Bay'at Aqabah Pertama

Masjid Aqabah


A. KEGIGIHAN DAKWAH NABI DAN POTENSI FITRAH BANGSA YATSRIB 
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam (saw) adalah orang yang paling gigih dalam menyampaikan dakwah. Setiap ada manusia yang berada di sekitarnya, bahkan termasuk tokoh masyarakat dan orang dari suku lain, beliau saw pasti mendakwahkannya dan menawarkan ajarannya. 

Setelah sepuluh tahun berdakwah dan ditolak masyarakat dan tokoh Quraisy Mekkah, menjadikan perhatian Rasulullah saw tertuju kepada orang-orang di luar Mekkah. Mereka diantaranya adalah orang-orang Yatsrib terdahulu di mana mereka menerima tawaran Islam dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan baik. Rasulullah juga tidak sungkan untuk berdakwah kepada kabilah-kabilah di luar Mekkah. Berikut kita akan lihat beberapa kisah mereka

1. Kisah Suwaid bin Shamit. 
Beliau adalah seorang penyair yang cerdas berasal dari Yatsrib. Masyarakat menjulukinya Al-Kamil (manusia sempurna) karena ketangguhannya, syi’irnya, ningratnya dan status sosialnya. Suatu hari, ia datang ke Makkah untuk melaksanakan haji dan umrah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun menawarkan Islam kepadanya.

Ia berkata, “Barangkali apa yang ada padamu sama seperti yang ada padaku.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Apa yang ada padamu?” Ia menjawab, “Hikmah Lukman.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Coba tunjukkan kepadaku.” Ia pun menunjukkan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. 

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Sungguh ucapan ini baik dan apa yang ada padaku lebih baik dari ini. Al-Qur’an yang Allah turunkan kepadaku sebagai petunjuk dan cahaya.” Kemudian beliau membacakannya dan mengajak orang itu untuk memeluk Islam. Ia tidak menjauh darinya seraya berkata, “Sungguh ini perkataan yang baik.” Kemudian ia meninggalkannya kembali ke Yatsrib hingga kemudian terbunuh untuk suku Khazraj. Sebagian tokoh masyarakat kaumnya berkata, “Kami melihatnya bahwa ia terbunuh dalam statusnya sebagai muslim.” (sebagaimana disebutkan dalam Al-Bidayah wa An-Nihayah karya Ibnu Katsir)

2. Ath-Thufail bin Umar Ad-Dausy
Ia adalah tokoh yang ditaati oleh kaumnya. Ketika ia berada di Makkah, semua tokoh Quraisy menemuinya dan mewanti-wantinya agar hati-hati terhadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ia berkata, “Mereka terus menerus mengingatkanku sehingga aku pun bertekad tidak akan mendengarkan ucapannya. Sampai-sampai aku tutup telingaku dengan kapas.”

“Suatu pagi, aku ke masjid dan mendapati Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tengah berdiri mengerjakan shalat. Aku pun mendekat kepadanya dan rupanya Allah Ta’ala menginginkan agar aku mendengarkan sebagian bacaannya. Kemudian aku berkata dalam hati, “Aku adalah orang yang cerdas mengerti sya’ir yang bagus dan yang buruk. Mengapa aku tidak mendengar ucapan orang ini”. 

Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam beranjak, aku pun mengikutinya dan mengatakan apa yang dikatakan oleh orang-orang Quraisy, tetapi Allah tidak menginginkan, kecuali Allah ingin memperdengarkan ucapanmu kepadaku. Ternyata aku mendengar ucapan yang sangat bagus. “Ceritakanlah urusanmu kepadaku.”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun menceritakan Islam dan membacakan Al-Qur’an kepadanya. Ia berkata, “Aku pun masuk Islam dan aku katakan, Wahai Nabi Allah, aku adalah orang yang ditaati kaumku. Aku akan kembali menemui dan akan mengajak mereka masuk Islam. Mohonlah kepada Allah agar Dia menjadikan untukku tanda yang akan menolong aku dalam menghadapi kaumku untuk mengajak mereka masuk Islam.” (sebagaimana disebutkan dalam Al-Bidayah wa An-Nihayah)

3. Iyas bin Muadz
Iyas bin Mu’adz adalah seorang pemuda belia dari penduduk Yatsrib, yang datang ke Makkah bersama delegasi suku Aus, dalam rangka mengupayakan persekutuan dengan Quraisy untuk menghadapi kaum mereka dari suku Khazraj. Hal ini terjadi sebelum meletusnya perang Bu’ats pada permulaan tahun kesebelas kenabian, di mana bara permusuhan di antara kedua kabilah di Yatsrib ini sudah menyala. Sementara jumlah suku Aus lebih sedikit daripada Khazraj.

Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengetahui berita mereka lantas mendatanginya seraya berkata,
هَلْ لَكُمْ إِلَى خَيْرٍ مِمَّا جِئْتُمْ لَهُ
“Adakah kamu datang untuk satu keperluan yang lebih baik?”

Mereka bertanya, “Siapa Anda?” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,
أَنَا رَسُولُ اللَّهِ بَعَثَنِى إِلَى الْعِبَادِ أَدْعُوهُمْ إِلَى أَن ْيَعْبُدُوا اللَّهَ لاَ يُشْرِكُوا بِهِ شَيْئاً وَأُنْزِلَ عَلَىَّ كِتَابٌ
“Saya Rasulullah, saya diutus kepada manusia. Saya mengajak manusia untuk menyembah Allah semata, dan tidak berbuat syirik sedikit pun, dan saya diwahyukan Al-Qur’an.”

Lalu beliau menceritakan Islam dan membacakan Al-Qur’an kepada mereka. Lalu Iyas yang kala itu masih belia (ghulam) berkata kepada kaumnya,
أَىْ قَوْمِ هَذَا وَاللَّهِ خَيْرٌ مِمَّا جِئْتُمْ لَهُ
“Wahai kaumku, demi Allah ini lebih baik dari tujuan kamu datang untuknya.”

Abu Al-Haisar (kala itu sebagai ketua delegasi) mengambil segenggam kerikil dan melempari Iyas sambil berkata, “Diam kamu.” Iyas pun terdiam. Ketika mereka kembali ke Yatsrib, tidak lama kemudian Iyas meninggal dunia. Di antara orang yang menyaksikannya menyebutkan dia senantiasa membaca tahlil, takbir, tahmid, serta tasbih hingga ia meninggal dunia. Tetapi mereka tidak menyebutkan kalau ia mati dalam keadaan Islam. Yang jelas ia merasakan keislaman di majelis tadi ketika ia mendengar langsung dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam apa yang ia dengar. (HR. Ahmad, 5:427. Syaikh Syu’aib Al-Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan).

4. Menawarkan Islam kepada Beberapa Kabilah
 Sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menawarkan Islam kepada para tokoh, beliau juga menawarkannya kepada beberapa kabilah yang mengunjungi Makkah dalam rangka berhaji dan berumrah atau pada musim-musim tertentu, agar mereka mau menerimanya, mendukungnya, dan menolongnya. Beliau mengajak mereka kepada ajaran tauhid.

Dari Jarir bin ‘Abdullah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menawarkan dirinya kepada orang-orang pada beberapa tempat seraya berkata,

ألَا رجُلٌ يحمِلُني إلى قومِهِ؛ فإنَّ قُرَيشًا قد منَعوني أن أُبلِّغَ كلامَ رَبِّي.
‘Adakah seseorang yang membawa aku kepada kaumnya karena orang-orang Quraisy menghalangi aku untuk menyampaikan ucapan Rabbku.’” (HR. Abu Daud, no. 4734; Tirmidzi, no. 24, 2925. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadits ini sahih).

Beliau menanyakan setiap kabilah secara berantai, seraya berkata, “Wahai manusia, ucapkanlah laa ilaha illallah, niscaya kalian akan bahagia.” Beliau tidak henti-hentinya mengatakan, “Wahai manusia, ucapkanlah laa ilaha illallah.” Sementara di belakangnya, Abu Lahab selalu menguntitnya sambil berkata, “Ia adalah orang yang murtad dan berdusta.” (HR. Ahmad, 25:404 dan Al-Baihaqi dalam As-Sunan Al-Kubra, 6:21)

Bahkan Abu Lahab tidak hanya berkata buruk, ia juga menyakiti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam secara fisik dengan melemparkan batu hingga kaki beliau yang mulia berdarah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam hanya menghindar dan berpaling tanpa mempedulikannya.

