يٰٓاَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِّمَنْ فِيْٓ اَيْدِيْكُمْ مِّنَ الْاَسْرٰٓىۙ اِنْ يَّعْلَمِ اللّٰهُ فِفِيْ قُلُوْبِكُمْ خَيْرًا يُّؤْتِكُمْ خَيْرًا مِّمَّآ اُخِذَ مِنْكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْۗ وَاللّٰهُ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ ࣖ
"Wahai Nabi (Muhammad)! Katakanlah kepada para tawanan perang yang ada di tanganmu, “Jika Allah mengetahui ada kebaikan di dalam hatimu, niscaya Dia akan memberikan yang lebih baik dari apa yang telah diambil darimu dan Dia akan mengampuni kamu.” Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang." (Qs Al Anfal 8:70)
Menurut beberapa orang Mufassir ayat tersebut diturunkan berkenaan dengan Abbas bin Abdul Muthalib, Aqil bin Abdul Muthalib, dan Nauf al ibnul-Harits.
عَبّاس بن عَبدُالمُطَّلِب
Berikut adalah kisab Abbas bin Abdul Muthalib r.a dikisahkan oleh Dr. Abdurrahman Umairah dalam bukunya Rijalun wa Nisaaun Anzalallahu fiihim Quranan.
NASAB, MASA KECIL, DAN KELUAGA
Ia adalah paman Rasulullah saw. dan salah seorang yang paling akrab di hatinya dan yang paling dicintainya. Karena itu, beliau senantiasa berkata menegaskan, "Abbas adalah saudara kandung ayahku. Barangsiapa yang menyakiti Abbas sama dengan menyakitiku."
Di zaman Jahiliah, ia mengurus kemakmuran Masjidil Haram dan melayani minuman para jamaah haji. Seperti halnya ia akrab di hati Rasulullah, Rasulullah pun dekat sekali di hatinya. Ia pernah menjadi pembantu dan penasihat utamanya dalam baiat al-Aqabah menghadapi kaum Anshar dari Madinah.
Menurut sejarah, ia dilahirkan tiga tahun sebelum kedatangan Pasukan Gajah yang hendak menghancurkan Baitullah di Mekah. Ibunya, Natilah binti Khabbab bin Kulaib, adalah seorang wanita Arab pertama yang mengenakan kelambu sutra pada Baitullah al-Haram.
Pada waktu Abbas masih anak-anak, ia pernah hilang. Sang ibu lalu bernazar, kalau puteranya itu ditemukan, ia akan mengenakan kelambu sutra pada Baitullah. Tak lama antaranya, Abbas ditemukan, maka ia pun menepati nazarnya itu.
Istrinya terkenal dengan panggilan Ummul Fadhal (ibu Si Fadhal) karena anak sulungnya bernama al-Fadhal. Wajahnya tampan. Ia duduk di belakang Rasulullah saw. ketika beliau menunaikan haji wada'-nya. Ia meninggal dunia di Syam karena bencana penyakit amuas. Anak-anaknya yang lain sebagai berikut. Abdullah, seorang ahli agama yang mendapat doa Rasulullah saw., meninggal di Thaif. Ketiga, Qutsam, wajahnya mirip benar dengan Nabi saw.. Ia pergi berjihad ke negeri Khurasan dan meninggal dunia di Samarkand. Keempat, Ma’bad, syahid di Afrika. Abdullah (bukan Abdullah yang pertama), orangnya baik, kaya, dan murah had, meninggal dunia di Madinah. Puterinya, Ummu Habibah, tidak banyak dibicarakan oleh sejarah.
MASUK ISLAMNYA
Para ahli sejarah berbeda keterangan tentang Islamnya Abbas. Ada yang mengatakan, sesudah penaklukan Khaibar. Ada yang mengatakan, lama sebelum Perang Badar. Kabarnya, ia memberitakan kegiatan kaum musyrikin kepada Nabi di Madinah, dan kaum muslimin yang ada di Mekah banyak mendapat dukungan dari beliau. Kabarnya, ia pernah menyatakan keinginannya untuk hijrah ke Madinah, tapi Rasulullah menyatakan, "Kau lebih baik tinggal di Mekah."
Keterangan kedua ini dikuatkan oleh keterangan Abu Rafi', pembantu Rasulullah saw., "Pada waktu itu, ketika aku masih kanak-kanak, aku menjadi pembantu di rumah Abbas bin Abdul Muthalib. Ternyata, pada waktu itu, Islam sudah masuk ke dalam rumah tangganya. Baik Abbas maupun Ummul Fadhal, keduanya sudah Islam. Akan tetapi, Abbas takut kaumnya mengetahui dan pecah-belah, lalu ia menyembunyikan keislamannya."
Ia selalu menemani Rasulullah saw. di Ka’bah. Ka'ab bin Malik mengutarakan, "Kami (saya dan al-Barra' bin Ma'rur) mencari Rasulullah saw Kami tidak tahu dan tidak mengenal Rasulullah sebelumnya. Kami bertemu dengan seorang penduduk kota Mekah. Kami tanyakan di mana kami bisa menemui Rasulullah.
Kami menjawab, 'Ya!' Memang kami sudah mengenalnya karena ia sering datang ke negeri kami membawa dagangan.
Orang tadi lalu berkata, 'Kalau kalian masuk ke Masjidil Haram, orang yang duduk di sebelah Abbas itulah orang yang kalian cari!'
Kemudian, kami masuk ke Masjidil Haram. Ternyata, kami menemukan Abbas duduk di sana dan Rasulullah saw. duduk di sebelahnya."
PERAN DALAM BAIAT AQABAH
Abbas r.a. mempunyai peran penting yang tidak bisa diabaikan dalam baiat al-Aqabah. Ia orang pertama yang berpidato dalam majelis itu. Ia berkata, "Wahai kaum Khazraj, (pada masa itu, suku al-Aus dan al-Khazraj di-panggil dengan al-Khazraj saja) kalian seperti yang saya ketahui, telah mengundang datang Muhammad. Ketahuilah bahwa Muhammad itu orang yang paling mulia di tengah-tengah familinya. Ia dibela oleh orang-orang yang sepaham dan orang-orang yang tidak sepaham dengan pikirannya demi memelihara nama baik keluarga. Muhammad sudah menolak tawaran orang lain selain kalian Kalau kalian memiliki kekuatan, ketabahan, dan pengertian tentang ilmu peperangan, mempunyai kekuatan menghadapi persekutuan dan permusuhan seluruh bangsa Arab, karena mereka akan menyerang kalian dengan satu busur dan satu anak panah, maka camkanlah baik-baik terlebih dahulu, rembukkanlah antara kalian dengan mufakat dan sepakat bulat dalam majelis ini karena sebaik-baik bicara itu ialah yang jujur."
