Riwayat Hidup al-Baghawi
Nama lengkap al-Baghawi adalah Abu Muhammad al-Husain bin Mas’ud bin Muhammad bin al-Farra’ al-Baghawi asy-Syafi’i. Seorang fakih madzhab Syafi’i, ahli hadits dan mufassir.[1] Dikenal dengan nama Abu al-Farra’ dikaenakan dalam sehari-harinya ia penjual kulit[2], dan dijuluki sebagai Muhyi al-Sunnah (orang yang menghidupkan sunnah) dan Rukn al-Din (pondasi agama). Al-Baghawi lahir di Baghsyur sebuah kota kecil yang terletak antara Harah, Moro, dan ar-Ruz dari kota Khurasan. Al-Baghawi lahir pada tahun 438H/1046 M, dan wafat pada syawal 516 H/1122 M di Moro Ruz.
Al-Baghawi adalah seorang ulama’ besar yang bermadzhab syafi’i, beliau tumbuh dewasa dengan bermadzhab syafi’i, dikarenakan hidup di lingkungan pengikut madzhab syafi’i, serta menimba ilmu dengan ulama-ulama pengikutnya. Al-Baghawi adalah seorang ahli hadis yang terkenal. Beliau belajar kepada sejumlah besar para hafidz, kemudian belajar fiqih dan hadits kepada salah satu gurunya yaitu Muhammad bin al-Husin al-Marwazi.
Al-Baghawi terkenal bertakwa, wara’, zuhud, berpakaian sederhana, dan qana’ah, sehingga dari sifat wara’nya itu, beliau tidak menyampaikan pelajaran (mengajar) kecuali dalam keadaan suci, kemudian dari kezuhudannya, beliau hanya makan roti .[3]dan di lain hari , beliau berlauk dengan minyak zaitun saja.
Karya-karya al-Baghawi diantaranya adalah:
1. Tafsir Ma’alim al-Tanzil
2. Syarhal-Sunnah fi al-Hadis
3. Al-Mashabih fi al-Hadis
4. Al-Tahdzib fi al-Fiqhi asy-Syafi’iyah
5. Al-Kifayah fi al-Fiqhi
6. Al-Kifayah fi al-Qira’at.
Tentang Tafsir al-Baghawi
Nama tafsir al-Baghawi adalah Ma’alim al-Tanzil dan lebih dikenal dengan tafsir al-Baghawi, tafsir ini terdiri dari 4 jilid. Tafsir ini mulai ditulis pada tahun 464 H. Diterbitkan pertama kali oleh penerbit Hijriyah Bombay, India pada tahun 1295 H, bersamaan dengan tafsir Ibn Katsir. Disusul dengan penerbitan kedua pada tahun 1296 H. Lalu pada tahun 1331 H, diterbitkan oleh penerbit al-Istiqamah.
Kitab tafsir Ma’alim al-Tanzil adalah salah satu kitab tafsir yang cukup dikenal dalam pembahasan mufassir-mufassir salaf (klasik). Dalam muqaddimahnya al-Baghawi menjelaskan rangkaian sanad tafsirnya. Beliau banyak mengutip dari tafsir al-Tsa’labi (al-Kasyf wa al-Baya>n). Al-Baghawi tidak hanya terbatas pada penafsiran bi al-Ma’tsur, beliau juga menjelaskan tentang keragaman makna , qiraat, bahasa (lughah), i’rab, wazan, tafsir dan takwil, hukum-hukum fiqih, disertai dengan pendapatnya dan juga hadits hadits maudhu’ yang terdapat di dalam tafsir al-Tsa’labi.
Tafsir ini adalah salah satu tafsir yang paling baik, paling mudah dipahami, jauh dari kerumitan, tidak berpanjang lebar, serta tidak banyak menyebutkan pembahasan tentang bahasa, nahwu dan fiqih. Di dalamnya, al-Baghawi mengumpulkan antara riwayat yang shahih dan yang dha’if, serta banyak menyebutkan isra’iliyat sebagaimana sumbernya tafsir al-Tsa’labi. Ibn Taimiyah berkata “ Tafsir al-Baghawi adalah ringkasan dari tafsir al-Tsa’labi, akan tetapi al-Baghawi menjaga tafsirnya dari hadits-hadits palsu dan pendapat-pendapat yang di ada-adakan (bid’ah).[4]
Adapun latar belakang penulisannya telah dijelaskan sendiri oleh al-Baghawi:
“Berangkat dari banyaknya permintaan dari sahabat-sahabat saya, agar saya mau menulis sebuah kitab tafsir yang mampu menyingkap nilai-nilai al-Quran, lalu dengan senantiasa mengharap bimbingan dan anugerah-Nya, saya penuhi permintaan mereka. Sekaligus sebagai perwujudan dari wasiat umum Rasulullah SAW, juga mengikuti langkah-langkah para ulama sebelumnya, agar membukukan ilmu yang bisa diwarisi oleh generasi setelahnya. Inilah awal dari tujuan penyusunan kitab tafsir ini. Namun, sebagai konsekuensi dari perkembangan zaman dan peradaban manusia, banyak bermunculan hal-hal baru yang tidak ada pada masa-masa sebelumnya yang perlu memperoleh jawaban dari al-Qur’an, sehingga banyak bermunculan kitab-kitab tafsir yang sangat panjang. Padahal di kalangan umat Islam banyak yang menginginkan tafsir singkat dan padat. Maka, saya susun kitab tafsir ini dengan bentuk yang tidak terlalu panjang dan tidak terlalu pendek. Semoga kitab tafsir ini bermanfaat bagi pembacanya”.