Di antara kabilah yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menawarkan dirinya adalah Bani Amir bin Sha’sha’ah, Muharib bin Fazaarah, Ghassan, Murrah, Hanifah, Sulaim, ‘Abbas, Bani Nashr, Kindah (dari Yaman) dan Kalb, Al-Harist bin Ka’ab, Adzrah, Al-Hadharimah, Bakr bin Wa’il yang tinggal bertetangga dengan Persia, Bani Syaiban bin Tsa’labah dengan tokohnya Al-Mutsanna bin Al-Harits Asy-Syaibani. Mereka pada umumnya tidak memenuhi ajakan Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan cara yang beragam.

Ada yang menolak dengan kasar seperti Bani Hanifah dan ada juga yang tidak kasar seperti Bani Syaiban. Pada musim-musim haji adalah  kesempatan bagi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk bertemu dengan berbagai kabilah Arab yang berada di sebelah utara dan selatan Arab atau mereka yang bertetanggaan dengan Persia atau Romawi.

B. YATSRIB, DAERAH POTENSIAL DAKWAH
Sebagai seorang Nabi dan Rasul, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu berusaha mencari tempat atau wilayah yang bisa untuk melakukan ibadah kepada Allah Azza wa Jalla secara aman dan berkuasa penuh. Di antara usaha beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam, yaitu memerintahkan kepada para sahabatnya berhijrah ke Habasyah. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga berhijrah ke Thâif dan menawarkan diri kepada kabilah-kabilah yang ada. 

Setiap ada momen-momen penting di masyarakat Mekkah. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu manfaatkan untuk berdakwah. Begitu juga dengan musim haji dan keramaian pasar-pasarnya, merupakan momen penting sehingga Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam senantiasa memanfaatkannya untuk menjumpai para pemuka suku yang memiliki pengaruh dan manusia pada umumnya. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menawarkan kepada para kepala suku untuk mau melindungi supaya beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bisa berdakwah, tanpa memaksa para pemuka itu untuk menerima dakwahnya. 

Di antara seruan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada momen itu ialah: “Adakah orang yang bisa membawaku ke kaumnya, karena kaum Quraisy melarangku menyampaikan perkataan Rabbku?” 

Banyak kabilah sudah didatangi dan didakwahi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, namun tidak semuanya menerima. Di antara pendatang yang didakwahi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan yang paling besar sambutannya ialah orang-orang Madinah. Pada tahun ke sebelas kenabian, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menawarkan diri kepada sekelompok orang dari suku Khazraj  di ‘Aqabah (bukit) Mina. Mereka duduk bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu beliau mendakwahkan Islam kepada mereka serta membacakan Al-Qur`ân. Mereka pun dengan mudah menerima Islam. 

Salah satu faktor sehingga mereka mudah terbuka menerima Islam, ialah karena mereka hidup bersama orang-orang Yahudi. Sebagaimana diketahui, orang-orang Yahudi adalah Ahli Kitab dan memiliki ilmu. Jika terjadi pertikaian di antara mereka, maka orang-orang Yahudi akan berkata: “Sesungguhnya akan ada seorang nabi yang diutus dan waktunya sudah dekat. Kami akan mengikutinya dan memerangi kalian bersamanya sebagaimana memerangai kaum ‘Ad dan Iram”. 

Ibnu Katsir rahimahullah dalam Al-Bidayah wa An-Nihayah menyebutkan, “Tidak ada satu lorong pun di Arab yang tidak mengetahui dan mendengar tentang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, baik kabilah Aus maupun Khazraj, yang demikian karena mereka mendengarnya dari pemuka-pemuka Yahudi.”

Ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajak orang-orang Madinah ini masuk Islam, mereka saling memandang dan berseru: “Demi Allah! Kalian tahu, bahwasanya ia benar-benar utusan Allah yang diharapkan kedatangannya oleh Yahudi. Jangan sampai mereka mendahului kalian,” maka orang-orang Yatsrib itu pun menerima dakwah beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk memeluk Islam. 