Kata-kata itu menunjukkan pengetahuannya yang luas dan pemikirannya yang cerdas tentang berbagai soal Ia ingin mengenali hakikat kaum Anshar dan membangkitkan kesiapsiagaan mereka. Ia lalu berkata lagi, "Cobalah ceritakan kepadaku bagaimana kalian berperang menghadapi musuh?"
Abdullah bin Amru bin Haram bangkit memberikan jawaban, "Percayalah bahwa kami adalah ahli perang. Kami memperoleh keahlian itu berkat kebiasaan dan latihan kami, dan berkat warisan nenek moyang kami. Kami lepaskan anak panah kami sampai habis, lalu kami mainkan tombak kami sampai patah, kemudian kami menyerang dengan pedang, berperang tanding hingga tewas atau menewaskan musuh kami."
Cerahlah wajah Abbas mendengarkan keterangan mereka itu dan amanlah rasanya untuk menyerahkan keponakannya itu, seorang yang paling dekat di hatinya. Seperti ada yang ia lupakan, ia berkata lagi, "Kalian mengatakan ahli peperangan Apakah kalian mempunyai baju besi?"
"Ya, lengkap," jawab mereka.
Rasulullah saw. kemudian membaiat mereka dan Abbas mengambil tangan Rasulullah saw. untuk mengukuhkan baiat itu.
TERLIBAT PERANG BADAR BERSAMA MUSYRIKIN
Rasulullah saw. berhijrah ke Yatsrib sedangkan Abbas tinggal di Mekah, mendengarkan berita Rasulullah dan kaum Muhajirin, dan mengirirnkan berita-berita kaum Quraisy, hingga berkecamuknya Perang Badar. Rasulullah saw. tahu bahwa Abbas dan keluarganya dipaksa keluar berperang oleh Quraisy sedangkan mereka tidak berdaya mengelak.
Rasulullah bersabda, "Aku tahu ada orang-orang dari Bani Hasyim dan lain-lain yang dipaksa keluar. Mereka tidak mempunyai kepentingan untuk memerangi kami. Siapa di antara kalian yang menjumpai mereka, orang-orang dari Bani Hasyim, janganlah dibunuh; siapa yang menjumpai Abbas bin Abdul Muthalib, paman Nabi saw., janganlah di bunuh karena ia keluar berperang karena terpaksa."
Muhammad ibnu Ishaq mengatakan, telah menceritakan kepadaku Al-Abbas ibnu Abdullah ibnu Mugaffal. dari sebagian keluarganya, dari Abdullah ibnu Abbas r.a.. bahwa Rasulullah Saw. bersabda dalam Perang Badar:
"إِنِّي قَدْ عَرَفْتُ أَنَّ أُنَاسًا مِنْ بَنِي هَاشِمٍ وَغَيْرِهِمْ، قَدْ أُخْرِجُوا كُرْهًا، لَا حَاجَةَ لَهُمْ بِقِتَالِنَا، فَمَنْ لَقِيَ مِنْكُمْ أَحَدًا مِنْهُمْ -أَيْ: مِنْ بَنِي هَاشِمٍ -فَلَا يَقْتُلُهُ، وَمَنْ لَقِيَ أَبَا الْبَخْتَرِيِّ بْنَ هِشَامٍ فَلَا يَقْتُلُهُ، وَمَنْ لَقِيَ الْعَبَّاسَ بْنَ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ فَلَا يَقْتُلُهُ، فَإِنَّهُ إِنَّمَا أُخْرِجَ مُسْتَكْرَهًا".
"Sesungguhnya aku telah mengetahui sejumlah orang dari kalangan Bani Hasyim dan lain-lainnya, mereka berangkat ke medan perang karena dipaksa, padahal tidak ada urusan bagi mereka untuk memerangi kita. Maka barang siapa di antara kalian menjumpai seseorang dari mereka - yakni dari kalangan Bani Hasyim—, janganlah ia membunuhnya. Dan barang siapa yang menjumpai Abul Buhturi ibnu Hisyam, janganlah ia membunuhnya. Dan barang siapa yang menjumpai Al-Abbas ibnu Abdul Muttalib, janganlah ia membunuhnya, karena sesungguhnya dia berangkat ke medan perang karena dipaksa."
Keterangan Rasulullah saw. itu tersebar luas di kalangan orang yang pergi ke Badar. Kaum mukminin menerima baik perintahnya itu kecuali Abu Hudzaifah bin Utbah bin Rabi'ah, yang berucap dengan lantang, 'Kami membunuh bapak kami, anak-anak kami, saudara-saudara dan keluarga kami, lalu kami akan membiarkan Abbas? Demi Allah, kalau aku menjumpainya, aku akan memancungnya dengan pedangku ini!"
Kata-katanya itu terdengar oleh Rasulullah saw., lalu beliau berkata kepada Umar ibnul-Khaththab, "Ya Aba Hajsah, ada juga orang yang mau menghantam wajah paman Rasulullah dengan pedangnyal"
"Biarkanlah, y a Rasulullah, aku penggal leher Abu Hudzaif ah itu dengan pedangku ini. Demi Allah, dia itu seorang munafik”, ucap Umar.
Akan tetapi, Rasulullah tidak membiarkan Umar bertindak membunuh kawan-kawannya yang bersalah. Beliau membiarkan mereka bertobat dan menebus dosanya masing-masing. Ternyata, Abu Hudzaifah sangat menyesali kata-katanya itu dan senantiasa mengulang-ulang perkataannya, 'Demi Allah, rasanya hatiku tidak aman atas kata-kata yang pernah aku ucapkan dahulu dan aku senantiasa dikejar-kejar rasa takut olehnya, sebelum Allah memberikan tebusan kepadaku dengan syahadah!" Ternyata, harapannya itu Allah penuhi, ia tewas sebagai syahid dalam Perang Yamamah.
HIJRAHNYA
Pada suatu hari, Abbas pergi berhijrah ke Madinah bersama Naufalibnul-Harits. Ahli sejarah berbeda pendapat tentang tarikh hijrahnya, namun mereka sependapat bahwa Rasulullah saw. telah memberikan sebidang tanah kepada-nya berdekatan dengan tempat kediamannya.
