifuddin Zuhri, KH. Fattah Yasin sebagai Menteri Penghubung Alim Ulama’ dan H. M. Hasan sebagai Menteri PPP.
f. Dalam Kabinet Dwikora, Dr. KH. Idham Chalid sebagai Menko Kesra, KH. Saifuddin Zuhri sebagai Menteri Agama, KH. Fattah Yasin sebagai Menteri Penghubung Alim Ulama’ yan kemudian digantikan oleh KH. M. Ilyas dan H. Aminuddin Aziz sebagai Menteri Negara.
g. Dalam Kabinet Ampera, Dr. KH. Idham Chalid sebagai Menko Kesra dan KH. Saifuddin Zuhri sebagai Menteri Agama.
h. Dalam Kabinet Pembangunan I, KH. M. Dahlan sebagai Menteri Agama dan Dr. KH. Idham Chalid sebagai Menko Kesra.
Selain berkiprah dalam pemerintahan, pada masa ini banyak juga tokoh NU yang menduduki posisi pimpiman dalam Lembaga Tertinggi dan Lembaga Tinggi Negara. Mereka adalah:
a) KH.Zainul Arifin, menjadi Ketua DPR-GR (1962 – 1963).
b) HM.Subchan ZE, Wakil Ketua MPRS (1966 - 1971).
c) KH. A. Syaichu, Ketua DPR-GR (1966 - 1971).
d) Dr. KH. Idham Chalid, Ketua MPR-DPR RI (1971 - 1978).
Di samping banyak tokoh NU menempati posisi strategis dalam Kabinet, Lembaga Tinggi Negara, banyak juga yang diangkat Duta Besar RI di luar Negeri.
5) 1973 – 1984
Sejak Tahun 1973, Pemerintah Orde Baru ‘menerbitkan’ partai-partai peserta pemilu. Dari 10 peserta pemilu 1971, disederhanakan menjadi dua partai: partai-partai yang berazas nasionalis dileburkanke dalam partai Demokrasi Indonesia (PDI), sedangkan partai-partai yang berazas islami dileburkan ke dalam Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Partai NU tidak diakui lagi, dan diharuskan melebur kedalam PPP. Sedangkan Golongan Karya (Golkar), tidak diakui sebagai partai lagi,tapi diperbolhkan sebagai salah satu peserta pemilu.
Pada masa ini tokoh NU ‘dibersihkan’ dari pemerintahan. Bahkan Menteri Agama yang sejak awal langganan tetap NU pun diberikan orang lain. Para tokoh NU juga dikikis habis dari berbagai jabatan di pemerintahan. Hanya dua orang yang diberi posisi penting, yaitu KH. Masjkur sebagai Wakil Ketua MPR-DPR RI (1977 - 1983) dan KH. Idham Chalid sebagai Dewan Pertimbangan Agung (1977 - 1982).
Dalam kancah politik maupun pemerintahan, para tokoh NU benar-benar dipinggirkano oleh pemerintah Orde Baru yang didukung penuh oleh TNI dan POLRI. Dalam dua kali pemilu (1977 dan 1982) banyak tokoh NU masuk penjara dengan aneka macam tuduhan.Sebagai dampak langsung dari sifat represif pemerintah kala itu, banayak Cabang NU besrta Badan Otonmnya di daerah tidak aktif. Pengurusnya ketakutan.
6) 1984 – 1998
Lewat Muktamar NU ke-27 di Situbondo pada 1984, NU memasuki babak baru. Setelah malang melintang dalam dunia politik praktis selama 32 tahun, akhirnya NU kembali ke jati dirinya seperti saat didirikan pada tahun 1926. Preristiwa itu dikenal dengan istilah kembali ke Khittah 1962. NU telah lepas dari politik praktis dan kembali ke jam’iyah diniyah (organisasi keagamaan) yang mengurusi dakwah dan keagamaan.
