Organisasi Islam Kemasyarakatan Awal Abad XX

 


Pertumbuhan pergerakan Islam di Indonesia mengalami perubahan yang sangat signifikan sejak awal abad XX dimana mulai bermunculan organisasi nasional modern. Merupakan sebuah qadarullah bahwa sejak berakhirnya kerajaan-kerajaan Islam maka bermunculanlah organisasi modern umat Islam di Indonesia. 

Pergerakan Islam di Indonesia dua periode yaitu periode sebelum 1900an dan periode setelah 1900an. Pada masa sebelum era 1900an (abad XX), pergerakan Islam memiliki karakteristik sebagai berikut:
1. Pergerakan atau perlawanan (melawan penjajah) yang bersifat lokal kedaerahan 
2. Pendekatan kepemimpinan kharismatik 
3. Menggunakan senjata tradisional 
4. Reaksioner (hanya untuk melawan perlakuan penjajah). 

Sementara pada masa 1900an, perherakan Islam ditanda empat karakteristik penting yaitu:
1. Perlawanan nasional
2. pendekatan rasional (organisasi)
3. Menggunakan senjata modern yaitu diplomasi, 
4. Bersifat proaktif, yaitu tidak hanya melawan penjajah tetapi juga adanya keinginan untuk pembentukan pemerintahan sendiri. 

Organisasi-organisasi Islam Indonesia pada awal abad XX yang muncul adalah sebagai berikut:

1. Jamiatul Kheir 
Jamiatul Kheir sebagai suatu perkumpulan jauh sebelum tahun 1919 telah terbentuk dan bermula berada di Pekojan, yang merupakan suatu yayasan atau perkumpulan sosial dan menampung semua aspirasi baik Al-Alawiyyin, Al Masyaikh dan Al-Ajami, kemudian tanggal 27 Desember 1928 izin pertama berdirinya Al Arabithah AlAlawiyyah dari pemerintah Belanda, dan izin kedua 27 November 1929.

Pada awal mula didirikan tahun 1901 M, Organisasi Jamiat Kheir lebih bersifat organisasi sosial kemasyarakatan, dimana tujuan awalnya dapat disimpulkan sebagai berikut. Pertama, membantu fakir miskin, baik dalam segi material maupun spiritual. Kedua, mendidik dan mempersiapkan generasi muda Islam untuk mampu berperan pada masa depan. Dan yang ketiga, menolong ummat yang lemah dalam sektor ekonomi.

Dengan proses yang berliku-liku baru mendapat pengesahan tanggal 17 Juli 1905. Organisasi modern pertama di Indonesia ini didirikan oleh elit Hadrami dan bangsawan Arab dari keluarga sayyid bin Syahab dan al-Masyhur.

Berdirinya madrasah Jamiat Kheir berdasarkan akta notaris J.W.Roeloffs Valks Notaris Batavia, nomor 143 tertanggal 17 Oktober 1919 dalam akta “Stichtingsbrief Der Stichting "School Djameat Geir" dengan susunan pengurus pertamanya, sebagai ketua Said Aboebakar bin Alie bin Shahab dan sebagai anggota-anggota pengurus lainnya adalah: Said Abdulla bin Hoesin Alaijdroes, Said Aloei bin Abdulrachman Alhabsi, Said Aboebakar bin Mohamad Alhabsi, Said Aboebakar bin Abdullah Alatas, Said Aijdroes bin Achmad bin Shahab dan Sech Achmad bin Abdulla Basalama (semua dalam ejaan aslinya dalam akta tersebut).

2. Sarekat Dagang Islam (disingkat SDI)
SDI didirikan pada tanggal 16 Oktober 1905 oleh Haji Samanhudi. SDI merupakan organisasi yang pertama kali lahir di Indonesia, pada awalnya Organisasi yang dibentuk oleh Haji Samanhudi dan kawan-kawan ini adalah perkumpulan pedagang-pedagang Islam yang menentang politik Belanda memberi keleluasaan masuknya pedagang asing untuk menguasai komplar ekonomi rakyat pada masa itu. 