KEDEKATAN NABI DENGAN ABBAS
Di Madinah terjadi pertengkaran antara seseorang dengan Abbas, yang berakar sejak zaman Jahiliah, di mana orang itu memaki-maki ayah Abbas. Gangguan orang itu terhadap Abbas terjadi berulang-ulang sehingga menyakitkan hatinya, lalu ia ditampamya. Kabilah orang itu tidak senang hati, mereka siap-siap akan menuntut balas. Mereka berkata, "Demi Allah, kami akan menamparnya seperti ia menampar saudara kami!"
Ancaman mereka itu terdengar oleh Rasulullah saw., lalu beliau mengumpulkan kaum muslimin dan naik ke atas rnimbar, seraya memanjatkan puja dan puji kepada Allah Ta'ala dan bersabda, "Wahai para hadirin, tahukah kalian, siapa orang yang paling mulia di sisi Allah Ta'ala?" "Engkau, ya Rasulullah!" jawab hadirin.
"Tahukah kalian bahwa Abbas itu dariku dan aku darinya? Janganlah kalian mengumpat orang-orang yang sudah mati, jangan sampai menyakiti kita yang masih hidup."
Kabilah orang itu datang menghadap Rasulullah seraya berkata, "Ya Rasulullah, kami mohon perlindungan Allah dari kegusaranmu, maafkanlah dosa kami, ya Rasulullah."
Pernyataan Rasulullah saw. tersebut menguatkan keterangan Abu Majas r.a. tentang sabdanya, "Abbas adalah saudara kandung ayahku. Barangsiapa yang menyakitinya sama dengan menyakitiku."
TENTANG JABATAN PEMERINTAHAN
Pada suatu hari, Abbas datang menghadap Rasulullah saw. dan bermohon dengan penuh harap, "Ya Rasullulah, apakah engkau tidak suka mengangkat aku menjadi pejabat pemerintahan?"
Berdasarkan pengalaman, ia seorang yang berpikiran cerdik, berpengetahuan luas, dan mengetahui liku-liku jiwa orang, namun Rasulullah saw. tidak ingin mengangkat pamannya menjadi kepala pemerintahan; ia tidak ingin pamannya dibebani tugas pemerintahan. Ia menjawab harapan pamannya itu dengan manis dan penuh pengertian, "Wahai paman Nabi, menyelamatkan sebuah jiwa lebih baik daripada menghitung-hitung jabatan pemerintahan."
Ternyata Abbas menerima dengan senang hati pendapat Rasulullah saw, tetapi malah Ali bin Abi Thalib r.a. yang kurang puas. Ia lalu berkata kepada Abbas, "Kalau kau ditolak menjadi pejabat pemerintahan, mintalah diangkat menjadi pejabat pemungut sedekah!"
Sekali lagi Abbas menghadap Rasulullah saw. untuk meminta seperti yang dianjurkan Ali bin Abi Thalib itu, lalu Rasulullah saw. bersabda kepadanya, "Wahai pamanku, tak mungkin aku mengangkatmu mengurusi cucian (kotoran) dosa orang."
Rasulullah saw. seorang yang paling akrab dan paling kasih kepadanya, tidak mau mengangkatnya menjadi pejabat pemerintahan atau pengurus sedekah, bahkan ia tidak diberi kesempatan dan harapan mengurusi soal-soal yang bersifat duniawi, tetapi menekankannya supaya lebih menekuni soal-soal ukhrawi.
Untuk yang ketiga kalinya, pamannya itu datang menghadapnya dan berharap dengan penuh kerendahan hati, "Aku ini pamanmu, usiaku sudah lanjut, dan ajalku sudah hampir. Ajarilah aku sesuatu yang kiranya berguna bagiku di sisi Allah!"
Rasulullah saw. menjawab, "Ya Abbas, engkau pamanku dan aku tidak berdaya sedikit pun dalam masalah yang berkenaan dengan Allah, tetapi mohonlah selalu kepada Tuhanmu ampunan dan kesehatan”
Sesudah Rasulullah saw. menunaikan risalah Allah Ta'ala dengan baik, menyampaikan agama-Nya yang lengkap kepada para pewarisnya, maka ia kembali ke rahrnatullah dengan tenang. Ternyata Abbas orang yang paling merasa kesepian atas kepergiannya itu.
Abbas hidup terhormat di bawah pemerintahan Khalifah Abu Bakar ash-Shiddiq, kemudian menyusul pemerintahan Umar ibnul-Khaththab r.a..
PERANG FUTUH MEKKAH
Pada hari kesepuluh bulan Ramadhan 8 H/Januari 630M, Rasulullah meninggalkan Madinah dan berangkat menuju Mekkah bersama 10.000 sahabat. Urusan di Madinah dipercayakan kepada Abu Ruhm Kultsum bin Hushain Al-Ghifari. Ketika Rasulullah tiba di Juhfah (sekitar 180 km dari Mekkah), beliau bertemu pamannya, Abbas bin Abdul Muththalib, yang telah masuk Islam dan hijrah bersama seluruh keluarganya. ‘Abbâs Radhiyallahu anhu selama ini bertindak selaku mata-mata Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam di Mekkah, dan setelah tugasnya selesai, ‘Abbâs pun pergi dari Mekkah. Ini menunjukkan bahwa tidak hijrahnya ‘Abbâs Radhiyallahu anhu selama ini adalah karenaperintah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Rasulullah melanjutkan perjalanan dalam keadaaan puasa, begitu pula semua orang, hingga tiba di Al-Kudaid, sebuah mata air yang terletak antara Asfan dan Qudaid. Mata air tersebut terletak 86 km dari Mekkah, dan 301 km dari Madinah.
Rasulullah kemudian berbuka puasa di sana bersama semua orang yang bersamanya. Setelah itu Nabi melanjutkan perjalanan hingga tiba di Marr Azh-Zhahran. Beliau memerintahkan pasukan untuk berhenti dan mereka pun menyalakan api unggun. Mereka menyalakan ribuan api unggun, dan mengangkat Umar bin Khatab sebagai penjaga.
Setelah pasukan muslim singgah di Marr Azh-Zhahran, Abbas berputar-putar menaiki keledai Rasulullah, barang kali mendapatkan tukang kayu bakar atau seseorang yang bisa memberi kabar kepada orang-orang Quraisy agar mereka keluar, dan meminta jaminan kepada Rasul sebelum beliau memasuki Mekkah.
Sebelumnya pada malam harinya Abbas melihat pemandangan ribuan api unggun yang dikomandoi Umar bin Khattab dan mengatakan, “Bagaimana kiranya nasib suku Quraisy besok, kalau Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai masuk ke Mekkah secara paksa sebelum mereka menghadap beliau dan mendapat jaminan keamanan darinya ? Pastilah itu akan menjadi kebinasaan suku Quraisy sepanjang masa”.Maka Abbas berusaha menemui pembesar Quraisy dan berusaha membujuknya agar tidak terjadi pertumpahan darah.