Dalam muqaddimahnya, al-Baghawi menjelaskan tentang manhaj, metode penulisan, rangkaian sanad, kitab-kitab lain yang disusun pada masanya, dan pasal-pasal khusus, diantaranya tentang keutamaan al-Qur’an dan membacanya, dan ancaman bagi orang yang menafsirkan al-Qur’an dengan ra’yunya tanpa landasan keilmuan yang benar.
Disamping al-Baghawi secara khusus merujuk kepada penafsiran al-Tsa’labi, beliau juga berpedoman kepada kitab-kitab hadits, pendapat sahabat dan tabi’in. Sementara penjelasan dari sisi kebahasaan, baik yang terkait dengan makna ayat maupun analisis kebahasaannya, al-Baghawi merujuk kepada para ahli bahasa, seperti imam Khalil bin Ahmad, imam Sibawaih, imam Akhfasy, dan imam Mubarrad.
Diantara para ulama tafsir yang banyak dipengaruhi oleh tafsir al-Baghawi adalah tafsir al-Khazin, sebagaimana hal ini bisa dilihat pada nama kitab tafsirnya, lubab al-Ta’wil fi Ma’ani al-Tanzil. Dalam hal ini al-Khazin mensifati kitab al-Baghawi ini sebagai karya besar dalam bidang tafsir.[5]
Metode dan Corak Tafsir al-Baghawi
Kitab tafsir Ma’alim al-Tanzil merupakan kitab tafsir bil ma’tsur,[6] dan merupakan kitab pertengahan, al-baghowi menukil dari penafsiran sahabat, sahabat dan tabiin. Dan kitab ini dirangkum oleh Syaikh Taj al-Din abu Nasr Abdul Wahhab bin Muhammad al-Husaini (w.875 H)
al-Khozin dalam Muqaddimah tafsirnya mengungkapkan bahwa tafsir tersebut merupakan kitab yang bersumber dari beberapa kitab dalam ilmu tafsir yang paling mulia, paling baik. Penghimpun perkataan yang shohih, terhindar dari yang samar, pemalsuan dan perubahan. Dikuatkan dengan hadis Nabi Saw dan hukum-hukum syariah, dihiasi dengan cerita gharib, mengabarkan keajaiban masa lalu, bertahtakan isyarat yang baik, du ungkapkan dengan ibarat-ibarat yang jelas,dari keindahan hati dan kefasihan ucapan.[7]
Sebagai sebuah tafsir yang lahir pada zamannya, tidak dapat dipungkiri bahwa Ma’âlim al-Tanzil bukan merupakan karya orisinal al-Baghawi semata, tetapi banyak terilhami oleh karya-karya tafsir sebelumnya. Hal ini dinyatakan oleh al-Baghawi sendiri sebagaimana berikut:
وما نقلت فيه من التفسير عن عبد الله بن عباس رضي الله عنهما، حبر هذه الأمة، ومن بعده من التابعين، وأئمة السلف، مثل: مجاهد، وعكرمة، وعطاء بن أبي رباح، والحسن البصري، وقتاده، وأبي العالية، ومحمد بن كعب القرظي، وزيد بن أسلم، والكلبي، والضحاك، ومقاتل بن حيان، ومقاتل بن سليمان، والسُّدّي، وغيرهم فأكثرها مما أخبرنا به الشيخ أبو سعيد أحمد بن إبراهيم الشريحي الخوارزمي، فيما قرأته عليه عن الأستاذ أبي إسحاق أحمد بن محمد بن إبراهيم الثعلبي عن شيوخه رحمهم الله
Ibnu taimiyah berkata dalam muqaddimah fi usul al-Tafsir bahwa tafsir al-baghawi merupakan ringkasan dari al-tsa’labi, tetapi ia menyaring dari hadis-hadis palsu dan membuang hal-hal yang bid’ah. Dan dalam kitab Fatawa syaikh al-islam ibn Timiyah ia berkata: aku ditanya, tafsir manakah yang paling mendekati al-Qur’an dan sunnah? al-Zamakhsyari, al-Qurtubi atau al-Baghowi? Atau yang lainnya? Maka aku menjawab: dari ketiga tafsir tersebut yang paling selamat dari bid’ah dan hadis palsu ialah al-Baghowi.[8]
Al-Kitani mengatakan dalam al-Risalah al-Mustatrafah kadang-kadang di temukan dalam Ma’alim al-Tanzil dari makna-makna dan hikayat-hikayat yang lemah dan maudhu’.