Faktor lain yang menjadi penyebab terbukanya penduduk Yatsrib menerima Islam, yaitu adanya peristiwa Yaumu Bu’âts. Imam al-Bukhâri meriwayatkan dari ‘Aisyah Radhiyallahu ‘anha, beliau Radhiyallahu ‘anha berkata:
كَانَ يَوْمُ بُعَاثَ يَوْمًا قَدَّمَهُ اللَّهُ لِرَسُولِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَدِمَ رَسُولُ اللَّهِ وَقَدْ افْتَرَقَ مَلَؤُهُمْ وَقُتِلَتْ سَرَوَاتُهُمْ وَجُرِّحُوا فَقَدَّمَهُ اللَّهُ لِرَسُولِهِ فِي دُخُولِهِمْ فِي الْإِسْلَامِ
“Yaum Bu’âts adalah satu hari yang disediakan oleh Allah Azza wa Jalla untuk Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. (Pada hari itu, Red.) tokoh-tokoh mereka berpecah-belah. Para pemuka mereka yang terbaik terbunuh dan terluka. Maka Allah Azza wa Jalla mempersiapkan (peristiwa) itu untuk Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam supaya mereka bisa masuk Islam”. 

Ibnu Hajar rahimahullah mengatakan, Bu’âts yaitu tempat, ada yang mengatakan benteng, ada yang mengatakan sawah yang berada di kabilah Bani Quraizhah, dua mil dari Yatsrib. Di tempat ini pernah terjadi pertempuran antara kabilah Aus dan kabilah Khazraj. Dalam peristiwa ini banyak tokoh mereka yang menjadi korban. Peristiwa ini terjadi lima tahun menjelang hijrah Rasulullah. Ada yang mengatakan empat tahun, dan ada pula yang mengatakan lebih dari empat tahun. Adapun pendapat yang lebih kuat ialah pendapat pertama. Para pembesar-pembesar mereka yang tidak mau beriman, maksudnya yang sombong dan tidak mau menerima Islam terbunuh dalam peristiwa itu, sehingga Islam (ketika nantinya masuk Madinah) tidak berada di bawah kendali orang lain. 

Ibnu Hajar rahimahullah menyebutkan tentang peristiwa Bu’ats, “Yang terbunuh dalam perang Bu’ats adalah para pembesar yang tidak beriman; maksudnya orang sombong yang tidak mau masuk Islam supaya tidak tunduk dalam hukum orang lain. Yang tersisa dari mereka adalah Abdullah bin Ubay bin Salul.”

Anugerah Allah Ta’ala kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang melancarkan jalannya untuk berdakwah dengan memusnahkan pembesar-pembesar Yatsrib sebelum kedatangannya, karena keberadaan mereka bisa menjadi penghalang yang serius bagi dakwah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, seperti apa yang terjadi di Makkah, sehingga ‘Aqabah berikutnya tidak ikut campur terhadap orang yang membenci Islam. Oleh karena itu, jalan dakwah ke Yatsrib menjadi mulus karena pembesar-pembesar yang menentang Islam telah dimusnahkan Allah.

Demikian di antara faktor-faktor yang menyebabkan mereka terbuka menerima Islam. Sehingga ketika mereka mendengar dakwah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam di bukit Mina, mereka pun menerimanya, kemudian bubar meninggalkan Mina dan berjanji akan menjumpai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada musim haji tahun berikutnya. Kisah lengkapnya peristiwa Islamnya enam orang penduduk Yatsrib sebagai berikut.

C. ISLAMNYA 6 (ENAM) ORANG PENDUDUK YATSRIB
Ibnu Ishaq menyebutkan ketika Allah hendak menampakkan agamanya dan mengagungkan nabi-Nya pada musim haji dan membenarkan janji-Nya, pada tahun kesebelas dari kenabian, beliau keluar menawarkan dirinya kepada kabilah-kabilah Arab seperti lazimnya dilakukan pada tahun-tahun sebelumnya. Sesampainya di ‘Aqabah, beliau bertemu sekelompok orang berasal dari suku Khazraj, Allah menginginkan kebaikan kepada mereka.

Ashim bin Umar bin Qatadah dari pemuka kaumnya memberitahukan aku seraya berkata, “Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertemu mereka”, beliau bertanya, “Siapa kalian?” Kami sekelompok orang yang berasal dari Khazraj”, sahut mereka. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya lagi, “Apakah kalian termasuk bekas budak Yahudi?” “Ya”, jawab mereka. “Maukah kamu duduk karena aku ingin mengungkapkan sesuatu kepada kalian?”, tanya Rasul. “Ya”, jawab mereka. Mereka lantas duduk dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajak mereka untuk beribadah kepada Allah semata, menawarkan Islam, dan membacakan ayat-ayat Al-Qur’an.