Dalam dua kali pemilu kemudian (1987 dan 1992), banyak tokoh NU yang menjadi penggembosan PPP. Selain karena paktor pribadi, aksi itu terjadi karena ekses dari campur tangan pemerintah Orde Baru pada partai politik yang begitu mendalam. Amat adanya unsur adu domba antara kelompk NU dan MI dalam kelom PPP. Akibat dari unsure besar-besaran itu, PPP benar-benar gembos. Perolehan suaranya merosot tajam.
Sementara itu NU mulai sibuk kembali membenahi sekolah-sekolah dan rumah sakit-rumah sakitnya yang telah lama terabaikan. Pengajian-pengajian mulai masuk ke unit-unit pemerintahan.Hubungan ke pemerintah yang telah sekian lama terputus dirajut kembali sedikit demi sedikit. Satui persatu Cabang dan ranting yang mati dihidupkan kembali.Di sisi lain, nama NU semakin dikenal di luar Negeri. Beberapa kali Ketua Umum PBNU KH. Abdurrahman Wahid mendapat penghargaan. Bahkan untuk pertama kalinya Ketua Umun PBNU terpilih sebagai salah satu presiden Agama-agama di dunia(WRCP).
7) 1998 – 2004
Ketika terjadi euphoria pasca jatuhnya Presiden Soeharto dan terbukanya Orde Reformasi dalam dunia politik (1998), NU kembali masuk kembali ke dalam kancah politik praktis. PBNU memfasilitasi berdirinya Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) pada 23 Juli 1998. Mau tak mau partai baru ini menyeret NU ke dalam permainan politik lagi.
Untuk pertama kalinya, Ketua Umum PBNU KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur), terpilih sebagai Presiden Replubik Indonesia keempat, 1999. Mau tak mau naiknya Gus Dur sebagai presiden membawa dampak psikologis bagi NU. Euforia kemenangan masuk ke berbagai lini. Banyak tokoh NU yang semula terpinggirkan kembali masuk ke pemerintahan. Namun ketika Gus Dur dijatuhkan lewat impeachment DPR pada 2003, dampaknya juga sangat dirasakan oleh NU dan PKB. Posisi NU terasa goyang dimana-mana. Meski Wakil Presiden dijabat oleh Hamzah Haz yang juga orang NU, namun tetap tidak banyak memberikan perubahan. Posisi itu semakin diperburuk dengan gonjang ganjing dalam tubuh PKB. Bahkan partai itu terbelah menjadi dua.
8) 2004 – sekarang
Lewat muktamarnya yang ke-31 di Donohudon, Solo pada 2004, Nu meneguhkan kembali jati dirinya untuk keluar dari politik praktis dan kembali ke jalan Khittah sebagaimana yang pernah diputuskan dalam muktamar ke-27 di Situbondo pada 1984. Perjuangan Nu lebih difokuskan pada peningkatan kualitas pendidikan, ekonomi dan dakwah. Sementara dalam politik praktis NU menjaga jarak yang sama terhadap semua partai politik.
Pada masa ini nama NU semakin dikenal di luar negeri. Bahkan telah menbuka Pengurus Cabang Istimewa (PCI) di beberapa negara. Tak kurang dari PCI Amerika, Australia, Inggris, Jepang, Saudi Arabia, Sudan, Mesir dan lain sebagainya telah didirikan. Sedikit demi sedikit para mahasiswa NU dikirim untuk belajar ke luar negeri, dengan biaya ataupun fasilitas dari PBNU.
Pada tahun 2004 NU memprakarsai berdirinya International Conference of Islamic Scholars (ICIS, Konferensi Internasional Cendekiawan Islam) di Jakarta. ICIS adalah sebuah organisasi Islam yang beranggotakan ulama’-ulama’ moderat sedunia. Lewat ICIS itu pula nama Nahdlatul Ulama’ semakin dikenal di pentas dunia sebagai pelopor gerakan Islam moderat, hingga sekarang.
Sumber:
2) http://mtsnutemayang.blogspot.com/2014/01/sejarah-singkat-berdirinya-nu-nahdlatul.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.