Allah menjadikan orang-orang Quraisy tidak mendengar kabar ini, meskipun mereka selalu bersikap waspada. Berita mengenai pasukan muslim sama sekali tidak terdengar oleh orang-orang Quraisy. Maka keluarlah Abu Sufyan, Hakim bin Hizam, dan Budail bin Zarqa’ berusaha mencari informasi.
Mereka kemudian bertemu dengan Abbas bin Abdul Muththalib. Abbas memperingatkan Abu Sufyan bahwa pasukan tersebut adalah pasukan muslim, dan menyarankkan Abu Sufyan untuk meminta jaminan keamanan kepada Rasul.
Abu Sufyan setuju dengan saran dari Abbas, maka keduanya berangkat menuju perkemahan kaum muslimin untuk menemui Rasulullah. Dalam perjalanannya, mereka bertemu Umar bin Khatab. Ketika tau orang yang bersama Abbas adalah Abu Sufyan, Umar segera bergegas ke tenda Rasulullah untuk memperingatkan beliau.
Mereka sampai di tenda Rasulullah dalam waktu hampir bersamaan. Sesampainya di tempat Rasulullah, Umar berkata: “Wahai Rasulullah, ini adalah Abu Sufyan. Biarkan aku memenggal lehernya.” Kemudian Abbas berkata, “Wahai Rasulullah aku telah melindunginya.”. Rasulullah kemudian memerintahkan Abu Sufyan untuk pergi ke tenda Abbas, dan meminta mereka kembali ke tenda Rasulullah keesokan harinya.
Abbas dan Abu Sufyan menuruti apa yang dikatakan Rasulullah, keesokan harinya Abu Sufyan menemui kembali Rasulullah. Sempat timbul keraguan pada diri Abu Sufyan, tetapi ia akhirnya masuk Islam. Rasulullah juga memberi jaminan, siapapun yang memasuki rumah Abu Sufyan, ia aman. Barang siapa menutup pintunya, ia aman, dan siapapun yang memasuki Masjidil Haram, ia aman.
Setelah Abu Sufyân pergi, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyuruh Abbas agar membawa Abu Sufyân ke sebuah celah di lereng gunung yang nanti akan dilewati oleh pasukan Rasûlullâh , agar ia bisa menyaksikannya. Maka Abbas pun membawanya ke tempat tersebut, dan lewatlah pasukan Rasûlullâh kabilah demi kabilah dengan panji masing-masing. Tiap kali ada kabilah yang lewat, Abu Sufyân bertanya, “Siapa itu, wahai Abbâs Radhiyallahu anhu ?” “Itu adalah Bani Sulaim,” jawab Abbas. “Hmm, aku tidak ada urusan dengan Bani Sulaim,” gumam Abu Sufyân. Lalu lewatlah kabilah berikutnya, dan Abu Sufyân kembali bertanya, “Siapa itu, wahai Abbas?” “Itu adalah suku Muzainah,” jawab Abbas. “Hmm, aku tidak ada urusan dengan Muzainah,” gumam Abu Sufyân. Hingga lewatlah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan batalyon seragam hijaunya, yang terdiri dari suku Muhajirin dan Anshar. Tidak ada yang nampak dari mereka melainkan kilauan pedang dan besi. Maka Abu Sufyân bertanya keheranan, “Subhanallâh, wahai Abbas, siapa mereka?” “Itulah Rasûlullâh dalam pasukan Muhajirin dan Anshar,” jawab Abbas. “Sungguh, sebelum ini tak ada seorang pun yang menguasai mereka,” celetuk Abu Sufyân, lanjutnya,”Namun, demi Allâh, hari ini kerajaan anak saudaramu itu menjadi sangat besar.” Maka kata Abbas, “Wahai Abu Sufyân, itu bukanlah kerajaan, namun kenabian” “Baik sekali kalau begitu,” jawab Abu Sufyân. “Ayo, selamatkan kaummu sekarang!” kata Abbas
Abu Sufyan kemudian kembali ke Mekkah, dan memperingatkan kepada Quraisy, tentang kekuatan kaum muslim dan mencegah mereka agar tidak melawan. Meskipun telah diperingatkan, masih ada beberapa orang Quraisy yang keras kepala, mereka berkumpul bersama Ikrimah bin Abu Jahal, Shafwan bin Umayyah, dan Suhail bin Amr, dengan maksud memerangi orang-orang Muslim.
PERANG HUNAIN
Setelah peristiwa Futuh Mekkah, Abbas pun leluasa menunjukkan keislamannya. Dia pun ikut berperang bersama Ra-sulullah. Seperti ketika terjadi perang Hunain, di mana Islam harus menghadapi gabungan dari kabilah-kabilah yang tidak rela dengan kejayaan Islam. Mereka adalah kabilah Hawazin, Tsaqif. Nashirjusyam.dan masih banyak lagi. Mereka membu-at persatuan besar yang siap menyerang Islam.
Kondisi umat Islam yang baru saja merayakan kemenangan atas kota Mekkah, serasa di atas angin. Dengan jumlah pasuk¬an hampir 12.ooo orang, mereka menyepelekan musuh. Mere¬ka berpikir kemenangan sudah pasti didapat. Hal ini membuat pasukan Rasulullah lengah. Di lembah Tihamah saat pasukan beristirahat, tiba-tiba pasukan musuh menyerang.
Mendapat serangan dadakan, kondisi umat Islam langsung tercerai berai. Rasulullah melihat pasukannya berlarian mundur. Saat itu. Abbas memegang tali kekang kuda Rasulullah. Dia berada di sisi beliau. bersiap memberikan perlindungan.
"Wahai segenap kaum Anshar! Wahai orang-orang yang su¬dah berjanjisetia!" Seru Abbas di tengah hiruk pikuk peperangan.
Atas izin Allah, seruan itu mampu menembus kekacauan peperangan. Hingga pasukan yang mendengar seruan Abbas langsung menjawab,"Kami datang...! Kami datang...!"
Mereka seolah tersadarkan akan kesalahan mereka lari dari musuh. Mereka pun langsung berlomba mendatangi seruan Abbas. Bahkan saat kuda tunggangan mereka mempersulit, mereka lebih memilih loncat turun dan berlari kencang ke arah Abbas ra.