Disebutkan bahwa Allah memperlihatkan Islam kepada mereka, ketika bersama Yahudi terdapat ahli kitab dan ahli ilmu, sedangkan mereka musyrik dan menyembah berhala. Diberitahukan kepada mereka akan datangnya seorang nabi dan mereka berhasrat memerangi kaumnya itu bersama nabi seperti pada perang kaum ‘Ad dan Iram. 

Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berbicara dengan mereka dan menyeru kepada Islam. Di antara mereka, ada yang berkata, “Wahai kaumku! Tidakkah kamu mengetahui dialah Nabi yang telah dijanjikan Yahudi, segeralah memenuhi ajakan dan seruannya, benarkan dan terimalah ajaran Islam.” 

Mereka memberitahukan Nabi, “Kami meninggalkan kaum kami, kaum yang saling bermusuhan sesama mereka, semoga dengan kedatangan Anda, kaum kami menyatu. Kami akan memberitahukan dan menyeru mereka kepada apa yang kamu bawa. Kami akan menawarkan agama ini kepada mereka, sekiranya Allah mengumpulkan mereka di sekitar Anda, maka tidak ada orang yang paling mulia selain Anda.” Kemudian mereka pulang ke negeri mereka dengan membawa iman dan keyakinan yang jujur.

Jumlah mereka enam orang berasal dari Khazraj yaitu As’ad bin Zurarah, Auf bin Al-Harits bin Rifa’ah, Rafi’ bin Malik bin Al-‘Ajlan, Quthbah bin ‘Amir bin Hadidah, ‘Uqbah bin ‘Amir bin Naaby, dan Jabir bin ‘Abdullah bin Riab radhiyallahu ‘anhum.

Auz dan Khazraj adalah saudara kandung, kemudian terjadilah permusuhan di antara mereka karena ada pembunuhan. Peperangan di antara mereka berlangsung selama 120 tahun. Api peperangan baru padam ketika Islam datang, mereka kembali bersaudara berkat kehadiran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di tengah mereka.

Sekembalinya ke Yatsrib, mereka menjadi dai menyeru kepada Islam, tersebarlah Islam ke seluruh penjuru dan pelosok Yatsrib sehingga semua mereka menyebut-nyebut tentang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. 

D. BAI’AH ‘AQABAH PERTAMA 
Pada tahun yang dijanjikan, yaitu tahun 12 kenabian, dua belas orang Madinah yang sudah memeluk Islam –sebagian di antara mereka ialah orang-orang yang pernah berjumpa dengan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, menerima dakwahnya dan beriman kepada beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada tahun sebelumnya– datang ke Makkah menunaikan ibadah haji. 

Enam orang yang telah masuk Islam sebelumnya, kecuali Jabir bin ‘Abdullah bin Riab, tambahannya adalah Mu’adz bin Al-Harits bin Rifa’ah, Dzakwan bin Abdul Qais, ‘Ubadah bin Ash-Shamit, Yazid bin Tsa’labah, Abul Haytsam bin At-Taihan, dan ‘Uwaimir bin Malik.

Dengan demikian mereka dari Khazraj adalah As’ad bin Zurarah, Auf bin Al-Harits bin Rifa’ah, Rafi’ bin Malik bin Al-‘Ajlan, Quthbah bin ‘Amir bin Hadidah, ‘Uqbah bin ‘Amir bin Naaby, Mu’adz bin Al-Harits bin Rifa’ah, Dzakwan bin Abdul Qais, ‘Ubadah bin Ash-Shamit, Yazid bin Tsa’labah, Abul Haytsam bin At-Taihan, dan ‘Uwaimir bin Malik.

Sedangkan yang dari Aus adalah  Abul Haytsam bin At-Taihan, dan ‘Uwaimir bin Malik.

Komposisi ini menandakan bahwa bibit ukhuwah sudah tampak dari sebelas belas orang yang hadir ini. Ini adalah suatu langkah dakwah yang luar biasa, enam orang yang telah masuk Islam sebelumnya pada tahun 11 terbukti telah berhasil menggagas dakwah Islam dan menjadi gerakan baru di masyarakat Yatsrib. 