Latar belakang lahirnya SDI
a. Tahun 1905 munculnya Politik Etis yaitu Trias (a) irigasi pengairan, (b) emigrasi.perpindahan penduduk, (c) dan edukasi/pendidikan
b. Muncul perasaan tidak suka terhadap keangkuhan dan superioritas bangsa Belanda yang menjadi kelompok aristocrat, 
c. Ketidaksukaan terhadap dominasi etnik Tionghoa yang menguasai perdagangan dalam negeri dan tingkah laku sombong bangsa Tionghoa sesudah revolusi di Tiongkok

Tujuan didirikan SDI adalah untuk mengetahui sosial ekonomi, mempersatukan pedagang-pedagang batik, mempertinggi derajat bumi putera dan memajukan agama dan sekolah-sekolah Islam.

Pendirian SDI dimaksudkan dapat membela kepentingan para pedagang batik muslim di Solo dan menumbuhkan kemampuan dagang dan bersaing dengan pedagang China yang juga menguasai perdagangan batik disana. 

Kehadiran SDI menimbulkan rasa percaya diri yang luar biasa di kalangan pedagang batik, sehingga membuat mereka lebih berani berkonflik dengan orang-orang Tionghoa.

SDI sejak berdirinya sudah menunjukkan sikap kritis terhadap situasi sosial. Pada tanggal 12 Agustus 1912 SDI dibekukan oleh Residen Surakarta karena anggota-anggota SDI terlibat perkelahian dengan orang Tionghoa di Solo dan terjadinya pemogokan buruh dimanagkunegaran yang di sponsori SDI. Kekacauan yang terjadi ini dikuatirkan Belanda lambat laun akan menjadi gerakan melawan Pemerintah.

Namun pembekuan SDI tersebut di cabut kembali pada 26 Agustus 1912 dengan syarat Anggaran Dasar (AD) SDI di rubah sedemikian rupa sehingga ia hanya terbatas pada daerah Surakarta saja. 

Bukannya membatas perkumpulan, sebaliknya para pimpinan SDI berupaya mewujudkan perkumpulan menjadi suatu organisasi nasional. Mereka kemudian berkumpul menyusun anggaran dasar di Surabaya pada September 1912. 

3. Muhammadiyah 
Muhammadiyah didirikan oleh K.H. Ahmad Dahlan di Kampung Kauman Yogyakarta pada tanggal 18 November 1912 (8 Dzulhijjah 1330 H)

Pada masa kepemimpinan Kyai Dahlan (1912-1923), pengaruh Muhammadiyah terbatas di karesidenan-karesidenan seperti: Yogyakarta, Surakarta, Pekalongan, dan Pekajangan, sekitar daerah Pekalongan sekarang. Selain Yogya, cabang-cabang Muhammadiyah berdiri di kota-kota tersebut pada tahun 1922. 

Pada tahun 1925, Abdul Karim Amrullah membawa Muhammadiyah ke Sumatera Barat dengan membuka cabang di Sungai Batang, Agam. Dalam tempo yang relatif singkat, arus gelombang Muhammadiyah telah menyebar ke seluruh Sumatera Barat, dan dari daerah inilah kemudian Muhammadiyah bergerak ke seluruh Sumatera, Sulawesi, dan Kalimantan. Pada tahun 1938, Muhammadiyah telah tersebar keseluruh Indonesia.

4. Al-Irsyad Al-Islamiyyah 
Perhimpunan Al-Irsyad Al-Islamiyyah (Jam’iyat al-Islah wal Irsyad al-Islamiyyah) berdiri pada 6 September 1914 (15 Syawwal 1332 H). Tanggal itu mengacu pada pendirian Madrasah Al-Irsyad Al-Islamiyyah yang pertama, di Jakarta. Pengakuan hukumnya sendiri baru dikeluarkan pemerintah Kolonial Belanda pada 11 Agustus 1915.