Tafsir ini dianggap merupakan salinan dari tafsir Ibnu Katsir, seperti halnya tafsir khazin. Dak ketika membacanya akan terlihat bahwa dalam menafsirkan ayat-ayat alqur’an dengan kata-kata yang mudah dan ringkas dan menukil dari ulama’ salaf dengan menyebutkan sanadnya misalnya “qala ibnu Abbas kadza wa kadza (berkata ibnu abbas dan seterusnya)” hal ini desubeutkan oleh al-Baghawi dalam muqaddimah tafsirnya.[9]
Sebelum melakukan penafsiran, al-Baghawi melakukan kajian terhadap tiga hal yang berkaitan dengan konteks Al-Qur´an yang dibaginya menjadi 3 fashal, di mana dalam setiap fashal al-Baghawi memberikan penjelasan dengan cara memasukkan jalur periwayatan secara per fashal, yaitu:
فصل في فضائل القرآن وتعليمه (bab keutamaan Al-Qur’an dan mempelajarinya)
فصل في فضائل تلاوة القرآن (Bab tentang keutamaan membaca Al-Qur’an )
فصل في وعيد من قال في القرآن برأيه من غير علم (Bab tentang ancaman bagi orang yang menafsirkan Al-Qur’an dengan ra’yu nya tanpa sebuah ilmu)
Kemudian metode yang digunakan dalam tafsir al-baghowi ini umumnya seperti pada kitab-kitab lainnya yaitu metode tahlili. pertama-tama ia menyebutkan surat dan maknanya, meyebutkan turunnya secara makkiyah atau madaniyah beserta alasannya, kemudian menjelaskan aspek kebahasaan serta i’robnya. Tidak hanya itu ia juga menguraikan qira’at dari ayat yang ditafsirkan baik yang masyhur maupun yang shad, asbab al-Nuzul, kadang-kadang ia menyebutkan dua, tiga ayat atau lebih kemudan baru menyebutkan asbab al-Nuzul, ada pula nasikh dan mansukh, hukum-hukum fiqih dan us}ul fiqih dari madzhab syafi’i serta dasar-dasar madzhab teologi Asy’ari, ia juga mengulas tenntang madzhab mu’tazili.[10]
‘Abdullah al-Namr dan kawan-kawan sebagai muhaqqiq, menyatakan bahwa dalam metode penafsirannya, al-Baghawî merumuskan sejumlah langkah, yaitu:
1. Menguraikan ayat dengan lafadz yang mudah dan ringkas, membahas kata-kata gharīb sampai kepada pengertian yang dimaksud dengan cara merujuk derivasi(asal ) kata yang disertai dengan cross check dalam Al-Qur´an dan Hadis serta penafsiran sahabat, tabi’in dan para ahli linguistik(bahasa).
2. Menggunakan penafsiran Al-qur’an dengan al-Qur’an atau hadis atau perkataan sahabat, Tidak ketinggalan pula selalu berpedomen kepada aqwal al-tabi’in wa al-mujtahidin. Metode ini merupakan eksplorasi dari teori anna Al-Qur´an yufassiru ba’dhuhu ba’dhan sehingga ayat yang bersifat mujmal di satu tempat, di-tafshil di tempat lain atau men-takhsish ayat yang bersifat ‘umûm dengan ayat yang lain, Contohnya: ketika menafsirkan ayat “وَيَمُدُّهُمْ فِي طُغْيَانِهِمْ يَعْمَهُونَ” (dan membiarkan mereka terombang-ambing)[11] menjelaskan makna al-Madda kemudian menyebutkan وَنَمُدُّ لَهُ مِنَ الْعَذَابِ مَدًّا, (dan benar-benar Kami akan memperpanjang azab untuknya)[12], Kemudian menjelaskan makna al-Imdad ia menyebutkan firman Allah Swt وَأَمْدَدْنَاكُمْ بِأَمْوَالٍ وَبَنِينَ (dan Kami membantumu dengan harta kekayaan dan anak-anak)[13].