Mereka menemui Rasulullah saw di tempat yang rahasia. Tempat itu kemudian dikenal dengan nama Aqobah. Sebagaimana disebutkan dalam Kamus Lisanul Arab, Aqabah secara etimologi berarti jalur gunung yaitu jalan dilalui untuk mencapai puncak gunung.  Karena kedua baiat yang dilakukan oleh penduduk Yastrib untuk Nabi Muhammad saw terjadi di jalur gunung antara Mina dan Mekah, maka dikenal dengan nama baiat Aqabah. Jarak antara tempat terjadinya baiat Aqabah dengan kota Mekah sekitar 5 km. 

Imam al-Bukhâri , Muslim  , an-Nasâ`i , Ahmad , Ibnu Ishâq , Ibnu Sa’ad , dan lain-lain meriwayatkan dari hadits ‘Ubâdah bin Shâmit Radhiyallahu ‘anhu, ia merupakan salah seorang yang menunaikan haji kala itu. Mereka meriwayatkan bunyi bai’ah tersebut, yaitu perkataan ‘Ubâdah: Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada mereka:

 تَعَالَوْا بَايِعُونِي عَلَى أَنْ لَا تُشْرِكُوا بِاللَّهِ شَيْئًا وَلَا تَسْرِقُوا وَلَا تَزْنُوا وَلَا تَقْتُلُوا أَوْلَادَكُمْ وَلَا تَأْتُوا بِبُهْتَانٍ تَفْتَرُونَهُ بَيْنَ أَيْدِيكُمْ وَأَرْجُلِكُمْ وَلَا تَعْصُونِي فِي مَعْرُوفٍ فَمَنْ وَفَى مِنْكُمْ فَأَجْرُهُ عَلَى اللَّهِ وَمَنْ أَصَابَ مِنْ ذَلِكَ شَيْئًا فَعُوقِبَ بِهِ فِي الدُّنْيَا فَهُوَ لَهُ كَفَّارَةٌ وَمَنْ أَصَابَ مِنْ ذَلِكَ شَيْئًا فَسَتَرَهُ اللَّهُ فَأَمْرُهُ إِلَى اللَّهِ إِنْ شَاءَ عَاقَبَهُ وَإِنْ شَاءَ عَفَا عَنْهُ 
“Kemarilah, hendaklah kalian berbai’at kepadaku untuk tidak menyekutukan Allah dengan apapun, kalian tidak mencuri, tidak berzina, tidak membunuh anak-anak kalian, tidak akan berbuat dusta yang mereka ada-adakan antara tangan dan kaki kalian, tidak durhaka kepadaku dalam perkara yang ma’ruf. Barang siapa yang menepati bai’at (janji) ini, maka ia akan mendapatkan pahala dari Allah Azza wa Jalla. Barang siapa yang melanggar salah satunya, lalu dihukum di dunia, maka hukuman itu menjadi kaffarah (penghapus dosa) baginya. Barang siapa yang melanggar salah satunya, lalu Allah Azza wa Jalla menutupi kesalahannya tersebut, maka urusannya dengan Allah, jika Allah Azza wa Jalla berkehendak, maka Allah k bisa menghukumnya; jika Allah Azza wa Jalla berkehendak, maka Allah Azza wa Jalla bisa memaafkanya”.  (HR. Bukhari, no. 18 dan Muslim, no. 1709).

يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّبِيُّ إِذَا جَآءَكَ ٱلۡمُؤۡمِنَٰتُ يُبَايِعۡنَكَ عَلَىٰٓ أَن لَّا يُشۡرِكۡنَ بِٱللَّهِ شَيۡٔٗا وَلَا يَسۡرِقۡنَ وَلَا يَزۡنِينَ وَلَا يَقۡتُلۡنَ أَوۡلَٰدَهُنَّ وَلَا يَأۡتِينَ بِبُهۡتَٰنٖ يَفۡتَرِينَهُۥ بَيۡنَ أَيۡدِيهِنَّ وَأَرۡجُلِهِنَّ وَلَا يَعۡصِينَكَ فِي مَعۡرُوفٖ فَبَايِعۡهُنَّ وَٱسۡتَغۡفِرۡ لَهُنَّ ٱللَّهَۚ إِنَّ ٱللَّهَ غَفُورٞ رَّحِيمٞ  
“Hai Nabi, apabila datang kepadamu perempuan-perempuan yang beriman untuk mengadakan janji setia, bahwa mereka tiada akan menyekutukan Allah, tidak akan mencuri, tidak akan berzina, tidak akan membunuh anak-anaknya, tidak akan berbuat dusta yang mereka ada-adakan antara tangan dan kaki mereka dan tidak akan mendurhakaimu dalam urusan yang baik, maka terimalah janji setia mereka dan mohonkanlah ampunan kepada Allah untuk mereka. Sesungguhnya Allah maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Qs AL Mumtahanah 60:12)