Tokoh sentral pendirian Al-Irsyad adalah Al-’Alamah Syeikh Ahmad Surkati Al-Anshori, seorang ulama besar Mekkah yang berasal dari Sudan. Pada mulanya Syekh Surkati datang ke Indonesia atas permintaan perkumpulan Jami’at Khair -yang mayoritas anggota pengurusnya terdiri dari orang-orang Indonesia keturunan Arab golongan sayyid, dan berdiri pada 1905. Nama lengkapnya adalah Syeikh Ahmad Bin Muhammad Assoorkaty Al-Anshary.

Perhimpunan ini adalah perhimpunan mandiri yang sama sekali tidak mempunyai kaitan dengan organisasi politik apapun juga, serta tidak mengurusi masalah-masalah politik praktis (AD, ps. 1 ayat 3).
Syekh Ahmad Surkati tiba di Indonesia bersama dua kawannya: Syeikh Muhammad Tayyib al-Maghribi dan Syeikh Muhammad bin Abdulhamid al-Sudani. Di negeri barunya ini, Syeikh Ahmad menyebarkan ide-ide baru dalam lingkungan masyarakat Islam Indonesia. Syeikh Ahmad Surkati diangkat sebagai Penilik sekolah-sekolah yang dibuka Jami’at Khair di Jakarta dan Bogor.

Berkat kepemimpinan dan bimbingan Syekh Ahmad Surkati, dalam waktu satu tahun, sekolah-sekolah itu maju pesat. Namun Syekh Ahmad Surkati hanya bertahan tiga tahun di Jami’at Khair karena perbedaan paham yang cukup prinsipil dengan para penguasa Jami’at Khair, yang umumnya keturunan Arab sayyid (alawiyin).

Sekalipun Jami’at Khair tergolong organisasi yang memiliki cara dan fasilitas moderen, namun pandangan keagamaannya, khususnya yang menyangkut persamaan derajat, belum terserap baik. Ini nampak setelah para pemuka Jami’at Khair dengan kerasnya menentang fatwa Syekh Ahmad tentang kafaah (persamaan derajat).

Karena tak disukai lagi, Syekh Ahmad memutuskan mundur dari Jami’at Khair, pada 6 September 1914 (15 Syawwal 1332 H). Dan di hari itu juga Syekh Ahmad bersama beberapa sahabatnya mendirikan Madrasah Al-Irsyad Al-Islamiyyah, serta organisasi untuk menaunginya: Jam’iyat al-Islah wal-Irsyad al-Arabiyah (kemudian berganti nama menjadiJam’iyat al-Islah wal-Irsyad al-Islamiyyah).

Setelah tiga tahun berdiri, Perhimpunan Al-Irsyad mulai membuka sekolah dan cabang-cabang organisasi di banyak kota di Pulau Jawa. Setiap cabang ditandai dengan berdirinya sekolah (madrasah). Cabang pertama di Tegal (Jawa Tengah) pada 1917, dimana madrasahnya dipimpin oleh murid Syekh Ahmad Surkati angkatan pertama, yaitu Abdullah bin Salim al-Attas. Kemudian diikuti dengan cabang-cabang Pekalongan, Cirebon, Bumiayu, Surabaya, dan kota-kota lainnya.

Al-Irsyad di masa-masa awal kelahirannya dikenal sebagai kelompok pembaharu Islam di Nusantara, bersama Muhammadiyah dan Persatuan Islam (Persis). Tiga tokoh utama organisasi ini: Ahmad Surkati, Ahmad Dahlan, dan Ahmad Hassan (A. Hassan), sering disebut sebagai “Trio Pembaharu Islam Indonesia.” Mereka bertiga juga berkawan akrab. Malah menurut A. Hassan, sebetulnya dirinya dan Ahmad Dahlan adalah murid Syekh Ahmad Surkati, meski tak terikat jadwal pelajaran resmi.