3. Melakukan klarifikasi atas qira´at tertentu yang dirasanya menyebabkan perubahan makna. Ini dilakukan, misalnya dalam penafsiran : وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ[14] menurut beliau “Imam ‘asim dan penduduk madinah membaca dengan fathah Qa>f, dan yang lain membaca dengan kasrah Qaf, ketika dibaca fatha maka akan bermakana menetaplah dirumah kalian seperti perkataan قَرَرْتُ بِالْمَكَانِ أقر قرأ ويقال قَرَرْتُ أَقَرُّ وَقَرَرْتُ أَقِرُّ ada 2 bahasa: membuang ra’ pertama yang meruakan ain fiil untuk memudahkan bacaan dan memindahkan harakatnya kepada qaf seperti Firman Allah ta’ala فَظَلْتُمْ تَفَكَّهُونَ [15], ظَلْتَ عَلَيْهِ عاكِفاً [16] adapun dengan kasrah qaf dikatakan هُوَ من قررت أقر معناه وأقررن بِكَسْرِ الرَّاءِ kemudian dibuang ra’ yang pertama dan haraktnya dipindah pada qaf dan dikatakan ini yang paling sahih.
4. Merujuk pendapat-pendapat Ahl Sunnah dalam menolak pendapat-pendapat yang bertentangan dengannya sekaligus membela pendapat Ahl Sunnah, baik dengan cara manqûl atau ma´qûl.
5. Memberikan penjelasan fiqhiyyah terhadap ayat-ayat yang berkaitan dengannya. Bahkan, menurut muhaqqiq, kebanyakan melakukan klarifikasi ulang pendapat-pendapat ahli fikih sekaligus mentarjihkan dengan pandangan-pandangan Syafī’i. Tetapi, terkadan al-Baghawi juga membiarkannnya tanpa melakukan pentarjihan.
6. Terkadang menyebutkan cerita-cerita Isra´iliyyat.
7. Dalam jalur riwayat, al-Baghawi memperbanyak pula jalur dari al-Kalabi[17]
Catatan Kaki:
[1]Muhammad ibn Muhammad Abu Syahbah, Israiliyyat dan Hadits-Hadits Palsu Tafsir al-Quran (Cilangkap: Arya Duta, 2014), 168.
[2]Muhyi al-Sunnah Abi Muhammad ibn al-Husayn ibn Mas’ud al-Baghawi, Ma’alim al-Tanzil, (Dar Thayyibah li Nasyr wa al-Tawji, 1998), Jil. I, hlm. 15.
[3]Muhammad Ali aIyazi, al-Mufassirun: h}ayatuhum wa Munhajihim, Jil. III (Teheran: Wizarah al-Thaqafah wa al-Irshad al-Islami. t.t), 645.
[4]Muhammad ibn Muhammad Abu Syahbah, Israiliyyat…, 169.
[5]Muhammad Ali Iyazi, al-Mufassirun…, 646-647.
[6]Muhammad ‘Abd al-‘Azhim Al-Zarqani, Manahil al-‘Irfan fî ‘Ulum Al-Qur´an, Jil. II (t.k: dar al-Kitab al-Arabi), 26.
[7]Muhammad Husain al-Dzahabi, Al-Tafsir wa Al-Mufassirun, Juz. I (Mesir: Maktabah Wahbah, 2000), 169.
[8]lihat Ibn Taymiyyah, Majmu’ al-Fatawa, (t.t: Dar al-Wafa´, 2005), Juz XIII, 354. Lihat juga Muhammad ‘Abdulla>h Al-Namr dkk, “Manhaj al-Baghawi fi al-Tafsîr” dalam Muhammad ibn al-Husayn ibn Mas’ud al-Baghawi, Ma’alim al-Tanzil…, 8.
[9] Husain al-Dzahabi, Al-Tafsir…, 169.
[10]Muhammad Ali aI-Iyazi, al-Mufassirun…,1096.
[11] Q.S. Al-Baqarah(2):15.
[12] Q.S. Maryam (19): 79.
[13] Q.S. Al-Isra’(17): 6.
[14] Q.S. Al-Ahzab (33): 33.
[15] Q.S. Al-Waqi’ah (56): 65.
[16] Q.S. taha (20): 97.
[17] Nama lengkap al-kalabi adalah Abu Nadhr Muhammad bin Saib bin Basyar bin ‘Amr bin ‘Abd al-Harits Al kalabi, al-Kufi, beliau meninggal di Kufah tahun 146 H. Mu’tamir bin Sulaiman berkata dari ayahnya: “ ada dua pembohong di Kufah, salah satunya adalah al-Kalabi”.namun dalam penafsiranya albaghowi sebagai seorang ahli hadist tidak menjadikan riwayat ari al-Kalabi ini sebagai pedoman utama tetapi hanya sebagai khazanah periwayatan saja. Lihat Muhammad ‘Abdullah Al-Namr dkk, “Manhaj al-Baghawi …, 9-11.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.