Para penduduk Ytsrib ini pun kemudian berbai’at kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bai’ah (baiat) inilah yang dikenal dengan istilah bai’atul-‘aqabatil-ûlâ (baiat ‘Aqabah yang pertama). Baiat ini juga disebut dengan baiatun nisaa.

‘Ubâdah bin Shamit Radhiyallahu ‘anhu dalam riwayat Ibnu Ishâq  berkata: “Lalu kami pun berbaiat kepada Rasulullah saw dengan baiat wanita. Peristiwa ini terjadi sebelum diwajibkan perang”. 

Baiat inilah yang juga merupakan baiat kepemimpinan, sehingga muslim pertama Yatsrib ini mengikatkan kepemimpinan kepada Rasulullah saw. Ini sejalan dengan makna baiat itu sendri yang merupakan perikatan kepemimpinan. Ibnu Khaldun dalam kitabnya, al-Muqadimah menyatakan,
البيعة هي العهد على الطاعة، كأن المبايع يعاهد أميره على أنه يسلم له النظر في أمر نفسه وأمور المسلمين، لا ينازغه في شيء من ذلك، ويطيعه فيما يكلفه به من الأمر على المنشط والمكره
”Bai’at adalah janji untuk taat. Seolah orang yang berbai’at itu berjanji kepada pemimpinnya untuk menyerahkan kepadanya segala kebijakan terkait urusan dirinya dan urusan kaum muslimin. Tanpa sedikitpun berkeinginan menentangnya. Serta taat kepada perintah pimpinan yang dibebankan kepadanya, suka maupun tidak.” (Mukadimah Ibnu Khaldun, 1/108).

Ketika hendak kembali ke Yatsrib, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus Mush’ab bin Umair radhiyallahu ‘anhu untuk membacakan Al-Qur’an kepada mereka, mengajarkan kepada mereka tentang Islam dan memberikan pemahaman tentang din (agama). Oleh karenanya, Mush’ab bin Umair Radhiyallahu ‘anhu diberi gelar “Muqri’ul-Madinah”. Kedudukan Mush’ab bin Umair radhiyallahu ‘anhu berada di atas kedudukan As’ad bin Zurârah Radhiyallahu ‘anhu. 

Abu Dâwud , Ibnu Ishâq , dan yang lainnya meriwayatkan melalaui jalur ‘Abdur-Rahmaan bin Ka’ab bin Mâlik, bahwasanya orang yang pertama kali melaksanakan shalat Jum’at di Madinah ialah As’ad bin Zurârah Radhiyallahu ‘anhu. Ketika jumlah mereka sudah mencapai empat puluh, mereka diimami oleh Mush’ab bin Umair radhiyallahu ‘anhu. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengirim surat kepadanya (Mush’ab bin Umair radhiyallahu ‘anhu) supaya berjama’ah bersama mereka. 

Mush’ab bin Umair radhiyallahu ‘anhu dengan bantuan As’ad bin Zurârah radhiyallahu ‘anhu berhasil mengislamkan banyak orang Madinah. Di antara mereka, ialah Usaid bin al Hudhair dan Sa’ad bin Mu’aadz. Keduanya merupakan tokoh. Sehingga keislaman dua tokoh ini menyebabkan seluruh Bani ‘Abdil-Asyhal, laki-laki dan wanita memeluk Islam, kecuali Ushairam ‘Amr bin Tsâbit bin Waqsy. Dia baru masuk Islam pada saat berkecamuk perang Uhud. Saat itu dia menyatakan keislamannya, lalu terjun ke medan tempur dan meninggal sebelum sempat sujud (shalat) kepada Allah k sama sekali. 

Lalu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam diberitahu tentangnya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
 عَمِلَ قَلِيلًا وَأُجِرَ كَثِيرًا 
“Dia melakukan amal yang sedikit, tetapi pahalanya banyak”. 