Namun demikian, menurut sejarawan Belanda G.F. Pijper, yang benar-benar merupakan gerakan pembaharuan dalam pemikiran dan ada persamaannya dengan gerakan reformisme di Mesir adalah Gerakan Pembaharuan Al-Irsyad. Sedang Muhammadiyah, kata Pijper, sebetulnya timbul sebagai reaksi terhadap politik pemerintah Hindia Belanda pada waktu itu yang berusaha untuk menasranikan orang Indonesia.

Muhammadiyah lebih banyak peranannya pada pembangunan lembaga-lembaga pendidikan. Sedang Al-Irsyad, begitu lahir seketika terlibat dengan berbagai masalah diniyah. Ofensif Al-Irsyad kemudian telah menempatkannya sebagai pendobrak, hingga pembinaan organisasi agak tersendat. Al-Irsyad juga terlibat dalam permasalahan di kalangan keturunan Arab, hingga sampai dewasa ini ada salah paham bahwa Al-Irsyad merupakan organisasi para keturunan Arab.

5. Persatuan Islam 
Persatuan Islam (disingkat Persis atau PERSIS) adalah sebuah organisasi Islam di Indonesia. Persis didirikan pada 12 September 1923 di Bandung oleh sekelompok Islam yang berminat dalam pendidikan dan aktivitas keagamaan yang dipimpin oleh Haji Zamzam dan Haji Muhammad Yunus.

Persis didirikan dengan tujuan untuk memberikan pemahaman Islam yang sesuai dengan aslinya yang dibawa oleh Rasulullah Saw dan memberikan pandangan berbeda dari pemahaman Islam tradisional yang dianggap sudah tidak orisinil karena bercampur dengan budaya lokal, sikap taklid buta, sikap tidak kritis, dan tidak mau menggali Islam lebih dalam dengan membuka Kitab-kitab Hadits yang shahih. Oleh karena itu, lewat para ulamanya seperti Ahmad Hassan yang juga dikenal dengan Hassan Bandung atau Hassan Bangil, Persis mengenalkan Islam yang hanya bersumber dari Al-Quran dan Hadits. 

6. Nahdhatul Ulama
Berangkat dari munculnya berbagai macam komite dan organisasi yang bersifat embrional dan ad hoc, maka setelah itu dirasa perlu untuk membentuk organisasi yang lebih mencakup dan lebih sistematis, untuk mengantisipasi perkembangan zaman. 

Maka setelah berkordinasi dengan berbagai kyai, karena tidak terakomodir kyai dari kalangan tradisional untuk mengikuti konperensi Islam Dunia yang ada di Indonesia dan Timur Tengah akhirnya muncul kesepakatan dari para ulama pesantren untuk membentuk organisasi yang bernama Nahdlatul Ulama (Kebangkitan Ulama) pada 16 Rajab 1344 H (31 Januari 1926) di Kota Surabaya. Organisasi ini dipimpin oleh K.H. Hasjim Asy'ari sebagai Rais Akbar.

Ada banyak faktor yang melatar belakangi berdirinya NU. Di antara faktor itu adalah perkembangan dan pembaharuan pemikiran Islam yang menghendaki pelarangan segala bentuk amaliah kaum Sunni. Sebuah pemikiran agar umat Islam kembali pada ajaran Islam "murni", yaitu dengan cara umat islam melepaskan diri dari sistem bermadzhab. 

Bagi para kiai pesantren, pembaruan pemikiran keagamaan sejatinya tetap merupakan suatu keniscayaan, namun tetap tidak dengan meninggalkan tradisi keilmuan para ulama terdahulu yang masih relevan. Untuk itu, Jam'iyah Nahdlatul Ulama cukup mendesak untuk segera didirikan.