Peperangan pun langsung berubah arah. Pasukan Islam yang sudah tersadarkan agar tidak lengah dan sombong. lang¬sung bergerak dengan meluruskan niat. Hanya Allah-lah pemiliik kekuatan. Hanya Allah-lah yang bisa memberi kemenangan. Dan itulah yang terjadi, pasukan Islam diizinkan menang dari pasukan pembela berhala.
ABBAS DAN KHALIFAH UMAR
Tiap kali Khalifah hendak ke masjid, ia selalu harus melewati rumah Abbas. Di atas rumahnya itu terdapat sebuah pancuran air. Pada suatu hari, ketika Khalifah Umar pergi ke masjid dengan pakaian rapi hendak menghadiri shalat jamaah, tiba-tiba pancuran air itu menumpahkan airnya dan mengenai pakaian Umar. Ia kembali pulang untuk mengganti pakaian dan memerintahkan supaya pancuran itu dibuka. Sesudah beliau selesai shalat, datanglah Abbas seraya berkata, 'Demi Allah, pancuran itu diletakkan oleh Rasulullah saw."
Khalifah Umar menjawab, "Aku mohon kepadamu supaya engkau memasang kembali pancuran air itu di tempat yang diletakkan Rasulullah saw. dengan menaiki pundakku." Abbas menerirna baik harapan Umar untuk memperbaiki kesalahannya itu.
Abbas tidak marah, tidak mendendam di dalam hati, tetapi ia mengingatkan Umar bahwa yang meletakkan pancuran air itu Rasulullah saw.. Hati Umar yang terkenal keras dan kuat itu tiba-tiba bergetar ketakutan, bagaimana ia memerintahkan mencabut apa yang dipasang Rasulullah saw. Ia rela menebus kesalahannya itu dengan menyuruh Abbas menaiki pundaknya untuk mengembalikan pancuran air itu ke tempatnya semula. Setelah itu, ia memberikan ciurnan cinta dan penghargaan kepada paman Rasulullah saw. itu.
Masjid Nabawi di Madinah kian hari kian menjadi kecil karena bilangan kaum muslimin dari hari ke hari makin bertambah dengan pesatnya. Khalifah Umar berpikir akan memperluasnya dengan membeli rurnah-rumah yang ada di sekitar masjid itu. Semua bangunan yang ada di sekitarnya sudah dibeli kecuali rumah Abbas bin Abdul Muthalib. Apa mungkin ia menyumbangkan harganya kelak ke Baitulmal ataukah ia akan menerima harga ganti ruginya?
Khalifah Umar datang menemuinya seraya berkata, "Ya Abal Fadhal, engkau lihat, masjid sudah sempit sekali karena banyaknya orang shalat di dalamnya. Aku sudah memerintahkan untuk membeli tanah dan bangunan yang ada di sekitarnya untuk memperbesar bangunan masjid, kecuali rumah-mu dan kamar-kamar Ummahatul Mu'minin yang belum. Kalau kamar-kamar Ummahatul Mu'minin rasanya tidak mungkin kami membeli dan membongkarnya, tapi rumahmu juallah kepada kami berapa pun yang engkau kehendaki dari Baitulmal supaya bisa meluaskan bangunan masjid." Abbas menjawab, "Aku tidak mau."
Umar berkata, 'Pilihlah satu di antara tiga: engkau menjual berapa pun yang engkau kehendaki dari Baitul Mal, atau aku akan menggantinya dengan bangunan lain yang akan aku bangunkan untukmu dari Baitul Mal di daerah mana pun di Madinah yang engkau kehendaki, atau engkau berikan sebagai sedekah kepada kaum muslimin untuk meluaskan masjid mereka." Abbas berkeras, "Aku tidak mau terima semuanya." Umar berharap, "Angkatlah seorang penengah antara kami berdua kalau engkau mau."
Abbas menjawab, "Aku setuju mengangkat Ubaiy bin Ka'ab."
Keduanya pergi menemui Ubaiya bin Ka'ab, lalu kepadanya diceritakan segala sesuatunya dan dimintai pendapatnya.
Ubaiy berkata, "Aku mendengar Rasulullah saw. bersabda, “Allah Ta'ala pernah mewahyukan kepada Nabi Dawud, 'Bangunkan untuk-Ku sebuah rumah tempat orang menyebut nama-Ku disana. Nabi Dawud lalu merencanakan pembangunannya di Baitul Maqdis. Dalam perencanaan itu mengenai rumah seorang Bani Israel. Nabi Dawud menawarkan kepada orang itu untuk menjual rumahnya, tapi ia menolak. Tiba-tiba terpikir dalam benak Nabi Dawud untuk mengambilnya dengan paksa. Allah Ta'ala lalu mewahyukan kepadanya, 'Hai Dawud, aku menyuruhmu membangun untuk-Ku sebuah rumah tempat orang menyebut nama-Ku, lalu engkau ingin memasukkan ke dalam rumah-Ku pemaksaan, padahal pemaksaan itu bukan watak-Ku. Karena itu, sebagai sanksinya, kau tidak usah membangunnyal' Nabi Dawud menjawab, 'Ya Allah, aku lakukan pada anakku? Allah berfirman lagi, 'Siapa anakmu itu?""
Khalifah Umar tidak bisa lagi menahan marahnya, lalu ia menyambar baju Ubaiya bin Ka'ab dan menggiringnya ke masjid seraya berkata, "Aku mengharapkan dukunganmu, malah kau menyudutkan aku. Kau harus membuktikan keteranganmu di hadapan kaum muslimin!"
Ia membawanya ke tengah-tengah halaqah yang diselenggarakan sahabat Rasulullah di masjid Nabawi, di rnana antara lain terdapat Abu Dzar r.a.. Umar lalu berkata kepada para hadirin, "Saya mengharap dengan nama Allah, adakah di antara kalian yang mendengarkan Rasulullah saw.berbicara tentang Baitul Maqdis, ketika Allah memerintahkan Nabi Dawud untuk mendirikan rumah-Nya tempat orang menyebut-nyebut nama-Nya?"
Abu Dzar r.a. menjawab, "Ya, saya mendengar!" Disambut oleh yang lain, "Ya, saya juga mendengar!" Dari sudut sana ada pula yang menyambung, "Saya juga mendengar!"
Khalifah Umar r.a. lalu berkata kepada Abbas r.a., "Pergilah! Aku tidak menuntutmu membongkar rumahmu."
Abbas r.a. berkata, "Kalau demikian sikapmu maka aku menyatakan bahwa rumahku kusedekahkan untuk kepentingan kaum muslimin. Silakan perluas masjid mereka. Akan tetapi, kalau kau akan mengambilnya dengan tekanan dan pemaksaan, aku tidak akan mengalah."