Mushab bin Umar dan kedua belas penduduk Yatsrib dengan demikian gigihnya berdakwah ke seluruh penduduk dan rumah-rumah di Yatsrib. Mulai sejak itu, hampir tidak ada satu pun rumah kaum Anshaar yang sepi dari Islam, baik laki maupun perempuan semuanya membicarakan Islam dan Rasulullah saw. 

Hingga waktunya, sebelum tiba musim haji berikutnya yaitu tahun ketiga belas kenabian, Mush’ab bin Umair kembali ke Makkah dan memberi kabar gembira kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang keberhasilan misi dakwahnya dengan idzin dan taufiq Allah Azza wa Jalla. 


Hikmah Bayat Aqobah Pertama
1. Dakwah itu adalah tetap berusaha mengajak kepada Allah, kita tidak tau hati siapa yang akan terbuka dengan dakwah ini
2. Pengorbanan yang luar biasa dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam berdakwah kepada Allah Ta’ala. Beliau berdakwah siang dan malam tanpa mengenal jenuh dan bosan sedikit pun, sekalipun mereka menolaknya, beliau tetap tidak pernah putus asa. Dalam ayat disebutkan,
لَقَدْ جَاءَكُمْ رَسُولٌ مِنْ أَنْفُسِكُمْ عَزِيزٌ عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ حَرِيصٌ عَلَيْكُمْ بِالْمُؤْمِنِينَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ
3. Islam akan kembali mendamaikan manusia, bayangkan Aus dan Khazraj bertikai selama 120 tahun tanpa henti dan hanya dengan menerima Islam, Allah akan menyatukan hati mereka.
4. Saat sebagian mereka penduduk Yatsrib berkata kepada sebagian lainnya, “Dia adalah Nabi yang dijanjikan kedatangannya oleh Yahudi”, ini awal dari penerimaan mereka terhadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ini menandakan pentingnya informasi tersebar ke seluruh penduduk, seluruh media informasi harus dikerahkan untuk ini. Manfaatkan seluruh media informasi untuk dakwah kepada masyarakat.
5. Dalam baiat aqabah pertama, beliau berbaiat dan mengawali dengan ajakan mentauhidkan Allah. Mengajak pada tauhid dan menjauhi syirik adalah dakwahnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Rasul lainnya. Ini menandakan pentingnya dakwah tauhid itu. (QS. Al-Anbiya’: 25) (QS. Az-Zumar: 65)
6. Inti dari bayat aqobah pertama adalah menjauhi dosa-dosa besar dan dosa-dosa lainnya yang mengotori hati manusia. Menjauhi dosa juga merupakan akhlaq pada dai di jalan Allah 
7. Orang yang diajak Rasul masuk Islam di Mina (‘Aqabah), mereka tidak berhenti sampai di situ, namun mereka kembali ke Madinah dan menjadi dai yang mengajak umat kepada agama Allah. Karenanya seorang muslim tidaklah boleh merasa cukup dengan melaksanakan ibadah wajib saja, tetapi berkewajiban mengajak orang lain kepada agama dan merasakan tanggungjawab terhadap agama. 
8. Disyariatkan pengiriman dai dan pengutusan mereka ke pelosok-pelosok untuk mengajarkan dan menyeru manusia kepada Allah Ta’ala, untuk meneladani Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ini terjadi sewaktu Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam mengirimkan Mus’ab bin ‘Umair radhiyallahu ‘anhu ke Madinah untuk mendakwahkan manusia dan mengajari mereka.
9. Diantara keistimewaan para Alumni Aqobah pertama adalah kegigihan mereka dalam berdakwah kepada seluruh penduduk Yatsribm sehingga sejak saat itu tidak ada satu rumah pun di Yatsrib yang sepi dari Islam
10. Kemenangan kadang-kadang datang pada masa dan tempat yang tidak diprediksikan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menawarkan kepada kabilah-kabilah Makkah, tetapi tidak membuahkan hasil. Penawaran yang sama dilakukan kepada Khazraj, kelompok ini membuahkan hasil, merupakan pembukaan kemenangan dan inti kebaikan dari penerimaan dakwah dan kesiapan membantu berdakwah. 

Tulisan ini diramu dari beberapa sumber, silahkan lihat disini, disini dan disini

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.