Untuk menegaskan prinsip dasar organisasi ini, maka K.H. Hasjim Asy'ari merumuskan kitab Qanun Asasi(prinsip dasar), kemudian juga merumuskan kitab I'tiqad Ahlussunnah Wal Jamaah. Kedua kitab tersebut kemudian diejawantahkan dalam khittah NU, yang dijadikan sebagai dasar dan rujukan warga NU dalam berpikir dan bertindak dalam bidang sosial, keagamaan dan politik.

NU menganut paham Ahlussunah waljama'ah, merupakan sebuah pola pikir yang mengambil jalan tengah antara ekstrem aqli (rasionalis) dengan kaum ekstrem naqli (skripturalis). Karena itu sumber hukum Islam bagi NU tidak hanya al-Qur'an, sunnah, tetapi juga menggunakan kemampuan akal ditambah dengan realitas empirik. Cara berpikir semacam itu dirujuk dari pemikir terdahulu seperti Abu al-Hasan al-Asy'ari dan Abu Mansur Al Maturidi dalam bidang teologi/ Tauhid/ketuhanan. 

Kemudian dalam bidang fiqih lebih cenderung mengikuti mazhab: Imam Syafi'i dan mengakui tiga madzhab yang lain: Imam Hanafi, Imam Maliki,dan Imam Hanbali sebagaimana yang tergambar dalam lambang NU berbintang 4 di bawah. Sementara dalam bidang tasawuf, mengembangkan metode Al-Ghazali dan Syeikh Juneid al-Bagdadi, yang mengintegrasikan antara tasawuf dengan syariat.

7. PERTI
Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti) adalah nama sebuah organisasi massa Islam nasional yang berbasis di Sumatera Barat. Organisasi ini didirikan pada 20 Mei 1930 di Sumatera Barat, dan berakar dari para ulama Ahlussunnah wal jamaah. Kemudian organisasi ini meluas ke daerah-daerah lain di Sumatera, dan juga mencapai Kalimantan dan Sulawesi.

Perti ikut berjuang di kancah politik dengan bergabung ke dalam GAPI dalam aksi Indonesia Berparlemen, serta turut memberikan konsepsi kenegaraan kepada Komisi Visman pada tahun 1939. Memasuki tahun 1944, para pemimpin Perti melakukan gebrakan dengan bergabung ke Majelis Islam Tinggi (MIT) di Bukittinggi, suatu organisasi Islam untuk seluruh Sumatera yang diketuai oleh Syekh Muhammad Djamil Djambek, seorang ulama modernis yang pada masa lalu sempat bersitegang dengan ulama tua Perti.

MIT merupakan tempat untuk merujuk persoalan-persoalan agama, tetapi selama Perang Pasifik, organisasi ini kurang dapat berfungsi dengan baik. Pada bulan Desember 1945, MIT bertransformasi menjadi Masyumi cabang Sumatera sehubungan dengan edaran pemerintah sebelumnya agar rakyat mendirikan partai politik sebagai cermin pelaksanaan demokrasi.

Pada periode yang sama pula Perti memutuskan untuk menjadikan organisasi mereka suatu partai politik tersendiri. Keputusan tersebut diambil pada tanggal 22 November 1945, dan diperkuat oleh kongres di Bukittinggi tanggal 22-24 Desember 1945.

Dalam Pemilihan Umum 1955 Perti mendapatkan empat kursi DPR-RI dan tujuh kursi Konstituante. Setelah Konstituante dan DPR hasil Pemilu dibubarkan oleh Presiden Soekarno, Perti mendapatkan dua kursi di DPR-GR. Dua tokoh kunci Perti juga pernah dipercaya menjabat menteri negara pada masa pemerintahan Soekarno. Kedua ulama tersebut adalah Sirajuddin Abbas sebagai Menteri Keselamatan Negara RI dan Rusli Abdul Wahid sebagai Menteri Negara Urusan Umum dan Irian Barat. Pada masa Orde Baru Perti bergabung dengan Partai Persatuan Pembangunan.

tulisan ini mengabil dari banyak sumber dan sedang dalam perbaikan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.