Memang Khalifah Umar r.a. bertindak setengah memaksa karena proyek itu menyangkut kepentingan kaum muslimin dan dianggap tidak bertentangan dengan hukum Allah. Akan tetapi, apabila ada nash jelas maka tidak berlaku ijtihadnya. Ia harus tunduk dan menerirna baik syariat Allah dan Rasul-Nya. Sesudah Abbas melihat ketundukan Khalifah Umar kepada hukum dan perundang-undangan, ia tidak lagi mengandalkan kekuasaannya selaku kepala pemerintahan atau akan merampas haknya yang dijamin oleh undang-undang dan dilindungi oleh Islam, tetapi ia benar-benar berjuang demi kesejahteraan kaum muslimin, maka ia pun memutuskan untuk menyerahkan rumahnya itu sebagai hibah dan sedekah untuk meluaskan masjid kaum muslimin.
Demikianlah tokoh-tokoh model "sekolah Rasulullah" dan "sekolah Al-Qur’anul Karim" radhiallahu 'anhum ajma'in. Mereka angkatan kaum muslimin yang pertama, yang telah membawa panji Islam ke seluruh jagat raya ini, yang telah membangkitkan peradaban umat manusia, yang telah mengajar dan mendidik manusia maju pesat dan mengenali perbedaan antara agama kebenaran dan kebatilan.
DOA ABBAS PADA MASA PACEKLIK HUJAN
Pada suatu hari dalam pemerintahan Khalifah Umar, terjadilah paceklik hebat dan kemarau ganas. Orang-orang berdatangan kepada Khalifah untuk mengadukan kesulitan dan kelaparan yang melanda daerahnya masing-masing. Umar menganjurkan kepada kaum muslimin yang berkemampuan supaya mengulurkan tangan membantu saudara-saudaranya yang ditimpa kekurangan dan kelaparan itu. Kepada para penguasa di daerah diperintahkan supaya mengirimkan kelebihan daerahnya ke pusat.
Ka'ab masuk menemui Khalifah Umar seraya mengutarakan, "Ya Amirul Mu'minin, biasanya Bani Israel kalau menghadapi bencana semacam ini, mereka meminta hujan dengan kelompok para nabi mereka."
Umar berkata, "Ini dia paman Rasulullah saw. dan saudara kandung ayahnya. Lagi pula, ia pimpinan Bani Hasyim."
Khalifah Umar pergi kepada Abbas dan menceritakan kesulitan besar yang dialami umat akibat kemarau panjang dan paceklik itu, kemudian ia naik mimbar bersama Abbas seraya berdoa, "Ya Allah, kami menghadapkan diri kepada-Mu bersama dengan paman Nabi kami dan saudara kandung ayahnya, maka turunkanlah hujan-Mu dan janganlah kami sampai putus asa!"
Abbas lalu meneruskan, memulai doanya dengan puja dan puji kepada Allah Ta'ala. "Ya Allah, engkau yang mempunyai awan dan engkau pula yang mempunyai air. Sebarkanlah awan-Mu dan turunkanlah air-Mu kepada kami. Hidupkanlah semua tumbuh-tumbuhan dan suburkanlah semua air susu. Ya Allah, Engkau tidak mungkin menurunkan bencana kecuali karena dosa dan Engkau tidak akan mengangkat bencana kecuali karena tobat. Kini, umat ini sudah menghadapkan dirinya kepada-Mu maka turunkanlah hujan kepada kami. Ya Allah, kami memohon belas kasih-Mu atas nama diri kami dan keluarga kami. Ya Allah, kami memohon belas kasih-Mu atas nama makhluk-Mu yang tidak bicara, atas nama hewan ternak kami. Ya Allah, hujanilah kami dengan hujan keselamatan yang berdaya guna. Ya Allah, kami tidak mengharapkan apa pun selain kepada-Mu dan kami tidak berdoa selain kepada-Mu, dan kami tidak mendambakan sesuatu selain dari-Mu. Ya Allah, kami mengadukan bencana semua orang yang menderita kelaparan, telanjang, ketakutan, dan semua orang yang menderita kelemahan. Ya Allah, selamatkan mereka dengan hujan-Mu sebelum mereka berputus asa dan celaka. Sesungguhnya, tidak akan berputus asa dengan rahmat karunia-Mu kecuali orang-orang yang kafir”.
Ternyata doanya itu langsung diterima dan disambut Allah Ta'ala. Hujan lebat turun dan tumbuh-tumbuhan tumbuh dengan suburnya. Orang-orang bersyukur kepada Allah Ta'ala dan mengucapkan selamat kepada Abbas, "Selamat kepadamu, wahai Saqil Haramain, yang mengurusi minuman orang di Mekah dan Madinah."
Abbas hidup terhormat, baik oleh kaum muslimin maupun oleh para Khulafaur Rasyidin. Kalau ia berjalan dan berpapasan dengan Umar atau Utsman yang sedang berkendaraan, keduanya turun dari kendaraannya, seraya berkata, "Paman Rasulullah saw.!"
WAFATNYA
Sudah menjadi sunnatullah, setiap permulaan ada penghabisannya, setiap perjalanan ada perhentiannya, demikian pula dengan Abbas r.a., perjalanan hidupnya terhenti dan kembali ke rahmatullah menyusul keponakannya saw. dan rekan-rekannya yang lain, pada hari Jurnat tanggal 12 Rajab 32 Hijriah, dalam usia 82 tahun, dan dikebumikan di al-Baqi' di Madinah, rahimahullah wa radhiallahu'anhu.
ASBABUN NUZUL AYAT AL ANFAAL AYAT 70
Ibnu Ishaq mengatakan pula bahwa telah menceritakan kepadaku Al-Kalbi, dari Abu Saleh, dari Ibnu Abbas r.a., dari Jabir ibnu Abdullah ibnu Rabbab yang mengatakan, "Al-Abbas ibnu Abdul Muttalib telah mengatakan bahwa berkenaan dengannyalah ayat ini diturunkan, yaitu di saat ia menceritakan keislamannya kepada Rasulullah Saw." Kemudian disebutkan kelanjutannya semisal dengan hadis di atas.
Dalam Perang Badar yang berkecamuk antara kaum muslimin dan kaum musyrikin, Abbas berhasil ditawan oleh Abdul Yusr Ka'ab bin Amru, yang menurut ahli sejarah kedua tangannya kurus dan perawakannya juga lemah, sedangkan Abbas seorang yang tinggi besar. Rasulullah saw. bertanya keheranan, "Ya Abd Yusr, bagaimana kau bisa menawan Abbas?"
"Ya Rasulullah, aku dibantu oleh seorang yang belum pernah kulihat sebelum dan sesudah itu (lalu ia mengutarakan ciri-ciri dan perawakan orang itu”, jawab Abdul Yusr. "Kau dibantu oleh seorang malaikat yang pemurah," sabda Rasulullah.
Ketika Abbas jatuh sebagai tawanan, pertanyaan pertama yang terlontar adalah tentang keadaan Muhammad kepada yang menawannya, ''Bagaimana keadaan Muhammad dalam peperangan ini?"
"Allah memuliakan dan memenangkannya," jawabnya.
"Segala sesuatu selain Allah rusak. Kini, apa maumu?" tanya Abbas
"Rasulullah melarang kami membunuhmu," jawabnya.
'Itu bukan kebaikannya yang pertama."
Abbas diborgol dan dikumpulkan bersama tawanan perang lainnya. Kiranya, ikatannya terlalu keras sehingga ia merintih kesakitan. Ternyata, rintihannya itu terdengar oleh Rasulullah saw., Beliau gelisah dan tidak bisa memejamkan matanya. Berapa orang sahabat yang melihatnya belum tidur, menegumya, "Wahai Nabi Allah, sudah jauh malam, engkau belum tidur?"
"Aku mendengar rintihan Abbas" jawab Nabi. Orang itu lalu pergi melonggarkan ikatannya, kemudian Rasulullah saw. bertanya lagi, "Mengapa sekarang aku tidak mendengarkan rintihannya?"
"Aku longgarkan ikatannya, ya Rasulullah," jawab sahabat. "Lakukanlah juga terhadap semua tawanan lainnya" perintah Nabi.
Pagi harinya, semua tawanan dihadapkan kepada Rasulullah saw.. Akhirnya, sampailah giliran Abbas. Nabi saw. bersabda, "Ya Abbas, tebuslah dirimu dan keponakanmu Aqil bin Abi Thalib, Naufal bin al-Harist, dan teman karibmu Utbah bin Amru bin Jahdam karena engkau seorang kaya"
"Ya Rasulullah, saya ini seorang muslim, tetapi saya dipaksa ikut berperang oleh mereka," ucap Abbas. Dalam riwayat lain disebutkan, Al-Abbas berkata, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku adalah orang muslim sejak dahulu." Rasulullah Saw. bersabda, "Allah lebih mengetahui keislamanmu. Jika keadaannya memang seperti yang engkau katakan, sesungguhnya Allah akan membalasmu. Tetapi dari lahiriahmu engkau melawan kami, maka tebuslah dirimu dan kedua keponakanmu, yaitu Naufal ibnul Haris ibnu Abdul Muttalib dan Uqail ibnu Abu Talib ibnu Abdul Muttalib. serta teman sepaktamu (yaitu Atabah ibnu Amr, saudara lelaki Banil Haris ibnu Fihr).
"Allah saja yang tahu dengan keislamanmu itu, kalau pengakuanmu itu benar, Allah akan mengganjarmu, namun aku melihatmu dari segi lahirmu maka bayarlah tebusanmu itu”
"Aku tidak mempunyai uang, ya Rasulullah"
"Mana uang yang kau simpan pada Ummul Fadhal, istrimu, ketika kau hendak keluar ikut berperang, lalu pesanmu kepadanya, 'Kalau aku tewas dalam peperangan, uang itu dibagi-bagikan antara kau, Fadhal, Abdullah, Ubaidullah, dan Qatsam?" tanya Rasulullah.
"Dari mana kau tahu ini padahal aku tak pernah memberitahukan hal itu kepada siapa pun?" tanya Abbas keheranan.
"Allah Ta'ala yang rnemberitahukan rahasiamu itu," jawab Nabi. "Aku bersaksi tiada tuhan selain Allah dan engkau benar-benar rasul Allah, bahwa kau seorang yang jujur”.
Pada saat itu, turunlah firman Allah Ta'ala, "Wahai Nabi (Muhammad)! Katakanlah kepada para tawanan perang yang ada di tanganmu, “Jika Allah mengetahui ada kebaikan di dalam hatimu, niscaya Dia akan memberikan yang lebih baik dari apa yang telah diambil darimu dan Dia akan mengampuni kamu.” Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang." (Qs Al Anfal 8:70)
Abbas berkomentar, "Allah berkenan menepati janji-Nya kepadaku, memberikan kebaikan lebih dari apa yang diambil: 20 uqiyah diganti dengan 20 orang budak. Kini, aku sedang menantikan pengampunan-Nya. Aku diberi kuasa mengurus air zamzam dan aku tidak merasa bangga lebih dari itu, meski pun akan memiliki semua harta penduduk kota Mekah. Kini, aku sedang menantikan pengampunan-Nya."
Akan tetapi, dari mana ia memiliki harta bila membeli dua puluh orang budak dan tiap budak memiliki modal yang diperdagangkan?
Muhammad ibnu Ishaq mengatakan, tawanan Perang Badar yang paling banyak tebusannya ialah tebusan Al-Abbas ibnu Abdul Muttalib; karena dia adalah seorang hartawan, maka dia menebus dirinya dengan seratus auqiyah emas. (1 uqiyah emas = 31,7475 gr emas. Maka 100 uqiyah emas = 3100,7 gr emas. Apabila 1 gr emas = Rp. 1.000.000,- maka Abbas menebus dirinya sebagai tawaban dengan jumlah Rp. 3.100.000.000,-) Namun menurut Ali ibnu Abu Talhah yang telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna ayat ini, bahwa Al-Abbas menjadi tawanan dalam Perang Badar, lalu ia menebus dirinya dengan harta sejumlah empat puluh auqiyah emas.
Di dalam Sahih Bukhari disebutkan melalui hadits Musa ibnu Uqbah. Ibnu Syihab mengatakan, telah menceritakan kepada kami Anas ibnu Malik, bahwa sejumlah lelaki dari kalangan Ansar mengatakan, "Wahai Rasulullah, izinkanlah bagi kami menggantikan Abbas dengan anak saudara perempuan kami sebagai tebusannya." Rasulullah Saw. menjawab, "Jangan, demi Allah, kalian jangan mengeluarkan satu dirham pun untuknya."
Ibnu Sa'ad dalam bukunya, ath-Thabaqat al-Kubra, menyebutkan bahwa al-Ala' bin al-Hadhrami mengirirnkan kepada Nabi saw. harta benda sebanyak 80.000. Belum pernah Nabi menerirna lebih dari itu. Kemudian Nabi saw. memerintahkan supaya harta itu diletakkan di atas sehelai tikar di masjid dan mengundang kaum muslimin. Begitu mereka melihat timbunan harta itu, penuh sesaklah masjid dengan orang-orang. Nabi saw. membagi-bagikan harta itu seolah-olah tanpa hitungan dan timbangan, masing-masing diberikan segenggam.
Abbas datang, lalu berkata kepada Nabi saw., "Ya Rasulullah, aku telah memberikan tebusanku dan tebusan Aqil bin Abi Thalib dalam Perang Badar. Aqil tidak punya uang penggantinya. Berikanlah aku dari uang ini!" Rasulullah saw. menjawab, "Ambillah”.
Abbas mengisi kantongnya dengan sepuas-puasnya. Ketika ia hendak pergi, ia tak kuat bangun, lalu ia mengangkat mukanya ke arah Rasulullah untuk meminta bantuan, "Ya Rasulullah, bangunkan aku!" Rasulullah saw. tertawa lebar hingga terlihat gigi taringnya, lalu bersabda, "Harta itu diambil seperlunya; yang lain dikembalikanl" Ia lalu pergi dengan mengambil seperlunya, seraya berucap, "Janji Allah kepadaku, yang satu sudah ditepati dan yang lain aku belum tahu!"
RENUNGAN
Abbas bin Abdul Muthalib r.a., paman Rasulullah saw. dan saudara kandung ayahnya, termasuk salah seorang tokoh sahabat yang ikut mengibarkan panji Islam dan menyebarkan dakwahnya.
Sepak terjangnya dicatat sejarah dengan tinta emas. Dalam baiat al-Aqabah al-Kubra, ia bertindak sebagai seorang penasihat dan perimding ahli, menyertai keponakannya dalam majelis itu, membentangkan sikapnya dengan tepat, dan mengamati sikap kaum Anshar yang hendak menerima kedatangannya ke Madinah dengan cermat.
Ia memberikan gambaran kepada mereka akan bahaya dan risiko yang akan mereka hadapi sepanjang hidup mereka jika menerima Muhammad Rasulullah saw.. Bangsa Arab tidak akan membiarkan Muhammad dan dakwahnya berkembang dengan mulus kecuali kalau mereka terpaksa.
Pada akhir perundingan, sesudah ia yakin bahwa kaum Anshar dari Yastrib itu terdiri atas para pahlawan yang berbudi luhur yang bisa dipercaya dan menerirna keponakannya, barulah ia bangkit mempertemukan tangan Rasulullah saw. dengan tangan wakil kaum Anshar itu sebagai tanda baiat disetujui dan janji setia dimulai, disertai doa harap kepada Allah SWT mudah-mudahan persekutuan yang luhur akan melindungi agama-Nya dan Dia memberi taufik dan hidayah-Nya.
Ketika Nabi saw. hijrah ke Yatsrib, Abbas menyatakan hasratnya akan menyusul ke sana. Akan tetapi, beliau mencegahnya dan menganjurkan supaya tinggal di Mekah saja dulu supaya bisa mendukung semangat kaum mnstadh'afin di Mekah yang belum bisa hijrah meninggalkan Mekah.
Abbas patuh kepada perintah Rasulullah saw. itu. Ia tinggal di Mekah bersama sekelompok kaum muslimin yang belum sanggup pergi berhijrah, menyiapkan kesempatan dan bekal mereka, menutup utang-utang mereka, mengamati gerak-gerik kaum Quraisy supaya selalu diketahui Rasulullah saw. dan tidak bisa mengadakan serangan mendadak kepada mereka.
Pada permulaan Islam, Abbas banyak melunasi utang kaum muslimin yang fakir miskin. Pada zaman kita sekarang ini, alangkah perlunya kita kepada seorang Abbas modem yang sudi menyelamatkan negara-negara Islam dari utang-utang luar negerinya, untuk menyelamatkan umat agar tidak menjadi mangsa pengikut komunis dan kapitalis Barat, dan berdiri tegak membendung invasi ideologi dan kristenisasi di kalangan kaum muslimin.
Ia menjadi tawanan dalam Perang Badar, ia diborgol dan diringkus bersama tawanan yang lain. Ketika borgolnya dilonggarkan, para tawanan yang lain pun harus dilonggarkan.
Tawanan lain harus membayar uang tebusan, Abbas pun harus mem-bayar uang tebusan diri dan keluarganya. Itulah Islam, tidak ada sistem famili atau keluarga, tidak mengutamakan kawan atau kenalan. Tolok ukur keutamaan seseorang hanyalah karena ketakwaan dan amal salehnya.
Pada suatu hari, Khalifah Umar ibnul-Khaththab yang terkenal sebagai penakluk kekaisaran Romawi dan Parsi itu, mencabut pancuran air dari rumah Abbas. Sesudah dibentahukan bahwa pancuran itu dahulu dipasang oleh kedua tangan Rasulullah sendiri, Umar menggigil ketakutan apakah ia akan menyingkirkan apa yang diletakkan Rasulullah? Beranikah ia membongkar apa yang dibangun Rasulullah? Umar resah dan gelisah atas perbuatannya. Ia mengumpat dan mengutuk kelancangannya itu. Barulah ia puas sesudah Abbas menerima baik sarannya untuk mengembalikan pemasangan pancuran air itu ke tempat semula, dengan menjadikan pundaknya sebagai tangganya.
Tiba giliran Umar untuk memperluas masjid Nabawi. Sebagai khalifah kaum muslimin, sebagi panglima Angkatan Perang Islam, ia mempunyai kuasa penuh untuk merampas dan mengganti rugi dari Baitulmal, demi kepentingan kaum muslimin, selama tidak bertentangan dengan hukum agama.
Sikap Umar untuk menggusur rumah Abbas itu rupanya kurang berkenan di hatinya, meskipun ia akan diganti rugi. Ia tidak mau menjual apa yang diberikan Rasulullah itu dan tidak sudi menerirna ganti ruginya. Ia berikan sebagai sedekah karena Allah, demi kepentingan kaum muslimin, sesudah Umar bersikap lemah-lembut tidak disertai paksaan dan kekuasaannya.
Dr. Abdurrahman Umairah, Rijalun wa Nisaaun Anzalallhu fihim Quranan, Beirut: Daarul Jiil, 1994
Dr. Abdurrahman Umairah, Tokoh-Tokoh Yang Diabadikan Al Quran, Jakarta: GIP, 2000
Tidak ada komentar:
Komentar baru tidak diizinkan.